Suara motor dengan knalpot meraung-raung merapat ke rumah Robi. Sang tuan rumah juga baru saja menginjakkan kaki di halaman. Maja tak lekas turun dari motor, dia menanti Robi yang hendak menghampirinya.
"Dari mana kau, Rob?" tanya Maja tenang.
Robi menunjukkan sampo dengan kemasan ungu. Maja mengangguk.
Ditiliknya Maja yang memakai kaus hitam, gambar tengkorak terpampang jelas di bagian depan. Robi mengerutkan kening, tak pernah dia sebelumnya melihat kawannya memakai atribut asing seperti itu.
"Aku baru saja persiapan untuk acara Gragal nanti malam," ujar Maja sebelum Robi bertanya.
Robi hanya ber-oh santai.
Gragal ialah semacam perkumpulan yang berisi anak muda tanggung. Mereka identik dengan pakaian serba hitam. Sering kumpul-kumpul tidak jelas, mabuk-mabukan menjadi ritual satu minggu sekali. Meskipun banyak melakukan hal-hal yang membuang waktu, tetapi jika ada warga yang butuh bantuan, anggota Gragal paling cepat ringan tangan. Mereka mempunyai solidaritas tinggi sesama anggota.
"Eh, kalau kau ada acara di Gragal, berarti kau enggak ikut suran di lingkunganmu?"
"Suran? Di sini masih ada tradisi jadul itu? Kalau di lingkunganku sih, sejak tahun lalu sudah tak dilaksanakan tradisi itu," kata Maja sembari tersenyum sepele.
"Ya enggak gitu. Untuk tetap menjaga tradisi turun-temurun dan juga agar selalu dilancarkan setiap usaha kita oleh Tuhan. Lagi pula itu juga penghormatan kepada leluhur yang pertama kali membuka akses dusun ini, biar makin berkah juga."
"Hahaha ... kau masih percaya mitos itu? Hei, kawan, bangunlah! Come on, Bro! Zaman modern seperti sekarang sudah enggak mempan mitos-mitos seperti itu." Maja kembali mengeluarkan kalimat berbau meremehkan.