Selepas isya' satu per satu dari mereka datang. Tangan kosong. Hanya membawa bahan guyonan dan raga belaka. Terkadang kalau pusarnya sedang bolong, mereka membawa barang satu dua makanan ringan: gorengan, roti, buah markisa. Itu pun pasti langsung habis dalam kejapan mata.
Tempat yang mereka tuju yakni hanya satu: mereka menyebutnya sebagai kos-kosan sastra. Eits, jangan membayangkan segala sesuatu dari namanya. Karena ini bukan kos-kosan yang biasa ditemui di area kampus atau tempat ramai lainnya. Jangan juga membayangkan kata "kos" yang setiap bulannya harus membayar uang sewa. Tidak ada plakat "kos" yang tertera di depan.Â
Kata kos-kosan hanya sebuah istilah. Yang mereka sebut kosan sastra tidak lebih dari sekadar rumah sederhana dengan satu kamarnya berisi buku-buku bacaan: lebih banyak novel.
Mereka menyebut kosan sastra karena ya di sinilah tempat mereka nongkrong. Seperti kos-kosan katanya. Mereka bisa tidur semaunya, ngopi sepuasnya, tertawa sekencangnya, nobar sepakbola sebisanya, dan baca buku sesenggangnya. Penghuni rumahnya hanya tinggal dengan neneknya. Dan itu adalah tempat tinggal saya.
Biasanya setelah datang, mereka mengambil kegiatannya sendiri-sendiri. Ada yang membaca buku dan main game sampai kesal karena kalah terus.Â
Kalau sedang mengerjakan tugas kuliah lantas tak menemukan jawaban, pasti di antara mereka meradang seperti melihat mantan jalan dengan yang lain Satu laptop dipakai banyak manusia.
Sekarang masih mendingan ada dua laptop yang mengakomodasi keperluan kuliah orang-orang ini. Dulu hanya pakai satu laptop. Jadi, kalau ingin mengerjakan tugas kuliah harus antre seperti di wc umum.
Penghuni "kosan sastra" ini berasal dari jurusan berbeda-beda. Mulai dari Pendidikan Bahasa Inggris, Pariwisata, Sejarah Peradaban, hingga Manajemen Bisnis. Ada juga yang bekerja serabutan. Beragam seperti di ragunan.
Kegiatan individualis mereka ini paling hanya bertahan sekitar satu jam. Selepas itu sudah pada bosan. Kalau sudah seperti ini mereka biasanya memutar musik dan bernyanyi tidak jelas.Â
Dari sekian banyaknya manusia di tempat ini, tidak ada satu pun suaranya yang lulus sensor. Hancur semua. Namun mereka senang-senang saja dan kelewat percaya diri.
Selain itu, terkadang mereka juga main tenis meja di halaman depan rumah. Meja tenis digelar, net dipasang, dan peralatan disiapkan. Walau main malam hari, kemampuan mereka dalam mengolah bola pingpong jangan diragukan. Jago. Bahkan kalau diadu dalam kejuaraan tingkat kecamatan, saya yakin salah satu di antara mereka pasti ada yang minimal naik podium.
Sekira jam sebelas malam ke atas, waktu diisi dengan sesi ngobrol-ngobrol together. Topiknya random. Terkadang ngomongin kehidupan yang begini-begini saja, monoton.Â
Kalau sedang waras, pasti membahas sejarah dan negara. Entah dapat dari mana topik itu, yang pasti obrolan ini bisa sampai subuh. Paling cepat selesainya pukul dua dini hari. Begadang jatuhnya.
Obrolan yang beragam menjadikan para manusia ini betah. Tidak hanya berbicara hanya satu topik saja yang membuat diri tidak maju. Kalau sedang serius, seriusnya pun juga puuuoolll. Enggak ada lagi tuh yang namanya bercanda. Satu aja yang melemparkan joke, pasti bubar tuh obrolan.
Imbas dari kegiatan tersebut adalah ada yang bolos kuliah karena mbangkong, ada yang telat kerja, ada yang tidur sampai sore. Konsekuensi harus didapat dari setiap hal yang dilakukan. Dan itu harus dihadapi.
Satu hal yang aneh dari "kosan sastra" ini: kalau sedang ramai, ramainya minta ampun. Naudzubillah. Bisa penuh tuh ruang tamu dan kamar. Semua orang pada datang. Tapi saat sepi, jan sepine juga minta ampun. Krik ... krik ... krik ... Seperti kuburan lama. Enggak ada kehidupan blas.
Ada untungnya bagi saya kalau tempat tingga saya (kosan sastra) ini sepi. Saya bisa menulis. Situasi hening membuat saya lebih cepat menyelesaikan sebuah tulisan. Saya tipe orang yang tidak bisa menulis dalam keadaan ramai orang.Â
Bayangkan, menulis kan bentuk refleksi diri, harus hening dan tenang. Namun di saat yang bersamaan, ada manusia-manusia setengah waras ini. Jatuhnya bukan tulisan yang dihasilkan tapi guyonan.
Kosan sastra bukan hanya sekadar tempat singgah. Lebih dari itu. Jika di antara mereka ada yang putus cinta dan melupakan sejenak masalah, pasti larinya ke tempat ini. Sebuah tempat dengan filosofinya sendiri. Lingkungan di sini juga mendukung. Orang-orangnya seru, humble, mudah bergaul, dan juga lebih banyak tawa yang dihasilkan.
Dahulu bahkan ada banyak orang lagi yang singgah ke kosan sastra. Namun dengan sebab satu dan lain hal, beberapa orang tersebut tak lagi singgah. Tak apa. Setiap orang punya jalan dan rambunya sendiri-sendiri. Tugas sesama teman ialah saling mendukung. Dan itu pasti.
Begitulah cara mereka menghibur diri. Dengan cara-cara sederhana yang menjadi pemantik kesenangan. Saya yakin di waktu yang entah kapan datangnya, kosan sastra ini pasti menemui titik kesepiannya. Ditinggal para penghuninya yang mungkin sibuk mengejar mimpi. Saya sendiri pun mungkin juga akan meninggalkannya. Ada banyak hal yang harus dilakukan di luar kandang.
Jika masa itu telah tiba, saya harap para penghuni kosan sastra tak lupa akan tempat singgahnya. Masing-masing dari kita punya mimpi dan itu harus diperjuangkan. Sejauh apa pun mimpi itu membawa pergi, selalu ingat bahwa di rumah yang selalu ramai di setiap malamnya, pernah ada suara-suara optimisme dari para pengucapnya. Dan pernah ada mata sayu yang menyambut pagi dengan obrolan pemimpi.
Salam pejuang mimpi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H