Pamungkas, yang terakhir. Ya, malam tadi (17/12) adalah laga terakhir bagi seorang Bambang Pamungkas. Bambang Pamungkas, BP, atau Bepe adalah legenda, tidak hanya bagi Persija Jakarta tetapi juga bagi sepak bola Indonesia.
Saya bukan Jakmania, tapi Bepe mampu membuat saya rela merogoh kocek sisa akhir bulan sampai setengah juta rupiah untuk kembali ke stadion, untuk duduk di bangku VVIP Stadion Gelora Bung Karno yang tak pernah saya lakukan untuk laga-laga sepak bola apapun di sana, kecuali malam ini Persija Jakarta versus Persebaya. Â
Di saat PSSI yang masih bergeming untuk menggunakan VAR di dalam kompetisinya, di saat ranking sepak bola nasional yang stagnan, di saat banyak nyawa melayang karena sepak bola, Bepe ibarat oase di padang pasir di dunia sepak bola karena sosoknya yang memang pantas disebut bintang juga legenda. Bahkan Bepe adalah the real leader, pemimpin yang memiliki legacy dan keteladanan.
Ada 3 (tiga) alasan mengapa Bepe pantas menyandang predikat-predikat tersebut.
Pertama, berani mengambil risiko. Bepe memang sangat layak disebut pemain profesional. Salah satu ciri profesional adalah proporsional dalam bersikap, lurus, berani mengambil risiko dan bukan asal bapak senang.
Anda mungkin masih ingat bagaimana Bepe memutuskan bergabung ke timnas yang berlaga pada AFF 2012? Hanya Bepe (Persija Jakarta) bersama Okto Maniani (Persiram Raja Empat) yang berani memenuhi panggilan negara di tengah dualisme liga Indonesia antara IPL dan ISL dan di antara dualisme kepengurusan PSSI dan KPSI.
Bepe hadir meski klubnya bermain di ISL kompetisi yang dikelola KPSI, Bepe berani bermain membela lambang resmi Garuda di dada yang diakui dan diizinkan bertanding dalam laga resmi AFF.
Bepe tidak memilih membela kaos merah di Australia yang digunakan timnas versi KPSI di bawah asuhan Alfred Riedl yang belakangan eksistensinya ternyata waktu itu tidak diakui oleh otoritas berwenang.
Bepe bertaruh. Bepe tetap teguh membela timnas, walau timnas gagal lolos babak penyisihan AFF 2012. Mungkin inilah yang namanya mutiara tetap mutiara meski berada di dalam lumpur. Bepe tetap yakin dengan pilihannya karena kemampuannya, meski kariernya terancam.
Sama halnya ketika Bepe memutuskan bermain untuk Pelita Bandung Raya (PBR) di 2013-2014 silam. Meski akhirnya kembali ke Persija, langkahnya cukup berani. Namun itu karena profesionalismenya, karena kecintaan dia kepada keluarga yang memutuskan untuk hengkang.
Waktu itu santer tersiar kabar alasan terberat baginya pindah dari klub yang dicintainya karena manajemen Persija kesulitan mengatur keuangan, termasuk dalam membayar gaji para pemain.
Di PBR, Bepe bahkan mencetak gol ke gawang klub yang membesarkan namanya. Bepe tetap profesional, seperti tulisannya di situs pribadinya:
"Bambang Pamungkas adalah seorang pemain yang hidup dari mencetak gol. Dan akan terus berusaha sekuat tenaga untuk melakukannya. Di tim manapun ia bermain, dan melawan siapapun.
Jika gol itu bersarang ke tim yang telah membesarkan nama saya, maka hal itu hanya wujud dari sebuah loyalitas dan totalitas saya terhadap profesi saya. Tidak lebih dan tidak kurang."
Kedua, kapten di dalam dan luar lapangan. Bepe bukanlah pemain yang besar karena kontroversi. Bepe besar karena prestasi di lapangan dan juga di luar lapangan.
Malam tadi, bahkan Andritany memberikan ban kapten kembali ke Bepe ketika Bepe dimasukan di babak kedua. Sebuah sikap respek junior kepada senior. Respek tanda hormatnya para pemain kepada Bepe.
Di luar lapangan. Bepe juga teladan. 2012. Laga Persija vs Persipura di Mandala Krida Yogyakarta berakhir ricuh. Saya menjadi saksi mata langsung di lapangan bagaimana sosok Bepe yang sangat disegani oleh Jakmania termasuk suporter lawan.
Bepe berorasi menggunakan toa capo (pemimpin kelompok suporter) untuk menenangkan para Jakmania untuk jangan terpancing kericuhan dan agar keributan tidak meluas.
Kemarin di 2019, orasinya persis terulang ketika kamera televisi menyorotnya di mana Bepe meminta Jakmania yang tumpah ruah ke bawah lapangan karena kapasitas tribun yang terbatas untuk tertib tidak melebihi batas agar laga tandang menghadapi Badak Lampung FC tetap dapat berlangsung.
Itulah Bepe. Suaranya didengar sampai ke luar lapangan bahkan sampai ke Ultras Suporter negeri Jiran Malaysia. Tepat sekali pesannya, karena tidak ada satupun yang lebih berharga dibandingkan dengan nyawa, termasuk kemenangan sekalipun.Â
Bepe juga termasuk aktif di APPI, sebuah wadah organisasi pemain. Bepe termasuk sosok yang vokal dan sering melakukan advokasi bagi pemain dengan klub jika bermasalah.
Ketiga, Bepe sosok yang visioner. Di usianya yang 39 tahun, Bepe menjadi salah satu pemain sepak bola yang tak lagi mengkhawatirkan kehidupan pascamemutuskan gantung sepatu.
Permasalahan mendasar dari pemain sepak bola ketika kondisi fisiknya sudah tidak sebugar dan seproduktif usia pemain, mereka kesulitan untuk menyambung hidup. Alhasil, banyak pemain yang di saat karier sepak bolanya meredup, kehidupannya juga ikut meredup.Â
Tetapi itu tidak dengan Bepe. Bepe pemain yang pandai menulis. Dia memiliki blog pribadi www.bambangpamungkas20.com. Jemarinya mahir dalam menuangkan ide, portal berita online salah satu karya besarnya, yang bahkan bisa meng-generate income hingga Rp3 miliar per tahun di luar gaji pemasukan sebagai pemain sepak bola.Â
Popularitasnya diarahkan untuk sesuatu yang ia telah persiapkan untuk masa depannya.
Itulah 3 (tiga) alasan mengapa Bepe pantas disebut legenda sepak bola. Terima kasih Bepe, terima kasih telah memberikan pembelajaran keteladanan dalam kiprah dan karir di dalam dan luar lapangan, termasuk kepada saya seorang karyawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H