Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Fajar Utomo
Muhammad Rizky Fajar Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Personal Blogger

part-time dreamer, full-time achiever | demen cerita lewat tulisan | email: zawritethustra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

#COLLABOWRITE 1 Bareng Kristi: Awas Perangkap Kebahagiaan!

7 November 2022   12:02 Diperbarui: 7 November 2022   12:09 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Depan Buku Happiness Trap oleh Russ Harris (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Mitos ini mengisi benak kita sehari-hari dalam mengejar kebahagiaan, dan mitos-mitos ini antara lain; "Kebahagiaan adalah kondisi alamiah untuk setiap manusia", "Kalau kamu gak bahagia, berarti ada yang salah pada dirimu", "Kamu harus bisa mengendalikan apa yang kamu pikirkan dan kamu rasakan", dan "Untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik, kita harus menyingkirkan semua perasaan buruk". 

Keempat mitos besar ini menjadikan banyak manusia akhirnya terjebak pada perasaan gak mengenakan yang berujung pada pengaruh psikis karena kita dipaksa untuk melakukan hal itu, jika gak melakukannya kita akan merasakan semacam konsekuensi seperti dikucilkan, dianggap aneh, orang dengan negative vibes, dan lain sebagainya.

Cover Depan Buku Happiness Trap oleh Russ Harris (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Cover Depan Buku Happiness Trap oleh Russ Harris (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Pernah gak sih kalian mengalami titik di mana kalian menunjukan bahwa kalian sedang gak bahagia atau gak baik-baik saja karena sesuatu, lalu dianggep berlebihan atau lebay, lemah, mengalami demotivasi, ngeluh mulu, tukang murung, dan lain sebagainya?

Kalo pernah, ini adalah salah satu bentuk perangkap kebahagiaan yang diekspresikan dalam masyarakat kita. Masyarakat menganggap (atau lebih tepatnya memaksa kita untuk beranggapan) kalo manusia diciptakan untuk selalu bahagia. 

Maka, jika seseorang gak menjadi manusia yang bahagia, masyarakat akan menganggap ada yang salah dalam diri orang tersebut. 

Anggapan ini pun cenderung bukan merupakan bentuk simpati mengenai kondisi psikis atau mentalnya, melainkan anggapan bahwa orang tersebut mengalami sebuah kelemahan, penyakit, bahkan kelainan mental.

Respon lain terhadap hal-hal yang tidak membahagiakan pun datang dalam bentuk pengendalian pikiran dan emosi. Pasti kalian pernah baca atau dengar bahwa kita atau seseorang diminta harus sebisa mungkin mengendalikan pikiran dan emosinya saat sedang gak bahagia atau gak baik-baik saja. 

Pengendalian ini pun akhirnya dilakukan dengan sekeras mungkin menepis segala perasaan yang gak membahagiakan, yang membuat gak baik-baik saja, sehingga kita bisa menjadi sebahagia mungkin.

Pengendalian emosi dan pikiran dengan berusaha menerima yang baik serta menyingkirkan yang buruk ini ternyata merupakan bentuk dari apa yang kita ketahui bersama sebagai toxic positivity. 

Menurut Psychology Today, toxic positivity adalah perilaku yang mendorong seseorang untuk berusaha keras berbuat dan berfikir positif hingga menekan emosi negatif keluar. Katanya sih mau bahagia, tapi justru pada kenyataannya ketika seseorang menjadi 'terlalu' positif sehingga menekan habis-habisan emosi buruk yang keluar, hal ini mampu menyebabkan stres berlebihan dan membuat orang tersebut gak bisa rileks dalam menjalani hidupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun