Merendahkan Derajat Martabat Manusia
 Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas mengamanatkan bahwa "Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari Negara lain."
Namun faktanya, perbuatan yang merendahkan derajat martabat manusia masih terjadi di Indonesia, misalnya prostitusi. Prostitusi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pertukaran hubungan seksual dengan uang/hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan; pelacuran    Â
Penyalahgunaan teknologi internet telah melahirkan kejahatan siber prostitusi (prostitusi online). Para pelaku, muncikari/perantara, pria/wanita pekerja seks komersial dan calon pengguna dapat lebih cepat dan lebih aman jika ingin bertransaksi karena menggunakan sarana komunikasi online, facebook, instagram, whatsapp, dan sebagainya.
Menurut hemat Penulis, terdapat 3 penyebab utama terjadi prostitusi online: 1. Faktor kemiskinan; 2. Faktor lingkungan; 3. Faktor Menghindari Petugas.Â
Penyebab utama prostitusi adalah tingkat kemiskinan jiwa konsumtif, barang-barang bermerek namun gaji tidak mencukupi bahkan tidak memiliki uang membuat pria/wanita mencari 'jalan pintas', dengan cara 'menjual diri' kepada orang yang kaya.
Faktor lingkungan dan keluarga. Keluarga memiliki peranan penting dalam pembentukan karakter remaja oleh karena itu orang tua, keluarga harus mendukung dan memahami serta berkomunikasi dengan baik dengan anak.Â
Prostitusi online tidak membutuhkan tempat yang dapat dilacak oleh petugas, tidak perlu susah payah berdandan sedemikian rupa untuk membuat ketertarikan pria/wanita
Penjaja prostitusi atau biasa disebut muncikari adalah orang yang selalu merendahkan martabat manusia dengan cara 'menjual', 'menjajakan' perempuan/laki-laki kepada 'pemakai' dan diberi bayaran uang.Â
Bayangkan bahwa derajat martabat manusia bisa dibeli dengan uang Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah), Rp.500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) bahkan Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
Pada bulan Maret 2018 lalu, Kepolisian Resort Kota Banda Aceh berhasil menangkap pelaku penyedia prostitusi online dengan cara menawarkan wanita dengan bayaran Rp.2.000.000,00 (dua juta rupiah) melalui program komunikasi telepon genggam WhatsApp.Â
Pada bulan Mei 2018, Polda Metro Jaya berhasil mengungkap prostitusi online (daring) yang menggunakan aplikasi handphone 'WeChat' di Apartemen Kalibata dan menggunakan modus menawarkan jasa pijat.
Beberapa waktu lalu juga terdapat dugaan bahwa ada dugaan tindak pidana prostitusi online, prostitusi daring. Sudah selayaknya, prostitusi ini disetop karena tidak beradab, melanggar hukum, dan merusak moral.Â
Jika ingin mencari duit bukanlah dengan cara menjual 'tubuh' kepada orang lain. Hal ini juga memerlukan peran masyarakat, masyarakat wajib melaporkan jikan terjadi prostitusi online dalam bentuk apapun, website, grup whatsapp.
Berantas Dengan Pendidikan dan Hukum
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan adalah jalan keluar dan upaya preventif yang tepat untuk memberantas kegiatan prostitusi online. Peranan guru di sekolah. Dosen di universitas, untuk mendidik siswa, mahasiswa sangat penting karena hakekat pendidikan baik pendidikan formal maupun informal adalah sepanjang hayat.
Pendidikan moral sangat penting diajarkan kepada masyarakat, khususnya yang tinggal di daerah rawan tindak pidana. Selain itu, pendidikan hukum juga wajib diberikan oleh Pemerintah, Polisi agar masyarakat tidak berani melakukan tindak pidana prostitusi ataupun menjadi korban prostitusi online.
Philipus M. Hadjon dalam bukunya "Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia" (1987:29), perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.Â
Preventif memiliki tujuan mencegah sengketa atau masalah sedangkan perlindungan represif bertujuan menyelesaikan sengketa termasuk penanganan di lembaga peradilan. Â Â Â Â Â Â Â
Adapun peraturan perundang-undangan yang menyangkut prostitusi baik secara online/daring ataupun secara konvensional yakni diatur dalam a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); b. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO); Â c. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi); d. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE); Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum;
Menurut hemat Penulis, jika penegak hukum (polisi, jaksa penuntut umum) ingin menerapkan Pasal bagi pelaku yang diduga melakukan perbuatan pidana prostitusi online maka wajib mengkaitkan atau memberi juncto terhadap UU ITE karena prostitusi online menggunakan sarana elektronik, internet, informasi elektronik sebagai media, dan UU ITE bersifat sebagai lex specialis, hukum yang khusus.
Menurut hemat penulis, pemberantasan prostitusi online melalui hukum adalah salah satu bentuk tindakan represifyang diperuntukan untuk memberi efek jera pada pelaku dan supaya pelaku tidak mengulangi kesalahnya kembali. Â
Namun kiranya, sanksi yang diberikan sebaiknya adalah bukan hanya sanksi pidana jika terbukti melanggar peraturan perundang-undangan melainkan juga sanksi sosial yang memberikan pendidikan, memberikan pertobatan serta diberikan pendampingan baik pendampingan psikologis, agama dan keterampilan agar kelak dia keluar dari penjara maka dapat diterima & memiliki pekerjaan yang halal.
Misalnya, menurut hemat penulis, sanksi yang tepat bagi penyedia jasa seks komersial ataupun 'muncikari' adalah sanksi pidana penjara dan/atau pidana denda. Â
'Muncikari' harus diberikan hukuman seberat-beratnya karena mereka perantara dalam pengeksploitasian seseorang dan untuk memberikan efek jera serta peringatan agar tidak ada 'muncikari' lainnya. Terkhususnya jika korban penjualan ialah usia anak.
Bagi muncikari yang 'menjual' atau menyediakan pria/wanita sebagai objek pelacuran dan menggunakan media internet dapat diancam dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang berbunyi demikian:Â
"Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."
Menurut penulis, bagi perempuan/laki-laki yang terbukti &tertangkap sebagai pelacur, penjaja seks komersial  ataupun bagi orang yang terbukti memakai jasa penjaja seks komersial sebaiknya oleh hakim pemeriksa perkara juga diberikan hukuman sosial misalnya seperti hukuman membersihkan tempat ibadah selama 3 bulan berturut-turut Selain sanksi sosial tersebut, pemakai jasa seks komersial ataupun penjaja seks komersial seyogyanya diberikan pendampingan khusus melalui pendekatan psikologi, rehabilitasi kejiwaan agar mereka bertobat.
Pengguna wanita/laki-laki yang adalah tunasusila baik berasal dari prostitusi online ataupun offline harus diberikan sanksi hukum agar mereka tobat, tidak mengulangi perbuatannya lagi. Â
Dalam KUHP memang tidak diatur dengan tegas bahwa pengguna prostitusi dapat dihukum, namun tetap terdapat Pasal yang serupa, misalnya Pasal 284 KUHP tentang perzinahan jika pengguna telah terikat dalam satu perkawinan.Â
Selain KUHP, jikalau setiap Pemda telah memiliki Perda tentang ketertiban umum, maka pengguna prostitusi juga dapat dijerat hukuman pidana. Misalnya, dalam Perda DKI Jakarta No.8 Tahun 2007 tentang Ketertiban umum, bahwasanya  Pasal 42 ayat (2) huruf c setiap orang dilarang memakai jasa penjaja seks komersial jikalau masih tetap memakai maka diancam ketentuan pidana kurungan paling singkat 20 (dua puluh) hari dan paling lama 90 (sembilan puluh) hari atau denda paling sedikit Rp.500ribu dan denda paling banyak Rp. 30 juta
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H