SENAR DAN SULING DALAM MEMBUDAYAKAN BUDAYA SENI TARI JATHILAN (JANTUNG TEATER)
Oleh: Kelompok 10 Antropologi Seni B
Indonesia, dengan keberagaman budayanya yang kaya, dikenal sebagai negara yang memiliki warisan budaya yang tak ternilai harganya. Seni tari tradisional Indonesia, yang sarat dengan nilai sejarah, estetika, dan filosofi, merupakan salah satu bentuk ekspresi budaya yang harus dijaga dan dilestarikan. Salah satu tarian tradisional yang mencerminkan kekayaan budaya Indonesia adalah Tari Jathilan, yang berasal dari Jawa.
Di tengah maraknya seni tari modern yang mendominasi dunia hiburan, penting bagi generasi bangsa untuk tetap menjaga kelestarian kesenian tradisional. Tari tradisional seperti Tari Jathilan tidak hanya sekadar serangkaian gerakan, tetapi juga cerminan dari cerita dan tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun. Oleh karena itu, kesadaran untuk melestarikan dan mempromosikan tari tradisional menjadi kunci untuk mempertahankan identitas budaya Indonesia di era globalisasi ini.
Melalui upaya kolektif dan dukungan dari semua pihak, kita dapat memastikan bahwa seni tari tradisional Indonesia tetap hidup dan berkembang, tetap menjadi simbol kebanggaan dan identitas bangsa.
Sejarah Tari Jathilan
Sejarah seni tari Jathilan atau yang juga dikenal dengan nama kuda lumping dan jaran kepang, adalah sebuah kesenian tradisional yang berasal dari Jawa, Indonesia. Tarian ini menggabungkan elemen antara gerak tari dengan ritual dan sering diiringi dengan musik gamelan. Asal-usul Jathilan tidak memiliki sejarah secara tertulis, terdapat banyak versi yang berkembang melalui cerita turun-temurun. Salah satu versi menyebutkan bahwa Jathilan adalah bentuk perpaduan antara tarian reog dengan tarian kuda. Versi lain mengatakan bahwa Jathilan berkaitan dengan perjuangan Raden Fatah dari Kerajaan Demak dalam penyebaran agama Islam di Jawa.
Makna dari tari Jathilan sendiri sangat beragam. Salah satunya yaitu penggunaan kuda yang terbuat dari anyaman bambu sebagai simbol kekuatan dalam kehidupan. Tarian ini juga sering dikaitkan dengan perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah, di mana rakyat menggunakan properti kuda tiruan sebagai bentuk dukungan dan apresiasi terhadap prajurit berkuda. Tarian ini juga dianggap sebagai bentuk persembahan kepada dewa-dewa dalam upacara keagamaan. Hingga saat ini, Jathilan telah tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan sekitarnya.
Makna Simbolis Gerakan dan Musik Tari Jathilan
Dalam hal ini, Tari Jathilan tidak hanya sekedar tarian saja, tetapi juga memiliki makna simbolisme yang mendalam. Tari jathilan memiliki makna dan arti yang berbeda-beda dan cukup bervariasi. Ada yang menyebutkan bahwa dalam tarian jathilan banyak menyajikan atau menempatkan kuda sebagai objek sajian. Ada juga yang memberi makna bahwa kuda dipahami oleh masyarakat Jawa berkaitan dengan mantra-mantra seperti jaran penoleh dan jaran goyang. Berikut penjelasan lebih lanjut:
Gerakan Tari Jathilan
- Njathil           : Dalam bahasa Jawa, 'njathil' berarti meloncat-loncat menyerupai gerak-gerik kuda. Gerakan ini mencerminkan kekuatan dan kelincahan kuda.
- Kuda Lumping   : Penari mengempit kuda yang terbuat dari anyaman bambu, yang merupakan simbol kekuatan dan spirit dalam kehidupan.
