Mohon tunggu...
Rizky Pratama
Rizky Pratama Mohon Tunggu... Penulis - The Calm Man

Knowledge is Everything

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Exclusionary Rules Terhadap Bukti Permulaan dalam Praktik Acara Pidana di Indonesia

1 Februari 2022   07:00 Diperbarui: 1 Februari 2022   07:02 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalimat adanya “alat bukti yang sah” merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam hal ini bukan hanya dilihat dari jenis alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP tersebut, melainkan pula perlu dilihat dari perolehan alat bukti tersebut. Pasal 184 KUHAP mengarah kepada pembuktian di persidangan, hakim dalam memberikan putusannya perlu mempertimbangkan alat bukti yang sah tersebut apakah telah sesuai dengan jenis dan fakta yang terdapat di persidangan. Jauh sebelum adanya putusan, perlu kiranya mengkaji dan memperhatikan perolehan alat bukti yang sah tersebut.

Berkaitan dengan perolehan alat bukti yang sah dalam sistem peradilan pidana, terdapat konsep yang membahas mengenai hal ini adalah Exclusionary Rules yang memandang bahwa alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah tidak dapat digunakan. Di Indonesia sendiri, dalam perkara pidana seirngkali adanya pemkasaan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mendapatkan suatu bukti dengan mendapatkan keterangan dari Pelaku. Permasalahannya adalah, pemaknaan antara alat bukti dengan bukti atau dikenal di Indonesia adalah   „barang   bukti‟memiliki   perbedaan.   Sehingga   prinsip   Exclusionary   Rules   hanya berlaku untuk alat bukti yang sah sebagaimana yang terdapat dalam 184 KUHAP. Namun, adanya prinsip ini seharusnya dapat berguna juga dalam proses pra-persidangan di Pengadilan, hal ini berguna untuk menilai kualitas suatu bukti dalam tahapan penyelidikan dan penyidikan sampai dengan penjatuhan vonis oleh hakim.

Dalam perkara pidana di Indonesia, proses baru dapat dilakukan apabila terdapatnya suatu bukti permulaan yang cukup. Bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana. Berkaitan dengan bukti permulaan, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pendapatnya dalam Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.

Potensi Adanya Pengesampingan Kualitas Alat Bukti Dalam Memidanakan Seseorang
Dilihat dari penafsiran Hakim Mahkamah Konstitusi, menurut Penulis masih terdapat suatu kejanggalan dalam hal mendefinisikan terkait dengan “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup”. Hal ini dikarenakan, hanya memberikan pengertian terkait dengan kuantitas bukti yang disesuaikan dengan Pasal 184 KUHAP. Namun, tidak memberikan suatu ukuran kualitas terhadap bukti tersebut atau hubungan langsung atau nilai terhadap tindak pidana yang dilakukan. Ini menunjukkan masih ada celah terhadap tindakan sewenang-wenang (ancaman atau kekerasan) Penyidik atau Penuntut Umum dalam memperoleh bukti yang didapatkan dari keterangan pihak-pihak yang terlibat khususnya kepada Pelaku. Sehingga, dalam penerapannya apabila telah muncukupi 2 bukti permulaan, maka proses peradilan pidana tetap dilanjutkan dengan mengesampingkan kualitas bukti yang sejatinya dapat menunjang perkara tersebut. Bagi Penulis, hal ini tentunya berhubungan dengan prinsip Exclusionary Rules dalam sistem peradilan pidana.

Pasal 184 KUHAP mengatur mengenai alat bukti yang sah dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun, harus diakui bahwa KUHAP tidak mengatur mengenai kualitas dari bukti yang diperoleh pada saat tahapan penyelidikan dan penyidikan (pra-persidangan). Hal ini mengakibatkan munculnya Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, untuk menyatakan bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” sepanjang dimaknai minimal 2 (dua) alat bukti sesuai dengan Pasal 184 KUHAP tersebut. Namun, bagaimana dengan bukti yang tidak memiliki kaitan langsung dengan tindak pidana  dilakukan ? bagaimana dengan bukti yang diperoleh dari adanya ancaman atau kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum ? Apakah dengan pemaknaan 2 (dua) alat bukti tersebut dapat menjadi suatu ukuran kebenaran tindak pidana dilakukan ?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut, dalam beberapa tahun terakhir menjadi logis dengan melihat perkembangan sistem peradilan pidana di Indonesia. Banyaknya perkara pidana yang diajukan pra-peradilan untuk menguji bukti yang ditemukan dalam proses penyelidikan dan penyidikan memberikan gambaran bahwa masih adanya suatu kesalahan atau keraguan kepada Penyidik dalam proses pemeriksaannya. Disisi lain, perolehan pengakuan tersangka di penyidikan yang ternyata seringkali diperoleh melalui kekerasan, hal ini tidak serta merta dapat dikecualikan. Proses mendapatkan suatu bukti, tidak dibenarkan apabila dilakukan dengan cara melawan hukum. Perolehan bukti haruslah didasari oleh kesadaran pelaku atau kehendak bebas tanpa adanya intervensi apapun itu dalam tahap penyidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 52 dan 117 KUHAP. Disinilah peranan kualitas bukti tersebut dapat dinilai secara komprehensif dengan dikaitkan perbuatan pelaku.

Meskipun sistem peradilan pidana di Indonesia akan diperbarui, namun kedudukan pengadilan yang masih terdapat celah untuk negara mengintervensi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penegakan hukum dan lembaga peradilan yang berorientasi pada citra dan jalannya penegakan hukum, maka potensi pelanggaran terhadap prinsip Exclusionary Rules masih akan terjadi atau bahkan dengan bentuk yang berbeda. Menarik untuk melihat kinerja dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam pembaharuan sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun, perlu rumusan yang jelas dan rinci untuk meminimalisir pelanggaran terhadap Exclusionary Rules. Seharusnya dalam penerapan prinsip Exclusionary Rules bukan hanya berorientasi pada perbuatan Pelaku melainkan juga perlu melihat dampak terhadap korban. Inilah yang akan menjadi tantangan dalam pembaharuan hukum acara pidana yang berkaitan dengan penerapan Exclusionary Rules di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun