Mohon tunggu...
Rizky Satrio Rahardjo
Rizky Satrio Rahardjo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, 21107030101

Yaaa Gituu

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Warmindo: Tetap Bertahan di Tengah Gempuran Cafe-Cafe Kekinian

9 April 2022   18:19 Diperbarui: 9 April 2022   18:25 1187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa yang tidak tahu apa itu Warmindo? Mungkin kalian yang berkuliah di D.I. Yogyakarta, atau warga asli jogja, mungkin sudah sangat familiar dengan Warmindo. Warmindo atau lebih akrab disebut Burjo adalah warung makan yang menyediakan makanan dengan harga murah tetapi mengenyangkan. Kalau kita ibaratkan burjo atau warmindo ini hampir sama dengan warung-warung makan pada umumnya, seperti warteg, dll.

Sejarah burjo diawali oleh seorang pria asal Kuningan, Jawa Barat. Pada waktu itu, pasca kemerdekaan Indonesia, politik dan ekonomi negara masih belum stabil. Masyarakat pada waktu itu dipaksa harus bisa survive menghadapi kerasnya hidup. Salah satunya adalah Salim Saca, pria asal Kuningan, Jawa Barat yang membuat bubur kacang hijau untuk bisa survive di masa sulit pasca kemerdekaan Indonesia.

Pada awalnya Salim menjualkan bubur kacang hijaunya ke orang-orang sekitar. Lambat laun jualannya semakin laris dan pada tahun 1950 Salim Saca mendirikan sebuah warung Burjo yang berada di Kuningan.

Dari sanalah akhirnya orang-orang mulai terinspirasi. Dari yang juga membuka warung burjo seperti Salim, ada juga yang merantau ke berbagai kota dan mendirikan warung burjo. Pada awalnya hanya menyediakan menu bubur kacang hijau saja, namun lambat laun mulai mengincar pasar anak muda atau mahasiswa khususnya yang mengakibatkan para penjual memperbanyak menu mereka, seperti nasi telur orak arik, mie telur, magelangan, mie dok dok, dll.

Namun seiring berjalannya waktu, menu bubur kacang hijau kurang diminati karena mahasiswa lebih memilih menu yang lebih mengenyangkan dan murah dibanding bubur kacang hijau. Oleh karena itu seiring berjalannya waktu, kebanyakan warung burjo sudah tidak menyediakan menu bubur kacang hijau lagi. Tetapi sebagain warung burjo masih menyediakan menu bubur kacang hijau karena merupakan warisan khas yang perlu dijaga.

Sumber Foto: DokPri
Sumber Foto: DokPri

Sama halnya dengan warung burjo atau warmindo Bapak Tri Wahono atau lebih akrab disapa Pak Tri yang berada di desa Pringwulung, Kab. Sleman ini. Memang jika dilihat, warung burjo satu ini unik. Uniknya adalah warung ini berada di komplek rumah-rumah penduduk yang kalau kita pikir-pikir, rata-rata ibu rumah tangga pasti bisa memasak makanan untuk seisi rumah. Ketika ditanya, ternyata Pak Tri lebih menyasar pada anak kos-kosan sekitar warung burjo dan para pekerja atau karyawan yang baru pulang dari kerja.

Warung Burjo Pak Tri ini berdiri sejak 2008. Dan sudah bisa ditebak bahwa Pak Tri juga merupakan orang asli Kuningan yang merantau ke Yogyakarta. Hampir sama seperti Warung burjo lainnya, warung burjo Pak Tri juga tidak menydiakan bubur kacang hijau yang merupakan ciri khas dari sebuah warung Burjo. Tetapi, menu yang ditawarkan oleh Warmindo atau Burjo Pak Tri juga bervariasi, seperti nasi telur orak-arik atau dadar, omelet, magelangan, mie goreng atau kuah dengan telur, ayam geprek, penyetan, dan masih banyak lagi. 