- Topeng Kelon    : Beberapa penari menggunakan topeng kuda yang disebut "kelon" untuk menggambarkan kekuatan dan keanggunan kuda.
Musik Gamelan dalam Tari Jathilan
- Iringan Gamelan : Musik gamelan yang mengiringi tari Jathilan memberikan nuansa mistis dan sakral, sekaligus menambah semangat dan energi bagi penari.
- Ritme Dinamis   : Ritme musik yang dinamis dan seragam menggambarkan kuda yang perkasa dan lincah, serta menambah keindahan pada gerakan tarian.
Dengan demikian, gerakan dan musik dalam tari Jathilan tidak hanya untuk hiburan tetapi juga mengandung makna spiritual dan historis yang kuat, menghubungkan penari dan penonton dengan tradisi dan nilai-nilai budaya Jawa.
Pentingnya Kita Menjaga Budaya Tari Jathilan
Tari Jathilan merupakan warisan budaya yang kaya akan nilai sejarah, sosial, dan spiritual, yang penting untuk dilestarikan. Sebagai bagian dari tradisi Jawa, tari ini mengandung unsur-unsur kepercayaan mistis dan sering dihubungkan dengan upacara persembahan kepada roh-roh leluhur, dewa, atau entitas gaib lainnya. Pelestarian Jathilan tidak hanya menjaga keindahan artistik dan keajaiban budaya yang terkandung di dalamnya, tetapi juga mempertahankan praktik-praktik spiritual dan kepercayaan yang telah lama ada dalam masyarakat Jawa. Tarian ini menjadi sarana untuk memohon keberkahan dan kesuburan, serta menjadi bentuk hiburan yang membawa semangat dan kegembiraan bagi masyarakat.
Selain itu, Jathilan memiliki peran penting dalam memperkuat identitas kultural dan mempertahankan kohesi sosial di tengah kemajuan zaman. Gerakan tari yang enerjik dan dinamis, serta iringan musik gamelan yang khas, menciptakan atmosfer yang magis dan penuh semangat, mengundang partisipasi dan kekaguman penonton. Tari ini juga mengandung pesan tentang persatuan dan kerjasama, di mana penari-penari saling bergantung satu sama lain dan menunjukkan kekompakan dalam gerakan yang seragam. Dengan demikian, pelestarian Jathilan tidak hanya penting untuk menjaga warisan budaya, tetapi juga untuk memperkuat masyarakat dan mempromosikan keberagaman budaya di Indonesia.
Hasil Wawancara Penari Jathilan Janter (Jantung Teater)
Senar dan Suling (Nama Panggung) dari UKMF Kesenian Jantung Teater. Saat kami melakukan wawancara, kebetulan mereka sedang ada Job dan bersiap-siap menghadiri sebuah acara yakni memperingati hari Pancasila pada tanggal 01 Juni 2024. "Kebetulan kita lagi ada Job mau ngisi acara di kegiatan peringatan hari Pancasila yang ada di Universitas Jember".Â
Mereka menyampaikan awal mula ketertarikannya pada dunia tari. "Kalo Suling pribadi, Aku tertarik terjun ke dunia seni tari itu dari SD. Kalau Senar, Aku kurang lebih sama juga sih dari sejak SD".
Mereka juga menyampaikan alasan kenapa masih tertarik dengan tari tradisional padahal eranya sekarang era modern dan cenderung ke tari yang modern. "Kalo dari Suling, Aku sendiri sebenernya juga suka modern, tapi karena dari awal aku emang passionnya di tari tradisional jadi aku tetep berusaha untuk mengembangkan tradisi pada era sekarang ini. Kalo dari Senar, Aku sendiri dari kecil belajarnya emang tari tradisional jadi belum pernah mencoba nari modern.
Selanjutnya, mereka menjelaskan sedikit perbedaan antara tari jaman dulu dan jaman sekarang.
