Mohon tunggu...
Denny Rizky Ramadhan
Denny Rizky Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ekonomi FEM IPB University 2019

Mahasiswa ekonomi yang tertarik isu HAM dan kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gig Economy dalam Pandangan Islam, Peluang atau Ancaman bagi Masa Depan Lapangan Pekerjaan Indonesia?

21 Juni 2021   20:38 Diperbarui: 7 Juli 2021   18:44 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir bulan lalu dunia sosial media sedang hangat memperbincangkan terkait dengan masalah kurir salah satu ekspedisi pengiriman paket yang "dimaki-maki" oleh customer karena barang yang dipesan melalui metode COD tidak sesuai dengan ekspektasi pelanggan. Padahal seharusnya kesalahan tersebut tidak menjadi tanggungan dari kurir karena pelanggan tersebut memesan barang melalui metode COD. Kejadian seperti ini ternyata terjadi lebih dari 1 kali di Indonesia, sebelumnya terdapat kurir yang sempat ditodong menggunakan pistol oleh pelanggan yang tidak terima atas barang yang diantarkannya. Kejadian-kejadian berikut hanya kejadian yang viral saja, mungkin masih terdapat kejadian seperti ini juga namun tidak terekspos di media.

Mengenal lebih dalam tentang "Gig Economy"

Perkembangan teknologi yang semakin pesat memicu banyaknya pekerja yang lebih memilih untuk menjadi pekerja lepas atau freelancer. Tren ini sering kali digambarkan dengan istilah gig economy. Dikutip dari BBC, istilah "gig" berarti proyek kerja sementara, yang biasanya digunakan dalam industri hiburan. Kemudian, dalam perkembangannya, istilah ini digunakan untuk menggambarkan fenomena maraknya pekerja lepas atau freelance seiring dengan meningkatnya pertumbuhan perusahaan rintisan (start-up) dan penyedia layanan berbasis aplikasi. Dengan kata lain, gig economy adalah suatu kondisi perekonomian di mana terjadi pergeseran status tenaga kerja dari yang umumnya adalah pekerja tetap menjadi pekerja kontrak sementara (short-term contract), pekerja independen, maupun pekerja tidak tetap (temporary workers). 

Fenomena gig economy sendiri bukanlah sebuah konsep yang baru. Istilah ini mulai populer sekitar puncak krisis keuangan tahun 2008-2009. Anthony Hussenot, profesor dari Universit Nice Sophia Antipolis (UNS) telah memprediksi di artikelnya "Is freelancing the future of employment?". Ia menyatakan bahwa pekerjaan lepas (freelance) adalah pekerjaan masa depan. Anthony berpendapat bahwa perkembangan dunia telekomunikasi dan pemanfaatan sumber daya bersama (crowdsourcing) menjadikan sejumlah bisnis tertentu tidak membutuhkan banyak karyawan tetap. Sebagai gantinya, perusahaan-perusahaan tersebut mempekerjakan pekerja lepas untuk proyek-proyek mereka. "Model kerja kontrak, apapun jenisnya, menawarkan kebebasan kerja, kapanpun dan dimanapun ingin mengerjakannya," tulis Anthony. Yang luput dari pengamatan Anthony bahwa pekerja lepas di gig economy rentan dieksploitasi oleh perusahaan penyedia layanan kerja. 

Dinamika fenomena "Gig Economy" di Indonesia

Secara tidak sadar, gig economy sudah berkembang di Indonesia, namun kebanyakan saat ini hanya berpusat pada industri transportasi online, ataupun pekerja dengan skill atau keahlian tertentu. Para perusahaan utamanya industri kreatif kelas menengah dan startup saat ini cenderung lebih efektif menerapkan gig economy. Pasalnya, dengan memanfaatkan tenaga kerja freelancer yang memiliki kemampuan tidak jauh berbeda dengan pekerja tetap, mereka bisa mengurangi pengeluaran yang seharusnya diberikan kepada pekerja tetap (asuransi kesehatan, Tunjangan Hari Raya, dsb).

Dilansir dari Forbes, 57 juta pekerja di Amerika merupakan bagian dari gig economy. Sedangkan di Indonesia, tren gig economy terus berkembang, ditandai dengan jumlah freelancer yang terus melesat. Menurut data statistik dari Badan Pusat Statistik per Mei 2019, jumlah pekerja lepas di Indonesia sebanyak 4,55 persen dari 129,36 juta pekerja di Indonesia. Jika dihitung, maka pekerja lepas berjumlah sekitar 5,89 juta orang. Sribulancer, situs web penyedia jasa kebutuhan pekerja lepas medio 2019 merilis data bahwa pekerja lepas meningkat sebanyak 16 persen dari tahun 2018.

Di balik maraknya gig economy, istilah lain yang mendukung fenomena ini juga turut bermunculan, yakni on-demand workers, pekerja yang "mau bekerja" disaat butuh atau dibutuhkan saja. Melansir dari Majalah Forbes, pada tahun 2030 mendatang, milenial diprediksi tidak akan betah bekerja dengan model pekerja tetap seperti saat ini dan lebih memilih on-demand workers. Ternyata on-demand workers sekarang bukan hanya diminati oleh perusahaan rintisan (startup) saja, melainkan perusahaan besar seperti Samsung pun tertarik karena dirasa memberikan dampak positif terhadap perusahaan. Selain karena menguntungkan dari segi finansial, perusahaan yang mempekerjakan freelancer juga diuntungkan dari segi inovasi. Pasalnya, mengutip dari Marketeers, pekerja freelancer lebih memiliki ide-ide segar dan baru yang out of the box.

Melihat dari sisi pekerja, fenomena gig economy juga memberikan dampak buruk bagi mereka yang tak pandai beradaptasi dan bereksplorasi. Beberapa pekerja yang memiliki keterampilan profesional akan dapat dengan mudah bekerja di manapun terlebih dengan fleksibilitas dan penghasilan menggiurkan yang ditawarkan dunia kerja gig economy. Misalnya, para konsultan yang mematok sendiri tarif mereka, demikian juga desainer, hingga pemrograman perangkat lunak. Namun, berbeda dengan pekerja yang tidak memiliki keterampilan profesional. Mereka akan sangat kesulitan mencari pekerjaan. Laman Forbes juga menulis bahwa pekerja lepas jenis ini seringkali merasa tereksploitasi. Apalagi jika mereka mengandalkan pekerjaan freelance sebagai mata pencaharian utama mereka. Misalnya bekerja kontrak sebagai driver transportasi daring tidak menawarkan jenjang karir, pertumbuhan keterampilan, dan keamanan finansial. Terlebih lagi, undang-undang belum menjamin asuransi, hak cuti, hingga jaminan pensiun di masa tua.

Pemanfaatan Tenaga Kerja dalam Pandangan Islam

Pemanfaatan tenaga kerja manusia dalam rangka mengaktualisasikan fungsi kekhalifahan dan sekaligus fungsinya sebagai pembangun, sangat dihargai oleh ajaran (syari'at Islam). Sehubungan dengan hal tersebut, manusia sebagai pekerja, mutlak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan melaksanakan aktivitasnya. Dalam hal ini, Dr. Ahmad Muhammad Al-Assad memberikan beberapa catatan alternative, agar manusia sebagai makhluk pekerja (pembangun dan khalifah), dapat menjalankan fungsinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun