Banyak ahli yang mengkritisi kondisi pilkada hanya dengan satu pasangan calon merupakan kondisi yang tidak ideal dalam konteks berdemokrasi sebab filosofis dilaksanakannya pilkada ialah untuk mewujudkan asas kedaulatan rakyat di daerah dalam rangka melakukan transisi kepemimpinan di daerah. Keberadaan calon tunggal dalam pilkada juga dianggap akan mendegradasi kualitas dari demokrasi itu sendiri.
Meningkatnya calon pilkada tunggal tiap tahunnya semakin membuktikan tesis bahwa terdapat kekeliruan penafsiran peraturan perundang-undangan tentang pilkada yang mengatur mengenai keberadaan calon tunggal sekaligus disfungsi partai politik di Indonesia.Â
Salah satu fungsi yang dimiliki Partai Politik sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik ialah rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.Â
Pengisian jabatan politik tersebut tidak akan tercapai jika rekrutmen terhadap masyarakat ataupun kader partai politik terganjal dengan berbagai aturan limitatif diantaranya tingginya persyaratan pengusulan pasangan calon kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik, ataupun pasangan calon perseorangan.
Sebagaimana yang kita ketahui, calon kepala daerah dapat maju atas usul partai politik/gabungan beberapa partai politik atau maju secara perserorangan.Â
Untuk pasangan calon kepala daerah dengan kendaraan partai politik, Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada mensyaratkan perolehan suara paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.Â
Tingginya minimal ambang batas tersebut menjadikan partai politik tidak leluasa dalam mengusulkan calon kepala daerah. Ketidakleluasaan tersebut berimplikasi pada calon kepala daerah yang kompeten dimungkinkan tidak dapat diajukan jika partai politik tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut.
Akhirnya alternatif lain ialah membentuk sebuah koalisi dengan partai politik lain yang memenuhi persyaratan, yang belum tentu tiap partai politik yang tergabung dapat mengusulkan masing-masing calon kepala daerahnya.
Selain tingginya ambang batas yang telah ditetapkan, problematika lain yang menjadi penyebab munculnya calon tunggal pada pilkada ialah sikap pragmatis dari partai politik itu sendiri.Â
Dengan sahnya kondisi pilkada hanya dengan satu pasangan calon, partai politik menggunakannya sebagai sebuah strategi pemenangan yang baru. Partai politik yang sebetulnya memenuhi persyaratan ambang batas dalam mengajukan calon pasangan mengurungkan niatnya atau bahkan dengan sengaja tidak mengajukan pasangan calon dalam pilkada agar mendapatkan kekuasaan dengan cara mengamankan kemenangan sejak dibukanya masa pendaftaran pasangan calon pilkada yakni hanya mendukung calon pasangan yang telah memiliki elektabilitas yang tinggi di masyarakat atau bahkan hanya mendukung petahana kembali agar mendapatkan kemenangan sehingga timbul pratek borong dukungan yang dilakukan oleh partai-partai politik bagi salah satu pasangan calon.