"Sebenernya enggak jauh beda sih, kalau dulu ada namanya tradisi, sekarang juga ada tradisi. Dulu ada tradisional sekarang pun ada modern. Mungkin yang berubah itu dari musik-musiknya aja. Karena sekarang kan jaman makin berkembang, jadi musik-musik juga ragamnya makin banyak kayak gitu".
Lebih lanjut mereka menampaikan harapan ke generasi muda dalam mempertahankan kesenian ini. "Harapannya emang mengajak kaum muda itu buat belajat seni terutama seni tari, biar remaja Indonesia yang berada di desa semakin berkembang dan tidak di kekang zaman".
Dari hasil wawancara yang telah kami lakukan kepada kedua penari Jathilan dapat disimpulkan bahwa:
Senar dan Suling menunjukkan dedikasi dan kecintaan yang mendalam terhadap seni tari, terutama tari tradisional, meskipun di tengah era modern. Mereka melihat pentingnya mempertahankan dan mengembangkan tradisi seni ini, serta berharap agar generasi muda ikut melestarikan seni tari agar tetap hidup dan berkembang di masa depan.
Hasil Wawancara Ketua Bidang Seni Tari UKMF
Perempuan yang akrab disapa Adel, merupakan Kepala Bidang Seni Tari dari UKMF Fakultas Hukum Universitas Jember. Pertama, Ia menjelaskan sedikit tentang apa itu Jantung Teater. "Jadi Jantung Teater sendiri merupakan sebuah organisasi UKMF Kesenian yang memang ada di Fakultas Hukum Universitas Jember. Kita juga aktif dalam kegiatan kesenian dan kegiatannya disini ada empat bidang, tari, teater, seni rupa, sama juga ada media rekam kaya gitu".
Ia juga menjelaskan apa itu Kabid tari. "Jadi kalo Kabid tari sendiri itu memang dia tugasnya mengkoordinir sebuah kegiatan yang memang berhubungan dengan tari, seperti pelatihan tari dan juga ada job seperti itu kayak bener bener terkhusus di bidang tari. kalau aku sendiri kepengurusan itu terbentuk dari periode Januari".
Selanjutnya, Ia menyampaikan bagaimana antusiasme anggota jantung teater dari tahun ke tahun. "Kalo untuk terkhusus di bidang tari ini antusiasnya sangat antusias, dan kita juga memang mengikuti perkembangan zaman. Dimana kita juga ada Cover kaya dance, kita ga hanya dance juga, kita ada tari-tari tradisional dan kita mengikuti kaya job-job gitu ngisi-ngisi job sama mengikuti lomba-lomba. Kemarin kita sempet ngikutin lomba Pekan Seni Mahasiswa dan kita juga berhasil mendapatkan juara dua, begitu".
Berdasarkan hasil wawancara yang telah kami lakukan kepada Kabid Tari UKMF dapat disimpulkan bahwa:
Jantung Teater, khususnya bidang tari, memainkan peran yang sangat penting dalam mengembangkan dan mempromosikan seni di lingkungan akademik Fakultas Hukum Universitas Jember. Melalui struktur organisasi yang jelas dan berbagai aktivitas yang dilakukan, mereka mampu menciptakan ruang bagi kreativitas dan ekspresi artistik di kalangan mahasiswa.
Hasil Wawancara Salah Satu Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Pak Suharto, merupakan salah satu dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember yang kami jadikan sebagai narasumber. Beliau kerap disapa Mak Ndon oleh rekan-rekannya. Pertama, Beliau menjelaskan mengenai Tari Jathilan sepengetahuan Beliau. "Banyak rancu ya, maksudnya kalo keterangan itu versinya banyak. Kalo di kesenian Reyog Ponorogo itu juga ada namanya penari Jathilan. Ini di gambarkan penari Jathilan selalu penari yang memakai atau naik kuda, baik itu nanti di Jaranan, di Ebek, di Jathilan itu sendiri, baik di Reyog Ponorogo penari Jathilan digambarkan adalah seorang Ksatria katakanlah sedemikian rupa yang menaiki seekor kuda. Jadi di tari Jathilan itu nanti ada gerakan kuda sebagai yang dinaiki dan ada juga gerakan tari yang karna memang bagian dari kesenian itu sendiri itu tari Jathilan. Tetapi kalo kita berkaitan dengan sejarahnya, cukup panjang. Tetapi kalo kita melihat catatan, Jathilan ini bagi teman-teman sudah ada di candi Surowono, yang ada di daerah kediri yang disitu ada gambar seolah-olah mencerminkan penari Jathilan. Jadi kalo menurut data yang ada, tari Jathilan pada dasarnya adalah ketika orang-orang Jawa memperingati para Ksatria Jawa yang naik kuda, sebagai bagian penting dari pasukan-pasukan raja-raja di Jawa. Contohnya ketika pasukan majapahit yang mengalahkan mongol, Ronggolawe dari Madura membawa kuda ke Jawa. Kenapa? Dia mengatakan alangkah tidak eloknya seorang pahlawan tanpa naik kuda, nah ini menunjukkan bahwa kuda memiliki posisi penting bagi masyarakat Jawa pada saat itu. Sehingga ketika seorang Ksatria naik kuda, itu bagi masyarakat Jawa akhirnya dimuliakan bahwa seakan-akan orang yang naik kuda tadi dijadikan tarian, yang akhirnya gambarannya ya kaya Jathilan itu. Bagaimana seorang Ksatria dengan atributnya pakai ikat kepala pakai atribut macem-macem sehingga orang sering mengatakan Babu Horse/kuda babu itu mencerminkan gambaran daripada kuda yang dinaiki itu, dan itu selalu digambarkan dalam kesenian baik itu Jathilan, Ebek, maupun Reyog itu adalah salah satu elemen pentingatau peraga penting didalam kesenian itu. Berarti kan itu satu-kesatuan berkaitan antara bayangan kita tentang masa lalu Ksatria naik kuda menandakan kekuatan atau kegagahan atau maskulinitas itu sudah tafsir, yang kedua kita melihat bagaimana orang jawa menciptakan karya itu untuk memperpanjang nilai-nilai estetik maupun etika daripada orang yang naik kuda itu. Dalam konteks sebagai Ksatria tadi, yang mana nanti kalo kita melihat di pentas apapun sering juga nanti di Jaranan sering terjadi kesurupan. Dan itu menandakan bahwa para penari Jathilan tadi memiliki nilai-nilai spiritual sebanding dengan kebanggan sebagai Ksatria ketika dia digambarkan sebagai Ksatria yang naik kuda seperti itu. Dan itu berkembang di Jawa, maksudnya di pulau Jawa ini dari timur sampai barat sana selama masih mengatakan dirinya Jawa biasanya ada seperti itu. Ya cuma ada ebekan itu yang kantongnya di daerah banyumas, Jathilan itu daerah Jogja dan sekitarnya, Jaranan itu kediri, Seterewe itu Tulungagung, khusu Ponorogo Madiun itu ada Reyog. Kemudian di Jember ini ada juga Jaranan-Jaranan dimana penampilannya juga ada yang naik kuda".Â
