Mohon tunggu...
Rizky Febriana
Rizky Febriana Mohon Tunggu... Konsultan - Analyst

Senang Mengamati BUMN/BUMD dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Melestarikan KKN

4 Desember 2014   01:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:06 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1417607366976226746

[caption id="attachment_380337" align="aligncenter" width="490" caption="KKN 2010 dalam Kenangan"][/caption]

Tahun 2010, 20 orang mahasiswa UGM KKN Unit 149 diterjunkan ke Desa Pusparaja Kecamatan Cigalontang Tasikmalaya. Meski bukan daerah tertinggal, Kami memilih Desa Pusparaja karena wilayah ini merupakan salah satu wilayah yang terkena dampak gempa Tasikmalaya (2 September 2009) cukup parah. Dengan didampingi Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) Kami menyusun dan melaksanakan program kerja lintas kluster keilmuan, ada program kerja bidang ekonomi sosial humaniora, pendidikan, teknik, dan kesehatan. Dahulu judul besarnya Smart Education Model: Model Pemberdayaan Masyarakat Pasca Bencana Gempa Bumi Tasikmalaya di Desa Pusparaja, Kecamamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Meski tak banyak yang dapat Kami lakukan namun setidaknya ada nilai pengabdian masyarakat sebagai salah satu nilai tri darma perguruan tinggi yang Kami coba berikan.

Tradisi KKN (Kuliah Kerja Nyata) adalah tradisi pengabdian masyarakat yang rutin dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada. Setiap tahun, selama 2 bulan, ribuan mahasiswa dengan ratusan kelompok menyebar dari Sabang sampai Merauke. Di tahun Kami, ada juga kelompok KKN yang terbang ke Jailolo Timur Halmahera Barat, Boalemo Gorontalo, Rantau Pulung Kutai Timur, Sano Nggoang Manggarai Barat NTT. Bukan untuk membanggakan almamater karung goni Kami, tapi KKN adalah proses dalam menjaga tradisi pengabdian masyarakat yang selalu dijunjung tinggi meski harus ditempuh dengan uang dari kantong saku sendiri (co-financing/co-funding).

Tradisi KKN adalah tradisi turun menurun.  Sejak tahun 1951, UGM telah mengerahkan mahasiswanya ke luar Jawa sebagai guru yang mengajar pada Sekolah Lanjutan Atas. Dahulu nama kegiatan ini disebut Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) yang merupakan cikal bakal lahirnya KKN. Meski kegiatan ini sempat terhenti tahun 1962 karena masalah keuangan negara saat itu. Pada tahun 1971 program ini dilanjutkan kembali oleh Almarhum Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH dan hingga kini KKN dipertahankan sebagai program wajib bagi mahasiswa UGM

Almarhum Prof. Koesnadi yang pernah menjadi inisiator dan salah satu dari delapan orang yang menjadi angkatan pertama PTM ingin KKN menjadi sarana agar mahasiswa-mahasiswa memberikan inspirasi kepada masyarakat. Tentu Almarhum Prof. Koesnadi juga pernah merasakannya, mengabdi ke Kupang dan bekerja di sana selama beberapa tahun. Sepulangnya dari sana, ia mengajak tiga orang siswa paling cerdas di sana untuk berkuliah di UGM, salah satunya adalah Adrianus Mooy, yang kemudian menjadi Gubernur BI periode 1988–1993

Sebenarnya tidak hanya KKN UGM. Hari ini Kita mengenal Gerakan Indonesia Mengajar yang digagas oleh Anies Baswedan yang secara terang-terangan menurut Anies sendiri sangat terinspirasi Alm. Prof Koesnadi dari PTM/KKN UGM. Jauh sebelum IM ada, ada juga program Dokter Inpres di tahun 1970an. Salah satunya melahirkan FX Sudanto, Dokter Rp2000 yang mengabdi di Papua dan juga penerima UGM Alumni Award 2009. Tentu tidak hanya melahirkan FX Sudanto, banyak orang lainnya yang juga menginspirasi dan mengabdi diberbagai pelosok Nusantara.

Kita juga mengenal Dokter PTT yang berada di bawah naungan Kementerian Kesehatan. Program pemerintah untuk mengirimkan dokter-dokter terbaik ke wilayah-wilayah terpencil di Indonesia. Ada juga Sarjana Penggerak Pembangunan di Pedesaan (SP3) yang dimulai tahun 1989 yang pada sekitar tahun 2010 direvitalisasi menjadi Program Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan di Pedesaan (PSP-3). Para sarjana yang ditempatkan di desa dalam tugasnya menggerakkan dan mendampingi masyarakat khususnya pemuda, mampu menumbuhkan beragam kegiatan produktif terutama di bidang ekonomi, bidang pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Menurut Kemenegpora selama program berlangsung sudah ada 18.173 sarjana yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dalam 7 tahun terakhir (2006-2013), Program SP-3 menjangkau 2.478 Desa, 1.249 Kecamatan dan 312 Kabupaten. Tahun 2014 Pemuda Sarjana dikirimkan ke 500 Desa, 251 Kecamatan, 66 Kabupaten/Kota, di 33 Provinsi.

Kita juga memiliki program Perdesaan Sehat yang digagas Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT). Program yang diresmikan di Entikong, Kalimantan Barat tanggal 20 Desember 2012 silam ini memiliki tujuan “Upaya Percepatan Pembangunan Kualitas Kesehatan Berbasis Perdesaan Dalam Kerangka Pencapaian Sasaran Prioritas Nasional 3 Kesehatan Dan MDGs Di Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar Dan Pasca Konflik (Prioritas Nasional 10)”. melalui 5 pilar ketersediaan air bersih, peningkatan gizi, peningkatan kualitas sanitasi, dokter puskesmas dan bidan desa.

KPDT juga menjalin kemitraan Tata Kelola Perdesaan Sehat dengan 7 Perguruan Tinggi yang mewakili 7 Regional, yaitu : Universitas Andalas, mewakili Regional 1 (Sumatera), Universitas Airlangga, mewakili Regional 2 (Jawa), Universitas Mataram, mewakili Regional 3 (Nusa Tenggara), Universitas Tanjungpura, mewakili Regional 4 (Kalimantan), Universitas Hasanuddin, mewakili Regional 5 (Sulawesi), Universitas Pattimura, mewakili Regional 6 (Maluku) dan Universitas Cendrawasih, mewakili Regional 7 (Papua).

Bekerjasama dengan kampus-kampus adalah langkah yang baik. Meski terkesan mahasiswa dan fresh graduate masih hijau dan minim pengalaman namun upaya mereka untuk berbagi inspirasi adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam setiap program pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Masyarakat memang membutuhkan dana program untuk mengejar ketertinggalan, mereka butuh fasilitas air bersih, mereka butuh sarana prasarana sekolah, kesehatan dan jalan, tapi mereka juga membutuhkan inspirator untuk menginspirasi kehidupan mereka. Inspirasi untuk kehidupan lebih baik, untuk pendidikan lebih baik, untuk kesehatan lebih baik dan untuk ekonomi yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh David C. Korten (1980), “Bahwa para perancang program pembangunan harus mengirimkan agen atau fasilitator mereka ke wilayah-wilayah tertinggal.”

Siapa yang pernah menduga program PTM UGM pertama kali bisa menginspirasi Adrianus Mooy putra Rote, NTT untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi sehingga bisa mejadi Gubernur Bank Indonesia. Tak ada yang bisa menduga sosok-sosok inspirator pernah terlahir dari program-program seperti ini, seperti FX Sudanto dokter Rp2000 di Papua atau seperti dr. Hanibal Hamidi, seorang dokter penerima anugerah dokter teladan Tahun 2003 dari pemerintah karena pengabdiannya sebagai kepala puskesmas di salah satu desa terpencil dan tertinggal di Kabupaten Lampung Barat. Bahkan dr. Hanibal Hamidi, kembali menjadi inisiator program perdesaan sehat, Program Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal (P2SEDT) dan Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) di KPDT.

Untuk Indonesia…

Ada beberapa hal yang menjadi catatan bagi penulis. Pertama, perlu adanya sinergi antar program-program pemberdayaan yang ada baik dari pemerintah, swasta dan universitas. Ada KKN mahasiswa dari Universitas, ada program pemerintah seperti TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) di bawah koordinasi Wakil Presiden, Dokter PTT Kemenkes, ada Perdesaan Sehat-P2SEDT-P2DTK KPDT, ada PSP-3 Kemenegpora, ada unsur swasta Indonesia Mengajar, Indonesia Menyala Dompet Dhuafa, dll.

Saya membayangkan kalo semua bersinergi jadi satu maka ada capaian-capaian yang dapat dicapat sesuai waktu dan target. Teknisnya pemerintah yang memiliki program pemberdayaan masyarakat perlu berkordinasi untuk memetakan wilayah target pemberdayaan baik dari sisi pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Lalu adakan semacam musrenbang pemberdayaan nasional yang mengundang unsur pemerintah, swasta dan universitas. Setelah itu, mulai penerjunan tim. Misal wilayah A, dibawah koordinasi pemerintah, mengirimkan relawan dari KPDT dan dokter PTT untuk bidang kesehatannya, Indonesia Mengajar untuk bidang pendidikannya, Indonesia Menyala untuk bidang ekonomi, sementara PSP-3 Kemenegpora dibidang pemberdayaan lainnya.

Kedua, Interdisipliner. Satu hal penting untuk pemberdayaan adalah lintas keilmuan (interdisipliner). Perlu ada fasilitator yang memiliki berbagai background: kesehatan (kedokteran, farmasi, tanaman obat, gizi), ekonomi (koperasi, pertanian, peternakan) dan teknologi (teknik). Sebab penulis berkeyakinan bahwa satu masalah misal kesehatan, tidak hanya dapat diselesaikan dengan mendatangkan fasilitator kesehatan, melainkan masalah tersebut (linkage) terkait dengan ekonomi dengan pendidikan. Begitu juga masalah buta huruf misalnya, tidak hanya terkait dengan problem pendidikan, maka masalah tersebut juga dapat diselesaikan dengan perbaikan ekonomi dan kesehatan.

Ketiga, keberlanjutan program (sustainability). Pemetaan wilayah sangat penting untuk mengetahui prioritas wilayah program yang akan dituju. Setelah mengetahui prioritas wilayah, tim diturunkan selama waktu tertentu (misal 1 tahun). Tim yang diturunkan berasal dari unsur pemerintah maupun swasta. Setelah itu berlanjut ke angkatan selanjutnya untuk wilayah yang sama (jika target belum tercapai). Namun sebelum berlanjut ke angkatan selanjutnya, diselingi dengan KKN mahasiswa dari berbagai kampus selama 2 bulan (waktu dibatasi, 2 bulan). Jadi selama 2 bulan, ada ruang untuk seleksi dan menyiapkan segala sesuatu untuk tim yang akan terjun untuk periode yang lebih lama. Ada keberlanjutan di wilayah yang sama sampai program tercapai sesuai waktu dan target yang ditentukan. Jangan sampai terjadi, tim diterjunkan selama 1 tahun, namun tahun berikutnya tidak ada yang diterjunkan kembali padahal tujuan program belum tercapai.

Penulis melihat, jika 3 syarat minimal ini mulai dari sinergi, interdisipliner dan sustainability terjalin maka penulis yakin program pemberdayaan menjadi fenomena tersendiri. Harapannya mungkin seperti yang sering diutarakan seorang Anies Baswedan “lebih baik menyalakan satu lilin daripada terus menerus mengutuk kegelapan” []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun