"Jalan kaki saja, eman duwite. Lagian dari basecamp ke gerbang pendakian enggak jauh," ujar Agung, salah seorang kawan kami yang sudah pernah naik ke gunung Kelud.
Pukul tiga sore, perjalanan dimulai. Berjalan santai adalah motto kami. Sesekali kami menyapa penduduk sekitar yang sedang mencari rumput. Seorang kakek dan nenek. Saya salut kepada kakek dan nenek itu. Fisiknya sudah menua tapi masih kuat mencari rumput untuk hewan ternaknya.
Kalau ada salah satu yang capek, semua harus istirahat. Yang lucunya, Agung yang menyarankan untuk jalan kaki dan tidak naik ojek, sebelum tiba di gerbang pendakian sudah merasa ngos-ngosan. Dia berhenti, bergaya seolah membenarkan tali sepatu. Tapi kami tahu, itu adalah salah satu alibi untuk beristirahat. Hehehe ... canda, Gung.
Selepas itu pendakian berjalan lancar. Kami membelah hutan, melewati ilalang dan pepohonan rimbun. Suara-suara hewan menyambut. Kabut mulai turun. Hingga tiba di pos satu. Harapan saya untuk tidak hujan musnah sudah. Di pos satu ini, kami beristirahat cukup lama karena hujan yang cukup lebat. Selain itu kami bisa mengambil napas baru.
Agung dan Ahmad ngos-ngosan, keringat mengalir deras. Saya pun sedikit letih, tapi masih dalam tahap normal. Maklum pendakian pertama. Sementara Rosyad terlihat tak capek sedikit pun. Padahal di antara kami berempat, dia membawa beban tas carrier yang paling berat. Keringat pun tak kentara di pelipisnya. Maklum dia sudah malang melintang di dunia pendakian. Sudah banyak gunung yang dia daki. Di gunung Kelud pun dia sudah dua kali mendaki hingga puncak. Jadi tak heran dia tak merasa keletihan.
Betapa cintanya kawanku itu pada gunung hingga dia rela menyisihkan uang sakunya demi mendaki. Demi gunung saja dia rela berkorban, apalagi sama kamu. Hehehe ...
Setelah hujan reda, perjalanan dilanjutkan. Kali ini trek menanjak dengan jalur yang sedikit licin karena diguyur hujan. Untungnya, jarak antara pos satu dan dua tidak jauh. Sekitar 30 menit perjalanan. Di pos dua, kami kembali rehat cukup lama. Kami mengobrol, bercanda sebagai pelipur lelah.Â
Alasan utama mengapa kami beristirahat cukup lama ialah karena pacet. Hewan kecil penghisap darah itu datang. Tangan dan kaki tiba-tiba mengeluarkan cairan merah. Sekali saja pacet berhasil menembus celah pertahanan kita, maka hanya tinggal menunggu waktu sekawanan pacet lain akan mendarat.
Di antara kami berempat, Agung yang menjadi bulan-bulanan pacet. Di kaki, tangan, hingga menyusup celah-celah celana. Lengkap sudah. Bahkan dia sampai parno. Ada yang berggerak di kaki, dia langsung lepas sepatu. Ada yang aneh di tangan, dia langsung mengebaskan dengan kuat. Kawan satu ini memang punya darah yang lezat. Hehehe ....