Mahasiswa/i Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Universitas Mercu Buana melakukan kegiatan Studi Lapangan, mengunjungi Kampung Cina, Glodok Jakarta Barat, Senin (18/11/2024) tepatnya pada sore hari.Â
Kegiatan Studi Lapangan ini dilakukan untuk memenuhi Mata Kuliah ‘Komunikasi Antar Budaya’ yang dibimbing oleh Ibu Rosmawaty Hilderiah. P,Dr, S.Sos.,MT. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), dengan melalui tur jalan kaki yang di pandu oleh Koh Andre dengan membawa rombongan Mahasiswa/i masuk ke Kawasan Glodok.
Anggota kelompok yang berpartisipasi dalam Studi Lapangan ini adalah Restu Bintang Aditya, Rizky Maulana, Attala Yudhistira Ahmada dan Mochammad Awan Putra Aryatama. Tujuan dari kunjungan ini adalah untuk mengenali dan mempelajari interaksi budaya yang terjadi antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat lokal di kawasan Glodok, Jakarta Barat.
Kawasan pecinan Glodok ternyata sudah ditetapkan menjadi Desa Wisata Pecinan Glodok. Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno, desa wisata ini memiliki nilai storynomics tourism yang kuat karena merupakan hasil akulturasi dari budaya Tionghoa, Sunda, Betawi, hingga Jawa.
Tur jalan kaki yang dipandu oleh Koh Andre, bermulai dari Gedung Candra Naya yang diperlihatkan ornamen-ornamen khas bangunan zaman dulu, seperti rumah Mayor Khouw Kim An. Gedung Candra Naya ini merupakan gedung yang fenomenal, selain dibangun oleh keluarga terkaya Tionghoa pada tahun kemerdekaan 1945 yaitu keluarga Khouw Kim An, Â sebelum ditinggali nyatanya gedung ini dipakai oleh Yayasan Candra Naya untuk membantu korban kerusuhan Etnis yang ada di Tangerang, yang mana gedung ini juga menjadi salah satu sejarah pergerakan organisasi Tionghoa yang berada di Batavia.
Lalu sisa-sisa bangunan dari gedung Candra Naya sendiri salah satunya adalah gedung Universitas Tarumanegara, selain itu Universitas Trisakti juga lahir dari gedung Candra Naya ini yang mana pada saat itu bernama Universitas  Baperki. Aset lain dari gedung ini adalah Rumah Sakit Sumber Waras.
Yayasan Candra Naya sendiri masih berdiri hingga sekarang berada di jembatan besi, yang menjadi tempat pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMA dan SMK. Gedung Candra Naya di beberapa tahun terakhir ini sempat tidak terurus, lalu kemudian juga berpindah tangan yang mana akhirnya mulai dibangun kembali dan direnovasi.
Lalu sampailah di destinasi kedua yaitu Vihara Dharma Jaya Toa Se Bio, yang mana Klenteng tersebut merupakan Klenteng Tertua kedua di daerah Jakarta. Nama dari Klenteng Toa Se Bio sendiri memiliki Arti Pesan kebajikan pada nama Toa Se. Jadi Klenteng ini didirikan untuk membawa pesan kebajikan pada saat orang-orang Tionghoa datang ke Indonesia yang mana saat itu sudah ratusan tahun yang lalu.
Vihara Dharma Jaya Toa Se Bio ini sempat terkena musibah kebakaran, saat kejadian geger pecinan pada tahun 1740. yang saat itu adanya kekerasan pada orang-orang Tionghoa oleh belanda. Hal itu terjadi dikarenakan orang-orang Tionghoa melakukan pemberontakan karena adanya pajak pajak yang tidak rasional oleh belanda.
Lanjut ke pembahasan utama, ternyata ada fakta unik mengenai Klenteng ini yaitu area pembangunan Klenteng pasti di dekat Pasar dan aliran air, hal itu karena medan saat zaman dulu di Glodok memiliki banyak kanal-kanal seperti Kota Venesia.Â
Pada Klenteng Toa Se Bio ini memiliki petilasan tokoh Agama Islam terkenal dari Jawa Barat yaitu petilasan Raden Surya Kencana yang merupakan pendiri Kota Cianjur. Yang mengisyaratkan bahwa taraf toleransi dan hormat pada Agama lain itu sangat tinggi.
Pada destinasi ketiga bernama Pantjoran Tea House yang terletak di dekat gapura Chinatown Jakarta. Saat mengunjungi Pantjoran Tea House biasanya disambut oleh 8 Teko yang Tersusun rapi di depan bangunan. Hal itu sebagai simbol untuk mengenang kebaikan sosok kapiten Tionghoa yaitu  yang pernah ada di jalan Patekoan, Glodok.
Pantjoran Tea House ini beroperasi dari jam 11 siang sampai jam 8 Malam pada hari biasa, dan dari jam 8 pagi hingga 8 Malam saat Weekend. Saat memasuki Bangunan Pantjoran Tea House kalian akan disuguhkan oleh dekorasi interior pada masa lampau. Yang menghiasi dindingnya seakan akan kita melakukan perjalanan waktu untuk melihat sejarah-sejarah melalui dekorasi interiornya.
Sebelum menjadi Bangunan yang kita kenal sekarang, Pantjoran Tea House sebelumnya merupakan sebuah Toko obat tradisional, yang bernama Apotek Chung Hwa yang sudah ada sejak Batavia Disekitar tahun 1928. Kemudian tempat ini direnovasi menjadi restoran Pantjoran Tea House, dengan 8 Teko yang tersusun rapi di depan restoran.
Dengan adanya kegiatan ini, mahasiswa dapat memperoleh pengetahuan secara langsung tentang bagaimana percampuran budaya terjadi di masyarakat. Mereka melihat bahwa keragaman dapat menjadi kekuatan jika memiliki rasa toleransi antar budaya. Kegiatan ini telah mewakili semangat toleransi masyarakat di Ibu Kota. Kegiatan ini dapat menciptakan harmoni yang mewarnai komunitas melalui unsur yang berasal dari beragam etnis dan budaya, seperti budaya Tionghoa, Jawa, Betawi, Sunda dan lainnya membaur saling melengkapi untuk kepentingan masyarakat bersama.
Melalui program MBKM yang diadakan oleh Universitas Mercu Buana, kegiatan ini dapat memberikan dampak yang sangat positif untuk kalangan mahasiswa dalam meningkatkan skill mereka tentang bagaimana cara berkomunikasi dengan masyarakat yang memiliki keberagaman budaya, serta untuk menjaga kelestarian beragam budaya di Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI