Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Perdana
Muhammad Rizky Perdana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Mercubuana

NIM 43223110013- Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak - Jurusan Akuntansi - Mata Kuliah PENDIDIKAN ANTI KORUPSI DAN ETIK UMB

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Quiz 3 - Menjadi Sarjana dan Menciptakan Etika Kebahagiaan Aristotle

26 September 2024   19:35 Diperbarui: 26 September 2024   19:37 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahagia Menurut Aristoteles

Aristoteles mengajarkan dengan baik, bahwa bahagia itu pertama-tama bukan keadaan fisik atau status jiwa. Bahagia merupakan aktivitas manusiawi. Logika kecil ini menandai kebenaran yang sehari-hari, bahwa kodrat manusia adalah beraktivitas. Pengangguran sebaliknya identik dengan ketidakbahagiaan atau kondisi tidak manusiawi. 

Aristoteles sedang tidak menunjukkan secara persis disposisi bahagia, sebab bahagia adalah identik dengan aktivitas mengejar kebahagiaan itu sendiri. Dari sebab itu kebahagiaan terwujud pada saat seseorang memberikan kasih secara tulus terhadap sesamanya, sehingga kebahagiaan yang diberikan menjadi berkat bagi seluruh aktivitas yang dijalani, dan dari situlah sukacita akan tumbuh melalui semangat cinta yang berkobar-kobar.  Selain itu kebahagiaan menjadi tujuan tindakan seseorang guna mendapatkan kepenuhan hidup dan hal itu tidak akan membuat seseorang kekurangan apapun.

Dalam menggagas realita kehidupan manusia, Aristoteles sangat mengedepankan rasio, karena keutamaan akal budi dinilai sangat baik. Kebahagiaan juga merupakan kegiatan atau aktivitas yang didasarkan pada keutamaan. Kebahagiaan itu terjadi pada saat seseorang menjalankan seluruh aktivitasnya dengan semangat yang tanpa dibebani masalah apapun. 

Bagi Aristoteles hidup bahagia adalah hidup yang mengungkapkan keutamaan, hidup yang melibatkan tindakan-tindakan serius dan tidak terdiri dari keceriaan semu. Kebahagiaan dengan demikian adalah choice worthy dalam dirinya sendiri. Maka setiap orang di dunia ini bebas untuk memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya, baik itu orang kaya maupun orang miskin, karena yang diutamakan dalam hidup ini adalah keutamaan seperti yang telah digagas oleh Aristoteles.

Aristoteles, seorang filsuf besar Yunani, mengemukakan bahwa tujuan tertinggi dalam hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan, atau yang dikenal dengan istilah eudaimonia. Dalam konteks ini, menjadi sarjana bukan hanya tentang memperoleh gelar akademis, tetapi juga tentang mengembangkan kebijaksanaan dan karakter yang baik untuk mencapai kebahagiaan sejati. Berikut adalah beberapa alasan. 

Mengapa etika kebahagiaan Aristoteles relevan bagi kita 

Pemikiran etika Aristoteles tentang kebahagiaan tetap relevan bagi kita karena beberapa alasan penting:

1. Definisi Kebahagiaan. 

Aristoteles mendefinisikan kebahagiaan (eudaimonia) sebagai keadaan kehidupan yang kaya dengan nilai-nilai dan tujuan bermakna, bukan hanya sebagai kepuasan sesaat atau gratifikasi hedonistik. Ini menekankan pentingnya hidup dengan tujuan yang lebih besar dan bermakna dalam jangka panjang.

2. Kebijaksanaan Praktis. 

Aristoteles menganggap kebijaksanaan praktis (phronesis) sebagai kunci untuk mencapai kebahagiaan. Kebijaksanaan ini melibatkan kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat berdasarkan pengetahuan dan pemahaman yang cermat tentang apa yang baik dan benar dalam situasi kehidupan sehari-hari.

3. Etika Virtue.

Konsep etika virtue menekankan pentingnya mengembangkan karakter baik dan moral melalui praktik kebajikan. Ini termasuk keberanian, kedermawanan, toleransi, keadilan, dan bijaksana. Dengan demikian, individu dapat hidup sesuai dengan nilai-nilai yang benar dan mencapai kebahagiaan.

4. Keseimbangan dalam Kebajikan.

 Aristoteles menekankan pentingnya menemukan keseimbangan atau golden mean dalam praktik kebajikan. Ini berarti menghindari kedua ekstrem, yaitu kelebihan dan kekurangan, untuk mencapai kehidupan yang baik.

5. Relevansi dalam Kehidupan Modern.

Pemikiran etika Aristoteles tetap relevan dalam kehidupan modern karena menawarkan kerangka kerja yang berkelanjutan untuk mencapai kebahagiaan dan hidup yang baik. Prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Aristoteles, seperti pentingnya kebijaksanaan dan praktik kebajikan moral, dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk menciptakan kehidupan yang lebih bermakna.

Modul Prof.Appolo
Modul Prof.Appolo
Modul Prof.Appolo
Modul Prof.Appolo
Modul Prof.Appolo
Modul Prof.Appolo
Modul Prof.Appolo
Modul Prof.Appolo

Mengapa Kebijaksanaan Penting dalam Mencapai Kebahagiaan?

Etika kebahagian, atau eudaimonia, adalah konsep sentral dalam filsafat Aristotle. Ia percaya bahwa mencapai eudaimonia adalah tujuan utama kehidupan manusia. Eudaimonia tidak hanya berarti kebahagian, tetapi juga berarti hidup yang penuh dengan makna dan tujuan. Aristotle berpendapat bahwa eudaimonia dapat dicapai melalui hidup yang bermoral dan beradab. Ia mengajarkan bahwa kebahagian tidak ditemukan dalam kekayaan, kekuasaan, atau kesenangan semata, tetapi dalam hidup yang penuh dengan kebajikan dan kebijaksanaan. 

Kebijaksanaan dalam etika Aristoteles dianggap sebagai kebajikan intelektual yang paling tinggi karena melibatkan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai moral dan kemampuan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai tersebut.

Untuk mencapai kebahagiaan yang berkelanjutan, kita perlu belajar hidup dengan bijaksana dan membuat keputusan yang tepat dalam setiap situasi. Kebijaksanaan memberi kita kemampuan untuk mengenali apa yang benar dan apa yang salah, serta kemampuan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral yang kita anut.

Kebijaksanaan juga membantu kita menghadapi tantangan dan kesulitan dalam kehidupan dengan baik. Ini memberi kita kemampuan untuk melihat situasi dari berbagai sudut pandang dan membuat keputusan yang paling tepat untuk mencapai tujuan kita.

Dalam banyak hal, kebijaksanaan adalah pondasi dari kebajikan moral lainnya. Tanpa kebijaksanaan, kita mungkin tidak bisa mengenali apa yang benar dan apa yang salah, atau bagaimana bertindak dalam kepentingan yang lebih besar dari diri sendiri. 

Bagaimana Mencapai Kebahagian?

 Untuk mencapai kebahagian, Aristotle mengajarkan beberapa prinsip penting. Pertama, ia mengemukakan prinsip "Golden Mean" (Tengah Emas), yang menyatakan bahwa kebajikan dapat ditemukan di tengah antara kelebihan dan kekurangan. Misalnya, keberanian adalah kebajikan yang terletak di tengah antara ketakutan dan keberanian berlebihan.

Kedua, Aristotle menekankan pentingnya observasi empiris dan sistematis. Ia percaya bahwa pengetahuan tidak hanya dapat diperoleh melalui introspeksi, tetapi juga melalui interaksi dengan dunia fisik. Ia berpendapat bahwa pengalaman dan interaksi dengan lingkungan sekitar sangat penting dalam membangun pengetahuan yang autentik.

Ketiga, Aristotle mengajarkan bahwa kebahagian dapat dicapai melalui pengembangan potensi manusia. Ia percaya bahwa setiap individu memiliki potensi unik yang harus dikembangkan untuk mencapai eudaimonia. Dalam konteks ini, ia mengajarkan bahwa kebahagian bukanlah tujuan akhir, tetapi proses yang terus menerus dalam mencapai potensi penuh manusia.

Dalam kesimpulan, Aristotle menawarkan pandangan yang mendalam tentang belajar dan mencapai kebahagian. Belajar bukanlah hanya tentang mengumpulkan pengetahuan, tetapi juga tentang memahami diri sendiri dan dunia sekitar. Mencapai kebahagian melibatkan hidup yang bermoral, beradab, dan penuh dengan kebajikan. Dengan prinsip-prinsip seperti Golden Mean, observasi empiris, dan pengembangan potensi manusia, Aristotle memberikan arahan yang jelas bagi mereka yang ingin mencapai kebahagian yang sebenarnya.

Bagaimana Aristotle memahami proses belajar dan mencapai kebahagian ?

Aristotle memahami proses belajar dan mencapai kebahagiaan (eudaimonia) dengan beberapa prinsip utama yang terkait dengan pertumbuhan manusia dan keutamaan karakter. Berikut adalah beberapa aspek penting dari pemikirannya:

1. Pertumbuhan dan Potensi Manusia.

Aristotle percaya bahwa setiap individu memiliki potensi bawaan yang unik, yang jika dikembangkan dengan benar, dapat membawa kepada kebahagiaan. Ia mengajarkan bahwa manusia secara alami berkeinginan untuk mengetahui dan memiliki potensi untuk berkembang melalui pendidikan dan latihan.

2. Perbedaan Antara Potensi dan Aktualisasi.
Aristotle membedakan antara potensi (dunamis) dan aktualisasi (energeia atau entelecheia). Ini sangat relevan dengan konsep 'growth mindset', di mana kemampuan dilihat sebagai sesuatu yang bisa dikembangkan dan diperluas melalui upaya dan pembelajaran.

3. Kebajikan sebagai Hasil Pembiasaan.
Kebajikan (arete) bukanlah sesuatu yang warisan atau terlahir dengan, melainkan hasil dari pembiasaan (ethos). Ini mencerminkan prinsip 'growth mindset' di mana sikap dan kemampuan untuk berkembang dianggap sebagai hasil dari praktik dan pengalaman yang terus-menerus.

4. Logika dan Pembelajaran Sebagai Dasar Kemajuan.
Dalam bidang logika, Aristotle dianggap sebagai pendiri, menunjukkan bahwa pemahaman yang benar dan berpikir logis adalah fundamental. Ia menekankan pentingnya proses pembelajaran daripada hasil akhir.

5. Tujuan yang Berorientasi pada Proses.
Menurut Aristotle, kebahagiaan (eudaimonia) adalah hasil dari kehidupan yang dijalani secara virtuous, bukan sekadar pencapaian tujuan jangka pendek. Ia menekankan pentingnya menetapkan tujuan yang fokus pada proses pembelajaran dan pertumbuhan, bukan hanya pada hasil akhir.

6. Kesabaran dan Ketekunan.
Aristotle mengakui bahwa kebajikan membutuhkan latihan dan ketekunan. Mengembangkan growth mindset bukanlah perubahan yang terjadi dalam semalam. Ia menekankan pentingnya berlatih kesabaran dan ketekunan dalam menghadapi tantangan.

7. Nilai Pengetahuan dan Pembelajaran.
Aristotle sangat menekankan pada nilai pengetahuan dan pembelajaran. Ia mendorong individu untuk mencari peluang untuk meningkatkan pengetahuan, baik melalui pendidikan formal, membaca, maupun pengalaman praktis.

8. Kebahagiaan sebagai Aktivitas Manusia.
Aristoteles menggagas bahwa kebahagiaan merupakan aktivitas manusiawi. Logika kecil ini menandai kebenaran yang sehari-hari, bahwa kodrat manusia adalah beraktivitas. Kebahagiaan terwujud pada saat seseorang memberikan kasih secara tulus terhadap sesamanya, sehingga kebahagiaan yang diberikan menjadi berkat bagi seluruh aktivitas yang dijalani.

9. Kebahagiaan dalam Konteks Sosial.
Aristoteles juga mengakui pentingnya komunitas dalam pertumbuhan individu. Menurutnya, manusia adalah makhluk sosial yang pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan orang lain. Komunitas tidak hanya menyediakan konteks untuk praktik kebajikan, tetapi juga memperkuat identitas dan nilai-nilai individu.

DAFTAR PUSTAKA

Faiz, F. (2023, Oktober 04). Pemikiran Etika Aristoteles: Menggapai Kebahagiaan Melalui Kebijaksanaan. Retrieved from Pegadingan desa: https://pegadingan.desa.id/pemikiran-etika-aristoteles-menggapai-kebahagiaan-melalui-kebijaksanaan

Prayoga, A. (2022, Oktober 17). Kesederhanaan Sumber Kebahagiaan menurut Aristoteles. Retrieved from LSF DISCOURSE: https://lsfdiscourse.org/kesederhanaan-sumber-kebahagiaan-menurut-aristoteles/

suhandoko. (2024, Maret 08). Aristoteles dan Konsep Etika: Menggali Kebajikan dan Eudaimonia. Retrieved from wisata viva: https://wisata.viva.co.id/berita/6432-aristoteles-dan-konsep-etika-menggali-kebajikan-dan-eudaimonia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun