Sekilas Sistem Penguburan Orang Karo
Jenis dan norma penguburan orang Karo secara adat yakni sebagai berikut[1]:
- Mate ibas bertin, janin dibungkus kain putih dimasukkan kedalam tempat khusus, dimalam hari dikuburkan secara rahasia, tujuannya agar mayat tidak dicuri sebagai ramuan tertentu sejalan dengan kepercayaan dinamisme orang Karo tempo dulu;
- Mate tubuh, pelaksanaan penguburan sama dengan mate ibas bertin, namun diberitahukan kepada beberapa famili;
- Mate mupus, dipercaya oleh leluhur bahwa arwah almarhumah sering gentayangan, dan menganggu karena tidak merasa puas dan suka membalas dendam. Adapun cara penguburan menurut adat ialah sama dengan penguburan orang dewasa lainnya;
- Mate lenga ripen, acara penguburan tidak diramaikan, hanya dihadiri oleh keluarga terdekat dan tetangga;
- Mate singuda-nguda/anak perana. Upacara penguburan sama dengan orang dewasa, namun menurut kepercayaan dalam upaya menghilangkan “tagih-tagih” remaja tadi, sebelum mayat dimasukkan kedalam peti ,maka kepada yang bersangkutan disediakan semacam jenis benda yang menyerupai milik lawan jenisnya, dan ditempatkan pada bagian kemaluan almarhum/almarhumah;
- Mate lenga dung (lolo) dahin, upacara penguburan menurut adat sama dengan dewasa, sedangkan tingkat upacaranya adalah kesepakatan musyawarah kerabat Rakut Si Telu;
- Mate cawir metua ,upacara penguburannya “i-dung-i” (diselesaikan secara adat). Jika keluarga kekurangan dana maka upacara dilakukan dengan istilah i-buni-ken (disembunyikan saja dahulu), kelak jika sudah sanggup maka diadakan upacara penguburan secara adat;
- Mate sadawari, upacara penguburan sama dengan kematian lain namun mayat tidak boleh ditempatkan dalam rumah adat namun ‘i-batang diher jabu’ (di bangunan tempat penyimpanan padi di dekat rumah adat).
Sebagai bagian dari penyelesaian penguburan maka dalam adat dikenal pemberian sesuatu benda milik almarhum/almarhumah kepada ‘kalimbubu’. Pemberian tersebut menurut adat disebut sebagai ‘sapu iluh’ (kain adat) berupa ‘batuna (kain adat diikatkan sejumlah uang)’, ‘maneh-maneh’, ‘morah-morah’ berupa baju/batik dan lainnya miliki almarhum/almarhumah
[1] Bangun, Tridah, 1990, Penelitian dan Pencatatan Adat Istiadat Karo, Yayasan Merga Silima, Kesaint Blanc, Jakarta, hlm.55-57
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI