Segera kutancapkan kunci dan kukuakkan pintu. Ibu mungkin sudah terlelap. Aku langsung menuju kamar, menutup pintu rapat-rapat.
Aku mendekat ke jendela, menutup kelambu. Malam ini, rembulan sedang terang di angkasa. Tubuhku langsung kurebahkan di atas kasur, menatap langit-langit kamar. Aku merogoh saku jaket, mengambil sebuah amplop yang kuterima dari Fatah, temanku.
Kupandangi amplop yang kupegang lamat-lamat. Kukeluarkan isinya, secarik surat. Sejujurnya, rasa rindu sudah membuncah sebelum membaca surat ini di sebuah kedai kopi siang tadi. Kepalaku penuh dengan pikiran-pikiran yang kubuat sendiri. Aku ingin bertemu dengan Bapak.
Kemudian pikiranku mengembara oleh peristiwa tadi siang. Yang menyebabkan rasa rinduku sedikit terobati.
***
"Mereka semua punya Bapak yang setiap hari bertemu, mengajak jalan bersama." Aku menatap wajah Fatah.
"Tenanglah sedikit, Gus," kata Fatah menahan emosiku..
Seorang pelayan datang, meletakkan dua cangkir kopi hitam. Uapnya masih mengepul. Kemudian dia memberikan dua potongan kertas berisi password wi-fi. Pelayan tersebut lantas pergi tanpa mengucapkan sepatah kata.
"Kau tadi tidak usah menahanku ketika aku hendak menggampar mulut mereka satu per satu," ucapku masih dengan nada suara sedikit kesal.
"Aku tidak ingin menambah masalahmu."
"Seharusnya aku tidak perlu datang ke perayaan kelulusan ini."