Menurut hemat penulis, pemberantasan prostitusi online melalui hukum adalah salah satu bentuk tindakan represifyang diperuntukan untuk memberi efek jera pada pelaku dan supaya pelaku tidak mengulangi kesalahnya kembali. Â
Namun kiranya, sanksi yang diberikan sebaiknya adalah bukan hanya sanksi pidana jika terbukti melanggar peraturan perundang-undangan melainkan juga sanksi sosial yang memberikan pendidikan, memberikan pertobatan serta diberikan pendampingan baik pendampingan psikologis, agama dan keterampilan agar kelak dia keluar dari penjara maka dapat diterima & memiliki pekerjaan yang halal.
Misalnya, menurut hemat penulis, sanksi yang tepat bagi penyedia jasa seks komersial ataupun 'muncikari' adalah sanksi pidana penjara dan/atau pidana denda. Â
'Muncikari' harus diberikan hukuman seberat-beratnya karena mereka perantara dalam pengeksploitasian seseorang dan untuk memberikan efek jera serta peringatan agar tidak ada 'muncikari' lainnya. Terkhususnya jika korban penjualan ialah usia anak.
Bagi muncikari yang 'menjual' atau menyediakan pria/wanita sebagai objek pelacuran dan menggunakan media internet dapat diancam dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang berbunyi demikian:Â
"Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."
Menurut penulis, bagi perempuan/laki-laki yang terbukti &tertangkap sebagai pelacur, penjaja seks komersial  ataupun bagi orang yang terbukti memakai jasa penjaja seks komersial sebaiknya oleh hakim pemeriksa perkara juga diberikan hukuman sosial misalnya seperti hukuman membersihkan tempat ibadah selama 3 bulan berturut-turut Selain sanksi sosial tersebut, pemakai jasa seks komersial ataupun penjaja seks komersial seyogyanya diberikan pendampingan khusus melalui pendekatan psikologi, rehabilitasi kejiwaan agar mereka bertobat.
Pengguna wanita/laki-laki yang adalah tunasusila baik berasal dari prostitusi online ataupun offline harus diberikan sanksi hukum agar mereka tobat, tidak mengulangi perbuatannya lagi. Â
Dalam KUHP memang tidak diatur dengan tegas bahwa pengguna prostitusi dapat dihukum, namun tetap terdapat Pasal yang serupa, misalnya Pasal 284 KUHP tentang perzinahan jika pengguna telah terikat dalam satu perkawinan.Â
Selain KUHP, jikalau setiap Pemda telah memiliki Perda tentang ketertiban umum, maka pengguna prostitusi juga dapat dijerat hukuman pidana. Misalnya, dalam Perda DKI Jakarta No.8 Tahun 2007 tentang Ketertiban umum, bahwasanya  Pasal 42 ayat (2) huruf c setiap orang dilarang memakai jasa penjaja seks komersial jikalau masih tetap memakai maka diancam ketentuan pidana kurungan paling singkat 20 (dua puluh) hari dan paling lama 90 (sembilan puluh) hari atau denda paling sedikit Rp.500ribu dan denda paling banyak Rp. 30 juta