Peringatan: Beberapa kata atau kalimat dalam tulisan ini mengandung bahasa Jawa.
Setiap sore, biasanya saya dan teman-teman punya kesunahan yakni menerbangkan layangan di sawah belakang rumah Erte. Sebagai gambaran, di belakang rumah Erte ini terhimpun ladang yang cukup luas.Â
Jadi, sehabis musim panen atau cuaca mendukung, ladang ini menjadi areal penerbangan layangan. Bahkan kami juga punya jargon: kalau angin baik, layangan terbang, kalau angin buruk, layangan ngandhang.
Namun, sore ini terasa berat. Entah kenapa layangannya sulit diterbangkan padahal angin berembus dengan sangat syahdunya. Beberapa kali percobaan dan pembenahan tetap tidak bisa untuk mengangkasa. Kemudian Pelet, salah seorang teman kami datang dengan menyunggi satu karung penuh berisi rumput. Dia lepas ngerumput untuk pakan kambingnya.
"Ngumbulne layangan dari tadi kok ora mumbul-mumbul. Yang narik mesti goblok iki," ucap Pelet setelah menaruh karungnya. Sebatang rokok masih menempel di bibirnya.
Kami tak merespon omongan Pelet. Kami sudah hafal gelagatnya. Keahlian Pelet memang suka mengejek temannya yang kesusahan. Dan dia dengan inisiatifnya pasti akan membantu. Ya, terkadang dengan omongan yang sedikit kasar.
"Enggak usah kebanyakan bicara kau, Let," Erte mengeluarkan suaranya.
"Sini tak tarike, nanti pasti langsung mumbul."
Pelet kemudian berjalan menuju tempat Kecek, yang sedari tadi berusaha menarik layangan. Dari kejauhan tampak Pelet beradu argumen dengan Kecek. Yang satu sibuk menyalahkan, yang satunya lagi sibuk membela diri. Tentu dalam konteks lelucon.
Yang tidak Pelet ketahui, di tempat saya dan teman-teman duduk, kami sudah menyusun rencana untuk menjahilinya. Karungnya yang berisi rumput akan ditambahi beberapa batu bata dan Erte yang akan memasukkannya. Tujuannya satu, supaya beban yang akan diangkat Pelet nanti menjadi lebih berat.
Setelah salah satu teman mencari batu bata, mulailah rencana dijalankan. Pertama, Erte memasukkan satu bata, kemudian teman-teman berucap, "Kurang ...." Â Erte menambah satu lagi, teman-teman berujar, "Kurang ...." Erte menambah satu lagi, teman-teman berkata penuh kenafsuan, "Kurang ...." Begitu terus berulang-ulang. Total ada lima bata yang sekarang berpindah tempat ke karung Pelet.
Sedangkan Pelet masih berusaha keras menarik layang-layang. Setelah beberapa kali percobaan, dia akhirnya bisa membuat layangan mengerjap di langit. Kami serentak bersorak. Sementara Pelet tertawa keras, merasa puas. Dia kemudian menuju ke tempat kami duduk.
"Kae lho deloken! Tak ajari ngumbulne layangan. Enggak panggah goblok ae." Pelet senyam-senyum merasa dia yang paling berjasa atas layangan yang sudah terbang.
"Wes gek ndang muleh kono, wedhusmu selak keluwen mengko," suruh Erte kepada Pelet. Saya dan teman-teman yang lain mulai menahan tawa.
Namun Pelet tak langsung bergegas pergi. Dia duduk sejenak seraya menghabiskan rokoknya. Sejurus kemudian, setelah sedikit berbincang dengan kami, dia lantas beranjak, menyunggi karungnya. Mungkin merasa ada yang aneh, dia ngedumel, "Lho, kok jadi berat  begini. Tadi perasaan ringan."
Pelet masih tidak sadar bahwa kami sedang menjahilinya. Dengan tenaga yang dimiliki, Pelet terus melanjutkan langkah, pulang. Setelah Pelet tak terlihat penampakannya, kami bisa tertawa lepas.
Keesokan harinya, di tempat dan waktu yang sama, ketika saya dan teman-teman berkumpul untuk menerbangkan layangan, Pelet kembali datang setelah selesai ngerumput. Dengan wajahnya yang kesal, dia berkata, "Jiangkrik, kemarin siapa yang ngisi karungku dengan bata, hah? Awakku remuk teko ngomah."
Saya dan teman-teman diam sejenak, saling beradu pandang kemudian serempak kami menjawab, "Sukurin ...."
Kami tertawa tak henti-henti sementara Pelet hanya mesam-mesem sembari berkata, "Kalian semua pancen koplak."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H