Mohon tunggu...
Rizky Febriana
Rizky Febriana Mohon Tunggu... Konsultan - Analyst

Senang Mengamati BUMN/BUMD dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Catatan dari Perbatasan: Why Poor People Stay Poor?

21 November 2014   23:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:11 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1416563269832679983

Rp54.800,-

Why poor people stay poor, kenapa orang miskin tetap dengan kemiskinannya? Pertanyaan ini menjadi pertanyaan besar yang seolah tanpa jawaban. Apalagi jika Kita melihat fenomena bahwa Indonesia itu sebenarnya adalah negara besar yang kaya. Indonesia sudah punya semua modal yang dibutuhkan untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya. Indonesia punya kedaulatan sebagai sebuah negara yang merdeka, Indonesia punya sumber daya alam yang melimpah luar biasa, Indonesia juga punya sumber daya manusia yang besar dengan ragam budaya, bahasa serta local wisdom (kearifan lokal) sebagai modal sosial (sosial capital) yang sangat berharga. Kebingungan-kebingungan inilah yang coba dijawab oleh seorang putra perbatasan dari Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Utara, Dr. Yansen TP., M.Si.

Di dalam buku Revolusi dari Desa yang ditulis olehnya sendiri, Dr. Yansen TP., M.Si yang memang memulai karir pemerintahan selama 26 tahun dari bawah ini mencoba menjelaskan bahwa jawaban atas sebuah pertanyaan why poor people stay poor adalah karena selama ini para elite yang ada di pemerintahan tidak pernah percaya sepenuhnya kepada rakyat. Rakyat di lapisan bawah (grass root) tidak pernah diberikan kesempatan untuk dilibatkan di dalam proses pembangunan. Rakyat tidak dipercaya dalam menyusun program pembangunan apalagi mengelola dana pembangunannya secara mandiri. Padahal menurut Dr. Yansen TP., M.Si, pembangunan yang baik adalah pembangunan yang partisipatif, pembangunan yang melibatkan masyarakat mulai dari proses perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), menjalankan program (actuating) hingga proses pengawasan dan evaluasi (controlling).

Dr. Yansen TP., M.Si, juga menambahkan, pembangunan itu hakikatnya adalah bagaimana memenuhi kebutuhan rakyat. Siapa yang tahu kebutuhan rakyat? Pastilah mereka sendiri. Untuk itulah, Dr. Yansen TP., M.Si yang juga Bupati Malinau mulai menjalankan program GERDEMA (Gerakan Desa Membangun), sebuah program dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Karena mayoritas masalah pembangunan dan masyarakat berada di desa, maka fokus pembangunan harus dimulai dari desa. Maka tidak mengherankan jika GERDEMA yang dijalankan sejak 2011 silam ini (jauh sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Desa) juga telah mempraktekan sharing of power dan sharing of authority dari pemerintah daerah ke pemerintahan desa. Melalui Peraturan Bupati Nomor 13 Tahun 2011 yang ditandatangani oleh Dr. Yansen TP., M.Si, setidaknya ada 31 urusan yang didelegasikan kepada pemerintahan desa sebagai wujud sharing of power.

Maka bukan hal yang mengherankan kembali jika ada ada cerita dari perbatasan kalau sebuah desa bisa memberikan rekomendasi izin usaha pengelolaan pertambangan galian golongan C, perluasan tanaman perkebunan, rekomendasi pemberian izin gangguan HO/Hinderordonnantie bagi industri, rekomendasi penerbitan dan pencabutan badan hukum koperasi, rekomendasi pemberian IMB (Izin Mendirikan Bangunan) yang berada di jalan desa dan kewenangan lainnya termasuk dalam bidang pariwisata, pertanian dan kesehatan yang menjadi 3 komitmen pembangunan Kabupaten Malinau.

Selain itu, Desa juga diberikan kewenangan dalam bidang perimbangan keuangan. Desa diberikan kewenangan pengelolaan dana dari hasil penerimaan pajak termasuk pengelolaan bagian desa dari hasil penerimaan retribusi. Pajak dan retribusi inilah yang menjadi hak desa dan kemudian menjadi sumber pendapatan desa itu sendiri.

Masyarakat Desa juga sangat didorong untuk berpartisipasi dalam sumbang saran/urun rembug program pembangunan di desanya. Melalui Forum Perencanaan Partisipatif Pembangunan Desa (LP3D) dan dikoordinasikan oleh Lembaga Partisipasi Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (LP3MD) masyarakat sangat boleh hadir di rapat paripurna desa yang mengagendakan penyusunan RPJPDes dan RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Desa) termasuk diagenda pembacaan LKPJDes sebagai bagian pengawasan dan evaluasi program pembangunan. Sebuah terobosan yang tentu belum banyak diterapkan dibanyak daerah di Indonesia.

Selain pendelegasian kewenangan kepada pemerintah desa, GERDEMA juga menerapkan sharing of authority sehingga memunculkan istilah baru yang unikseperti APBDes (Anggaran Pendapatan Belanja Desa) dan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Melalui GERDEMA, pemerintah desa diberikan alokasi dana sebesar Rp1,2 miliar hingga Rp1,3 miliar per desa per tahun untuk dikelola secara mandiri. Nilainya jauh meningkat dari Rp200 hingga Rp500 juta sebelum diberlakukannya GERDEMA. Melalui GERDEMA pula aparatur desa diberikan insentif Rp1,2 juta per orang per bulan. Angka yang juga jauh meningkat dari Rp800 ribu per bulannya sebelum diberlakukannya GERDEMA.

Banyak nilai parameter keberhasilan GERDEMA yang tidak dapat diukur dengan angka. Dr. Yansen TP., M.Si, menggambarkannya dengan fenomena tumbuh dinamisnya partisipasi masyarakat dalam setiap proses pembangunan, tumbuh berkembangnya budaya demokrasi, melahirkan budaya kepemimpinan, transparansi, efisiensi, efektivitas, budaya swadaya, budaya pemberdayaan, terbangunnya budaya dan prilaku keberpihakan kepada masyarakat tidak mampu secara sosial dan ekonomi, tumbuhnya budaya inovatif, bertanggungjawab serta terwujudnya prinsip dan nilai keadilan dalam masyarakat desa.

Keberhasilan program GERDEMA pada akhirnya bukanlah klaim sepihak semata. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia menjadi salah satu yang mengakuinya dengan memberikan penghargaan Innovative Government di tahun 2013. Hal ini tentunya tidak terlepas karena hasil kolaborasi banyak pihak, dimulai dari leadership para elite di pemerintahan daerah Kabupaten Malinau, SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), perguruan tinggi, LSM, swasta, aparatur desa hingga masyarakat yang bekerja dengan tulus, bersih dan berkomitmen untuk berubah maju dan sejahtera. Sehingga buku ini layak untuk dibaca oleh para birokrat, teknokrat, akademisi, politisi hingga masyarakat biasa.

Namun ada satu yang belum tuntas diungkapkan di buku ini, jumlah kemiskinan sebelum GERDEMA dicanangkan di 2011 silam adalah sekitar 26%, kini menurut data BPS Kabupaten Malinau tinggal 11,71% di 2012 dan kembali menurun menjadi 10,48% di 2013. Selamat! dan Kita kembali kerja…kerja...kerja… kerja bersama rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun