"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (an-Nisa: 59)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ulil amri,
- - .
"(Kesimpulannya), yang tampak---wallahu a'lam---bahwa ayat tersebut mencakup setiap pihak yang menjadi ulil amri, baik pemerintah maupun ulama." (Tafsir al-Qur`an al-'Azhim, 2/345)
Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.
Menaati pemerintah dalam perkara makruf adalah prinsip utama di dalam ajaran Islam. Oleh karena itu, ketika seorang muslim menaati pemerintah, hendaklah dia meniatkannya sebagai ibadah, ikhlas untuk Allah semata.Â
Apabila kita memperhatikan dan mencermati surah an-Nisa ayat 59, kita akan mendapati bahwa ketika Allah memerintah orang-orang yang beriman untuk menaati-Nya dan Rasul-Nya; Allah menggunakan fi'il amr (kata perintah) Â ("Taatilah!"). Namun, ketika Allah memerintahkan untuk menaati Ulil Amri, tidak ada kata perintah tersebut. Mengapa demikian?
Syaikh Abdurrahman as-Sa'di rahimahullah menjelaskan,
"Bisa jadi, dihapusnya fi'il amr (kata perintah) ketika Allah memerintahkan menaati Ulil Amri, sedangkan ketika Allah memerintahkan untuk menaati Rasul, Allah menggunakan fi'il amr (kata perintah); sebabnya adalah tidaklah Rasul memerintahkan sesuatu, kecuali untuk ketaatan kepada Allah. Barang siapa menaati Rasul, berarti dia menaati Allah. Adapun Ulil Amri, mereka wajib diaati dengan syarat bukan dalam perkara kemaksiatan." (Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan 1/183)
Jadi Apabila kita diperintah untuk bermaksiat, tentu kita tidak boleh menaatinya. Namun, bukan berarti kita boleh memberontak dan menentang pemerintah. Al-Mutahhar menjelaskan,
hukum mendengar dan menaati perintah penguasa adalah wajib atas setiap muslim, baik diperintah dengan sesuatu yang mencocoki kesenangannya maupun yang bertentangan dengan apa yang disukainya. Syaratnya adalah bukan perintah dalam kemaksiatan. Apabila penguasa memerintahkan suatu perkara maksiat, dia tidak boleh menaatinya. Akan tetapi, dia tetap tidak boleh menentang dan memberontak terhadap penguasa." (Tuhfatul Ahwadzi, 4/393)