Banyak kalangan menilai bahwa apa yang dilakukan oleh DPR ini merupakan langkah yang inskontitusional; bukan hanya terburu-buru namun juga prosesnya yang tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi publik.
Mengacu pada perintah konstitusi MK, partisipasi publik ini harus dilakukan, setidaknya, dalam tahapan; (1) Pengajuan rancangan undang-undang; (2) Pembahasan bersama DPR dan presiden serta pembahasan bersama DPR, Presiden dan DPD; (3) Persetujuan bersama DPR dan presiden. Partisipasi publik juga memiliki tiga prasyarat yang setidaknya dipenuhi, yaitu hak untuk didengarkan (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Melansir detikcom, MK juga menegaskan bahwa partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sedang dibahas. Namun, meski telah memiliki landasan berupa perintah konstitusi MK, nyatanya penggarapan RKHUP tetap berjalan dengan tidak mematuhi perintah konstitusi tersebut. Abainya pemerintah penggarap RKHUP terhadap partisipasi publik dan perintah konstitusi serta tidak adanya transparansi mengenai draf terbaru setidaknya menjadi sinyal besar bahwa penggarapan RKHUP memang sarat akan gejala otoritarianisme karena dilakukan dengan keputusan sepihak.
Selain itu, gigihnya pemerintah yang tidak memberikan opsi lain kepada publik untuk menyampaikan aspirasi selain melalui Judicial Review (JR) di MK, sejak ramai UU Omnibuslaw, juga dinilai sebagai bentuk konsistensi pemerintah dalam menggarap aturan serta hukum secara ugal-ugalan dan arogan. Masih menjadi sebuah tanda tanya besar; mengapa aspirasi harus disalurkan melalui pengajuan JR jika selama menggarap hukum dan aturan, pemerintah sedari awal dapat (bahkan sebenarnya diharuskan) melibatkan partisipasi publik sehingga hal-hal inkonstitusional dapat dihindari?
Nampaknya tidak mengherankan jika kesemua hal di atas membuat banyak kalangan menolak disahkannya RKHUP karena beberapa pasal mengandung gejala otoritarianisme yang berlawanan dengan semangat demokrasi, penggarapannya yang berjalan dalam senyap (tidak transparan), dan abai akan partisipasi publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H