Mohon tunggu...
Rizkyta Aulia Desvita
Rizkyta Aulia Desvita Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI

mahasiswi uin sunan ampel

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kawin Tangkap di Sumba: Tradisi Kontroversi dan Perlindungan HAM

31 Maret 2024   17:32 Diperbarui: 4 April 2024   18:24 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kawin tangkap adalah suatu tata cara perkawinan paksa yang mana mempelai perempuan dilangsungkan secara paksa untuk dinikahkan, baik dengan atau tanpa persetujuan keluarga. Praktik ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan menimbulkan rasa sakit dan penderitaan pada perempuan. Praktik kawin tawang ini difasilitasi oleh beberapa variabel, antara lain beban ekonomi pihak perempuan akibat terlilit utang, status sosial laki-laki yang tinggi, pendidikannya yang luas, dan sistem kepercayaan Marapu yang merupakan kepercayaan tradisional masyarakat Sumba. Praktisnya, seorang wanita yang sendirian bisa saja tiba-tiba didekati oleh sekelompok pria, kemudian dicekik, dan dipindahkan ke kediaman keluarga pria tersebut untuk mengambil peran sebagai pasangannya. Meskipun perempuan tersebut berjuang keras dan memohon bantuan dengan lantang, Martha mengatakan bahwa norma masyarakat yang berlaku di kota tersebut adalah kurangnya bantuan, karena hal tersebut dipandang sebagai praktik adat. Tata cara selanjutnya kemudian dianggap sebagai “urusan adat”.
Kawin tangkap, sebagai praktik tradisional, telah menjadi kontroversi yang banyak dicakup dalam berbagai aspek, termasuk hukum dan HAM. kawin tangkap dianggap melanggar hukum dan melanggar undang-undang dan hak asasi manusia berdasarkan kerangka hukum Indonesia, termasuk Pulau Sumba juga. Pada dasarnya, kawin tangkap adalah kebiasaan yang melibatkan penangkapan sepasang wanita dan pria, yang menjalankan hubungan suami istri atau bisa dituduh melakukan hubungan suami istri. Praktik kawin tangkap di Sumba, sebelumnya, lebih terbuka dan berlangsung dengan proses komunikasi yang lebih baik. Namun, sekarang ini, praktik kawin tangkap lebih sering dilakukan dengan kurang persiapan dan mengandung pemaksaan dan kekerasan, yang juga menimbulkan ketakutan dan trauma pada perempuan yang diambil dengan cara "kawin tangkap".
Prosedur di atas sering disebut sebagai “kawin tangkap”, sebuah adat yang sering dianggap sebagai tradisi oleh sebagian aktivis perempuan di Sumba. Namun, dari sudut pandang seorang ibu Sumba, kami melihat tindakan ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang harus diberantas. Menurut Ketua Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Pendidikan Teologi Indonesia (PERUATI), perempuan dipandang sebagai komoditas, objek, dan tanpa hak yang melekat. Sebelumnya, polisi mengatakan, berdasarkan temuan awal penyelidikan, peristiwa tersebut terjadi setelah terjadi perbincangan antara keluarga tersangka pelaku dan keluarga korban. Namun demikian, korban mengakui bahwa dia sama sekali tidak mengenal pelaku. Satyawanti Mashudi, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, mengadvokasi penyelesaian pidana atas kasus ini. Menurut dia, perilaku tersebut merupakan pelanggaran Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) karena termasuk pembatasan kebebasan. Selain itu, tindak pidana semacam ini juga bisa ditangani berdasarkan ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Meski demikian, menurutnya, kendala utama dalam memberantas adat ini secara efektif terletak pada penghapusan konsep nikah narapidana sebagai “praktik budaya”.
Di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, terjadi peristiwa pernikahan terekam di dekat perempatan jalan Desa Waimangura, Kecamatan Wewewa Barat. Empat orang yang terlibat pernikahan tersebut ditangkap Polsek Wewewa Barat. Pelaku kejadian yang jumlahnya sekitar 20 orang itu tiba di tempat usaha yang berlokasi di Desa Waimangura, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten SBD, NTT. Mereka menangkap dan menculik DM, kemudian membawa korban perempuan berusia 20 tahun ke dalam kendaraan pikap dan mengantarnya pergi. Lima orang yang diketahui berinisial JB (45), HT (25), VS (25), LN (50), dan NM (45) ditangkap Polres Sumba Barat Daya. Penangkapan dan penetapan empat orang yakni JBT, MN, HT, dan VS sebagai tersangka telah diverifikasi oleh AKBP Sigit Harimbawan, Kapolres Sumba Barat Daya. Orang kelima yang dicurigai, KT, yang kebetulan adalah ibu korban, akan menghadapi tuntutan dengan pasal yang lebih ringan sesuai dengan permohonan yang diajukan oleh banyak aktivis perempuan. Menurut para pengamat, perkawinan tangkap pernah menjadi praktik adat di Sumba, namun pada saat itu, seluruh prosedurnya transparan dan memuaskan. Martha Hebi, aktivis perempuan Sumba yang sedang mendalami studi gender di Universitas Indonesia, mengakui bahwa praktik perampasan pernikahan pernah menjadi praktik adat di Sumba. Namun, dia mencatat bahwa pada periode itu, keseluruhan proses bersifat transparan dan positif. Pihaknya tetap mendesak polisi untuk mengambil tindakan hukum dalam kasus ini. Pendeta Yobelia, yang selama ini memberikan dukungan kepada Bunga, seorang wanita asal Sumba Barat Daya yang menjalani pernikahan tangkap pada awal bulan ini, mengatakan, partai politiknya berkomitmen untuk mengadvokasi penuntutan kasus tersebut ke pengadilan.
Praktik ini dinilai oleh beberapa sumber sebagai pelanggaran hak asasi manusia, hak konstitusional, dan hak asasi manusia. Kawin tangkap merupakan sebuah adat istiadat yang dilakukan oleh masyarakat pedalaman Sumba yang diturunkan secara turun-temurun dari nenek moyang. Menurut adat istiadat sejarah masyarakat Sumba, pernikahan tangkap seringkali diselenggarakan oleh keluarga mempelai pria, yang menemui kendala berupa belis atau mahar yang cukup besar dari mempelai wanita. Namun, dalam perkembangan zaman, praktik ini tidak sesuai dengan prosedur awal yang sesuai dengan tradisi, dan mengakibatkan terjadinya tindakan yang merugikan seorang perempuan secara pribadi. Dari perspektif teologi, kawin tangkap adalah tradisi penculikan perempuan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip teologi Kristen. Dari sudut pandang hukum, tindakan penangkapan perkawinan dapat dipandang sebagai pelanggaran hak asasi manusia, karena melibatkan penggunaan kekerasan dan mengandung kegiatan yang bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia. Berulangnya praktik kawin tangkap di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, dikecam keras oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Sampai sejauh ini, polisi telah mengusut kasus kawin tangkap dengan tetanggaan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Kekerasan terhadap perempuan atas nama adat melalui modus kawin tangkap haruslah dihentikan. Perkawinan penangkapan tidak hanya melanggar hak konstitusional seseorang untuk membentuk keluarga dan mempunyai keturunan melalui perkawinan yang sah, namun juga bertentangan dengan tujuan dasar perkawinan, yaitu untuk mencapai perdamaian dan kebahagiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun