Suatu hari, sepuluh tahun lalu ...
Di siang yang membelai, panas menyergap, saat Ramadhan, saya dan teman-teman tak pernah merasakan lelah. Kami bermain, tertawa, menyusuri sawah-sawah. Tak ada beban. Tak memikirkan masalah.
Dengan membawa serok kecil, kami menyusuri sungai-sungai yang masih jernih dan jauh dari pencemaran. Satu yang kami cari: ikan cupang. Tak pernah merasa lelah karena kami bahagia. Sangat sabar dan telaten kami cermat melihat sungai. Beberapa ikan berkeliaran: sepat, anak lele, gabus, wader. Tapi bukan itu yang menjadi sasaran. Kami hanya mencari ikan cupang yang berwarna cantik.
Satu ikan cupang lewat, sigap langsung kami ambil. Kami bersorak girang, langsung memasukkannya ke dalam wadah. Satu ikan cupang lagi menampakkan diri. Sasaran empuk. Hap ... tepat sasaran. Begitu terus berulang-ulang hingga kami dapat banyak.
Kalau bosan menyerok, kami turun langsung ke sungai. Dasar sungai masih belum tercemar oleh pecahan kaca dan sampah. Kalau merasa kepanasan, menyelam menjadi pilihan. Benar-benar tanpa beban. Walau sedang berpuasa.
Setelah mendapatkan ikan yang cukup, kami pulang dengan perasaan senang. Ikan cupang tersebut dipinmdah ke botol-botol sebagai pajangan. Sesekali kami mengadunya. Sorak riuh bergemuruh ketika ikan cupang mulai beradu.
Suatu hari, sepuluh tahun lalu ...
Matahari mulai bergerak turun, angin sore berembus sedang. Salah seorang dari kami membawa bola plastik. Ini adalah mainan favorit kami.
Halaman berubah menjadi lapangan sementara, gawang dari sandal ditata, dan pemain ditentukan. Aturannya sederhana. Tim yang kebobolan terlebih dahulu harus bertelanjang dada, tidak ada aturan offside, permainan dihentikan ketika bedug berbuka sudah terdengar. Sederhana memang. tapi bukankah yang sederhana yang membuat rindu?
Permainan dimulai. Saling dorong, tak ada head to head antar pemain, strategi seadanya. Yang penting bisa mencetak gol. Tak heran jika ada pemain yang bisa membobol gawang lawan hingga sepuluh lebih. Yang susah Cuma satu yakni jika sang kiper bertubuh pendek. Kalau menendang terlalu tinggi, tak dianggap gol. Terkadang hal tersebut menjadi perdebatan kecil. Eits ... setelah itu kami berdamai kembali. Tak meninggalkan dendam.
Hari mulai larut, bedug magrib dipukul bertalu-talu. Kami langsung melencing pulang dan langsung berbuka. Nikmatnya ketika di dapur langsung disambut es dan kolak.