Beliau juga menyampaikan pendapatnya terkait apakah tarian tradisional seperti Jathilan ini masih bertahan di gempuran era gblobalisasi dan modern saat ini, "Menurut pengamatan saya masih bertahan. Kalau rekan-rekan mau menonton Jaranan menonton Reyog kemudian menonton Ebek di Banyumas itu penontonnya masih melimpah ruwah dan yang memainkan dari anak-anak sampai orang tua. Berarti kan kalo anak-anak, orang tua semua ikut main berartikan regenerasinya masih berjalan. Dan demikian juga beberapa modifikasi kemudian kebanggan anak-anak muda di daerah kantong itu memakai atribut seni-seni tersebut, bahkan di upload di macem-macem berarti kan menandakan bahwa mereka masih punya kebanggaan dengan kesenian itu. Walaupun, kesannya ndeso. Ini yang perlu di garis bawahi, dan perlu diingat ini seni kita yang umurnya sudah beratus tahun. Bahkan seni ini setiap periode, setiap jaman, setiap pemerintahan sampai sekarang masih ada. Rekan-rekan bisa melihat foto-foto semasa jaman Hindia Belanda itu ada, banyak sekali. Dan kita juga punya foto-foto bahkan Elizabeth Gruinde menulis Jaranan kaya gitu, itu foto-foto yag sangat luar biasa. Dan sekarang rekan-rekan bisa membuka Youtube begitu banyaknya kegiatan ini, ya kalo saya bukan mengamati tarinya kaya apa, Jathilan, Jaranan itu kaya apa, tetapi bagi saya yang saya lihat adalah bagaimana tontonan ini ada nggak yang nonton. Menurut saya rekan-rekan bisa melihat bahwa di Youtube begitu banyaknya orang menonton Ebekan Banyumas, Reyog entah apalah namanya itu, logikanya apa? Berarti kan masih seneng, dan anak muda menari dengan senang hati berarti kan masih suka, nah kalo suka kemungkinan dengan gempuran katakanlah kita sekarang K-Pop ya, entah apa namanya begitu banyak budaya yang masuk ke kita, tapi saya yakin kalo budaya ini akan tetap bertahan. Karena apa, ada nilai kebanggaan bagi yang melaksanakan".
Selanjutnya, Beliau menyampaikan bagaimana perbedaan antara seni di perkotaan dan pedesaan. "Sebenarnya kalo untuk sekarang ini juga nggak apa ya mungkin hanya tempat pentas/beberapa karakter penting saja. Kalo di kota sekarang udah nggak ada Tobong, yaitu khusus kaya pementasan yang ada di desa itu, yang pake kelir, atau geber itu, entah itu Ludruk, Jaranan itu punya di desa-desa itu itu kalo di kota sudah tidak keliatan, itu secara penggung. Mungkin kota yang menyempit dalam lahan itu juga berpengaruh terhadap kemungkinan pentas-pentas seperti itu, satu. Kedua orang-orang kota yang relatif lebih sibuk mungkin kurang memiliki latihan untuk pementasan itu, sehingga orang yang senang hanya meminta, bahkan di kkota lebih banyak kesenian itu mereka nanggap/order dari desa dibawa ke kota seperti itu. Justru jarang kita melihat grup-grup yang suttle itu di kota, justru grup-grup Jaranan grup tradisional itu banyak yang kuat, grup ini mapan itu di pedesaan. Jadi kalo rekan-rekan mau mengamati banyak grup Reyog, Jaranan, Jathilan, Ebek ini memang bermarkas di desa. Mungkin karena satu, karena lahan, kedua juga karena waktu lebih longgar orang di pedesaan dan ketiga, mereka termasuk merasa menjadi bagian daripada agraris karena seni-seni agraris atau pedesaan tadi sedangkan seni kota ada kecenderungan seni untuk melepas ekspresi saja. Karena mungkin lelah,jenuh ya saya menyanyi atau teriak, atau saya menari pun bukan menari yang memiliki aturan sedemikian rupa, tapi sekedar joget katakanlah seperti itu. Yang mana yag penting saya gerak, makanya kalo rekan-rekan lihat di kota banyak sekali organisasi gerak, senam, gym, yoga, itu kan marak di kota. Di desa nggak ada, jarang. Kenapa? Karena di desa masih ada seni-seni tadi, organisasinya relatif berjalan padepokannya, paguyubannya, sedangkan di kota tidak ada. Sehingga gerak yang masih memakai Jathilan, Jaranan tadi, di kota sudah berubah geraknya melewati itu tadi di satu sisi dikatakan olahraga bukan, dikatakan seni juga nanggung, ini kan sebenernya gerakan-gerakan yang intinya untuk menyenangkan diri yang tidak jauh dari menari. Tetapi sudah tidak menari dalam konteks ini, mereka intinya bergerak tetapi disisi yang lain, bisa saja kita aktif di gym, aktif di yoga, aktif di senam, jangan-jangan kita hanya mengkonfersi kebiasaan kita dulu di desa menari. Begitu di kota kita menjadi seperti itu. Sehingga kita sulit mencari grup-grup kesenian yang mapan di kota, kecuali Band atau apa gitu".
Lebih lanjut, Beliau juga menyampaikan harapan kesenian Tari kedepannya menurutnya. "Ya kembali ke cita-cita Soekarno, Soekarno kan bercita-cita namanya Tri sakti, yang pertama berdaulat secara politik, bahwa politik yang kita aliri ya menentukan. Kedua, berdikari secara ekonomi. Yang ketika, berkepribadian secara kebudayaan. Ya berarti kalo kita masih menginginkan Indonesia berjaya, 3 kesaktian yang diharapkan oleh Soekarno ini harus kita pegang. Logikanya apa? Apapun berkaitan dengan kebudayaan milik kita ya harus kita lakukan dan lestarikan, nggak boleh eggak. Kami kira nggak cukup lah kita terlalu banyak pengamat, penonton, pengorder, tapi yang perlu kita garis bawahi, sudahkah kita pribadiini juga aktif di dalam kesenian. Ini sebenarnya nilai-nilainya, kita ngomong kaya apapun kan cuma omongan, tetapi kalo kita membawa mungkin gambaran kuda tadi sudah menunjukkan bahwa inilah kebanggan saya, itu yang saya maksud. Jadi mungkin bagi saya yang sudah tua pinginnya seperti itu, ya monggolah teman-teman muda, tetapi bagi saya bagaimana ketika pendiri kita ngomong Tri sakti. Ekonomi ya kita sudah lihat, politik ya sudah nah bagaimana dengan kepribadian kita sudah sesuai atau tidak. Itu harapan saya. Yang terakhir karena Jathilan ini Roh-nya tanah Jawa, kami mohon teman-teman yang mungkin masih merasa paling tidak etnis jawa ini ya harus di lestarikan, bagaimanapun juga itu adalah lambang kegagahan, kebudayaan, capaian karakter, prestasi dan dalam kebudayaan kita, Terima kasih".
Berdasarkan Hasil Wawancara yang telah kami lakukan kepada Pak Suharto, dapat disimpulkan bahwa:
Tari Jathilan adalah warisan budaya yang kaya akan nilai sejarah dan spiritual, menggambarkan ksatria Jawa dengan atribut kuda yang melambangkan kekuatan dan maskulinitas. Meskipun menghadapi tantangan dari era globalisasi dan modernisasi, Tari Jathilan tetap mempertahankan tempat istimewa di hati masyarakat dan terus dilestarikan oleh generasi muda. Keberlanjutannya terlihat dari tingginya minat dan partisipasi dalam pementasan, baik di desa maupun di platform digital seperti YouTube. Di pedesaan, tradisi ini tetap hidup dengan dukungan komunitas lokal yang memiliki waktu dan ruang untuk mempertahankannya.
Penting untuk terus mendukung dan menjaga warisan budaya ini agar tetap hidup dan berkembang di masa depan. Hal ini memerlukan kesadaran kolektif dan upaya nyata dalam melestarikan serta mempromosikan nilai-nilai budaya tersebut. Melalui cita-cita Tri Sakti yang digagas oleh Soekarno berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan kita dapat memastikan bahwa Tari Jathilan tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang sebagai simbol kebanggaan dan identitas budaya Jawa. Keterlibatan aktif dari berbagai kalangan, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga generasi muda, sangat diperlukan untuk menjaga keutuhan dan keberlanjutan seni tradisional ini sebagai bagian integral dari warisan budaya Indonesia yang kaya dan beragam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H