Sudah 5 tahun berlalu sejak Indonesia menandatangani Perjanjian Paris, di mana semua negara setuju akan melakukan semua upaya yang dibutuhkan untuk menekan laju pemanasan global di 1.5 derajat diatas suhu rata-rata bumi pra industri.
Akan tetapi, dalam kondisi 5 tahun terakhir ini dapat kita amati jutaan hektar hutan Indonesia dibabat, peningkatan fokus energi kotor terus berlanjut, dan banyaknya kebijakan yang bertolak belakang dengan target penurunan emisi gas rumah kaca dalam rencana nasional Indonesia.
Waktunya tidak banyak. Semua negara akan menyerahkan komitmen rencana negara masing-masing dalam penanggulangannya di akhir tahun dalam bentuk dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Ini hanya dilakukan 5 tahun sekali, jadi yang diserahkan tahun ini menjadi basis komitmen negara untuk 5 tahun kedepan. Dokumen Indonesia yang akan diserahkan sejauh ini mengacu ke pemanasan global di 3-4 derajat.
Kita tidak bisa tinggal diam dan menerima kerusakan ekologi yang sudah terjadi untuk lanjut di 5 tahun ke depan. Kita semua harus bersuara agar pemerintah mengingatkan ambisi dan NDCnya JAUH diatas yang sekarang, termasuk perubahan semua kebijakan-kebijakan menjadi sesuai dengan target 1.5 derajat, dan yang setelahnya dilaksanakan secara transparan dengan akuntabilitas bagi masyarakat untuk memastikan pencapaian yang kita butuhkan.
Menurut ekonom lingkungan, Andhyta (Afu) Firselly Utami, kondisi Iklim saat ini sudah cukup darurat . Para ilmuwan mengestimasi jika tanpa ada intervensi, suhu global rata-rata akan naik 4 derajat dan dalam skenario tersebut kemungkinan banyak spesies yang terancam tidak bisa bertahan, permukaan air laut semakin naik, banyak bencana yang terkait dengan  alam, dan  menyebabkan  krisis pangan.
Pada akhir tahun 2019, suhu global sudah naik 1 derajat celcius. Untuk bisa bertahan dalam kondisi seperti ini, skenario paling minimum untuk memungkinkan manusia dapat beradaptasi dalam pemanasan global idealnya berada diantara suhu 1,5-2 derajat. Sementara waktu untuk bisa menahan angka suhu tersebut tinggal sekitar 10 tahun lagi. Tahun 2030 adalah tenggat waktu  yang diberikan para ilmuwan, jika gagal menahan pemanasan global diangka rata-rata suhu 1,5-2 derajat akan menyebabkan pertanda awal dari kepunahan massal berbagai spesies.
Dalam laporan terbaru Climate Change Performance Index 2021 menyebutkan kebijakan iklim Indonesia dinilai masih tidak selaras dengan Perjanjian Paris (Paris Agreement). Laporan yang dikeluarkan oleh Newclimate Institute, Climate Action Network dan Germanwatch di minggu ini menyatakan bahwa Indonesia menempati peringkat ke 24. Kendati ini artinya Indonesia mengalami naik 15 peringkat dibandingkan tahun sebelumnya, tetapi Indonesia masih termasuk kategori sedang dalam indeks kinerja perubahan iklim 2021.
Dapat diketahui, penentuan peringkat ini didasarkan oleh kinerja agregat dari suatu negara yang dimasukkan ke dalam 14 indikator, dan empat kategori yaitu emisi gas rumah kaca, energi terbarukan, penggunaan energy, dan kebijakan iklim. Dengan rincian sebagai berikut.
- Peringkat sedang untuk kategori emisi dengan nilai 53,49
- Peringkat tinggi untuk kategori energi terbarukan dengan nilai 51,43
- Peringkat tinggi untuk kategori penggunaan energi dengan nilai 69,47
- Peringkat sedang dalam upaya mitigasi dan kebijakan iklim secara keseluruhan
Menurut data yang tersedia, untuk Indonesia sendiri, penurunan emisi yang terjadi pada tahun 2020 ini dikarenakan pengaruh adanya pandemi Covid-19, musim yang lebih basah dan berkurangnya pembakaran hutan di tahun ini. Data laporan terbaru ini pun menuai komentar dari para aktivis lingkungan, agar pemerintah bertindak lebih serius lagi dalam menyusun strategi menghadapi persoalan iklim yang ada untuk menghindari dampaknya di kemudian hari. Sebab, meskipun ada peningkatan dalam beberapa kategori, para aktivis lingkungan mengingatkan potensi naiknya emisi di tahun-tahun yang akan datang dan dampak perubahan iklim masih bisa terjadi.
Jadi penting sekali memastikan secara konkret serta selaras kebijakan iklim baik di level nasional dan internasional. Berikut beberapa sorotan aktivis lingkungan terhadap kebijakan iklim Indonesia yang belum sesuai target ini.
- Adanya kontradiksi kebijakan iklim
Manajer Kampanye Keadilan Iklim WALHI, Yuyun Harmono mengatakan hasil dari laporan yang ada tersebut menunjukkan bahwa adanya kontradiksi kebijakan iklim dengan banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Seperti kebijakan terbaru Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara, Undang-undang yang inkonstitusional seperti Undang-undang Cipta Kerja (UU Cilaka) serta peraturan lain yang memperbolehkan eksploitasi lahan gambut, alih fungsi hutan lindung untuk pertanian skala besar.
Maka, kata Yuyun, hal ini menunjukkan bahwa komitmen iklim pemerintah Indonesia tidak termanifestasi dalam kebijakan lintas sektor yang selaras.
" Kebijakan iklim dipandang sebagai kebijakan yang terpisah dan hanya menjadi bahan diplomasi internasional, tanpa serius diintegrasikan dengan kebijakan lintas sektoral," ujarnya.
- Harus benar-benar meninggalkan batubara
Laporan terbaru juga ditanggapi oleh Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Satrio Swandiko yang mengatakan bahwa walaupun secara umum Indonesia memiliki nilai yang tinggi dalam kategori Energi Terbarukan. Akan tetapi, Indonesia masih jauh tertinggal dalam target 2030 demi mencapai target Perjanjian Paris di bawah 2 derajat celcius.
"Dengan RUU EBT (Energi Baru dan Terbarukan) yang memasukkan teknologi hasil hilirisasi batubara, kita masih akan melihat penggunaan batubara dalam puluhan tahun ke depan yang membuat Indonesia masih akan terus bergantung pada energi kotor tersebut," jelas Satrio.
Satrio menegaskan, jika ingin memenuhi komitmen pada dunia, Indonesia harus benar-benar meninggalkan batubara, bahkan hasil hilirisasi sekalipun.
- Indonesia belum ada strategi jangka panjang NDC
Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah, Adhityani Putri pun turut angkat bicara. Perempuan yang akrab disapa Adit ini menjelaskan bahwa penilaian sedang yang didapatkan Indonesia pada kategori kebijakan iklim internasional ini berasal dari target ambisi Nationally Determined Contribution (NDC) untuk aksi pada perubahan iklim yang sudah ditetapkan.
Sebagai informasi, NDC adalah bentuk komitmen terukur dalam menghadapi ancaman perubahan iklim, termasuk pembangunan emisi (rendah) karbon, dan ini adalah bagian penting dari Perjanjian Paris.
Perjanjian Paris adalah komitmen atau persetujuan dalam kerangka konvensi PBB tentang perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC). Dengan target 29 persen atau 41 persen bila bekerjasama dengan internasional, NDC Indonesia saat ini nyatanya berada dalam trayektori kenaikan temperatur 3-4 derajat Celcius.
"Dan sampai saat ini, Indonesia belum mengembangkan strategi jangka panjang (LTS), sehingga tidak memiliki strategi iklim di luar rentang NDC 2030," jelasnya.
Pranita, Ellyvon. (2020). Laporan Terbaru Kebijakan Iklim Indonesia Tak Selaras Perjanjian Paris, 3 Saran Aktivis Lingkungan. (Diakses dari: Laporan Terbaru Kebijakan Iklim Indonesia Tak Selaras Perjanjian Paris, 3 Saran Aktivis Lingkungan Halaman all - Kompas.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H