Menurut beliau menu favorit atau special adalah magelangan dan ayam geprek. Memang ketika saya coba magelangan beliau, rasanya benar-benar lezat. Rasa dari magelangan Pak Tri ini lain dari magelangan yang ada di warung burjo lainnya. Ketika saya tanya, beliau mengatakan bahwa dibalik rasa lezat magelangan buatannya itu, ada bumbu atau resep rahasia yang sudah turun temurun dalam keluarga beliau. Menurut beliau di setiap warung burjo atau warmindo, pasti memiliki menu makanan andalan. Ya contohnya seperti burjo Rasyafa milik Pak Tri ini, yaitu menu magelangan dan ayam geprek.

Sumber foto: Dokpri
Sumber foto: Dokpri

Disela-sela perbincangan, saya bertanya kepada beliau terkait kondisi pandemic terhadap warmindo atau burjo, yang dimana pandemic Covid-19 pada masanya telah mengguncangkan perekonomian dunia. Menurut beliau, masa tersulit yang beliau hadapi adalah masa-masa awal pandemic Covid-19. Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB, pada saat itu sangat mempengaruhi omset beliau. Beliau menuturkan bahwa warung burjo miliknya sangat sepi pembeli. Bayangkan saja tempat diantara komplek rumah warga, dan dilakukannya PSBB yang membuat mahasiswa yang kos disekitar warmindo atau burjo pulang ke rumah masing-masing. Jadi bisa dibayangkan sangat sepi sekali warmindo beliau saat awal pandemic.

Namun, demi menyukupi kebutuhan rumah tangga, mau tidak mau ya harus dilakukan. Beliau tetap istiqomah menunggu pembeli yang datang walaupun terkadang hanya satu dua pembeli yang datang. Menurut beliau, omset atau pendapatan burjo jadi turun drastic karena pandemic dan PSBB. Tapi sekarang kondisi semakin membaik. Mahasiswa juga sudah banyak yang berkuliah secara luring di kampus, para pekerja dan karyawan sudah Kembali beraktifitas seperti biasa, dan tak kalah penting, waung Burjo milik Pak Tri sudah ramai dikunjungi para pembeli.

Dalam perbincangan dengan Pak Tri, saya bertanya terkait bulan Ramadhan ini. Apakah menjadi sepi atau malah semakin ramai dukunjungi pembeli. Beliau menjelaskan jika bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah. Beliau tidak terlalu mementingkan apakah warung burjonya akan laris atau tidak. Beliau menuturkan, jika kita ikhlas menjalani sebuah pekerjaan demi mendapatkan ridho Allah, pasti Allah akan menolong. Dan benar saja, ketika bulan Ramadhan warung burjo milik Pak Tri ini ramai dikunjungi oleh pembeli, apalagi kalau diwaktu sahur. Beliau juga menjelaskan kalau di bulan Ramadhan ini warung burjo miliknya ini tak hanya menjual makanan dan minuman yang biasanya ada, tetapi ditambah dengan menu berbuka yaitu es buah. Es buah ini dibandrol dengan harga lima ribu rupiah per porsinya.

Di akhir wawancara dengan beliau, saya tak lupa menanyakan apakah warung burjo atau warmindo ini akan tetap ada, meskipun di masa sekarang café-café kekinian mulai bermunculan. Beliau menjawab dengan santai, “ya pasti akan ada terus lah mas, selama masih ada anak yang merantau ke Jogja, entah buat kuliah atau kerja, mereka juga butuh makan yang murah yang nggak nguras dompet mereka.” Pak Tri juga menambahkan, meskipun diwaktu sekarang sudah banyak sekali café kekinian yang bermunculan, faktanya tetap saja ketika perut sudah mulai lapar, jawabannya ya pergi ke warung burjo. Dan banyak sekarang anak muda yang nongkrong di warung burjo. Ketika ditanya, mereka memilih warung burjo untuk menghemat pengeluaran.

Jadi pada intinya, Warmindo atau warung Burjo akan tetap ada karena memang pada dasarnya, sasaran konsumen yang dituju antara Warmindo dan cafe berbeda. Warmindo menyasar mahasiswa yang menginginkan makanan murah dan mengenyangkan, sedangkan cafe menyasar pada mahasiswa atau anak muda yang menginginkan tempat yang nyaman untuk sekedar nongkrong atau mengerjakan tugas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun