Sebagai pengguna media sosial, tentu saja kita gak asing dan bahkan gak bisa untuk 'gak melewati' Goyang Pargoy, Dalgona Coffee, ragam macam kuliner, dan tren viral lainnya saat kita sedang scrolling linimasa. Saking banyaknya konten-konten yang sedang viral tersebut berseliweran di linimasa kita, terkadang kita gak hanya menikmatinya melainkan juga ikut mempraktikan di rumah hingga bahkan memberikan beragam respon; mulai dari memberikan like, retweet atau repost sebagai bentuk apresiasi sampai membahasnya di media sosial sampai-sampai menimbulkan perdebatan.
Banyaknya fenomena tersebut merupakan bentuk dari apa yang mungkin bisa kita sebut sebagai latah sosial yang timbul dari perasaan FOMO (Fear Of Missing Out alias takut ketinggalan). Latah sosial ini memang bisa kita temui mulai di setiap pembuat konten digital (digital content creator) hingga pedagang kaki lima sekalipun. Namun, yang akan jadi fokus tulisan ini adalah fenomena artis atau public figure yang belum lama ini merilis token kripto. Baru-baru ini linimasa kita ramai akan perdebatan mengenai cryptocurrency yang menyangkut sederet nama artis yang 'latah' terjun dalam dunia tersebut dengan membuat token kripto 'khas' mereka sendiri; terjunnya beberapa artis ini juga bahkan menimbulkan keramaian yang cenderung bernada negatif karena menyangkut beberapa polemik yang dialaminya.
Pada paragraf sebelumnya, sudah disinggung bahwa latah sosial seperti ini terjadi akibat FOMO. Namun, apakah pada kasus cryptocurrency hanya sebatas FOMO saja? Sepertinya gak  cuma itu deh. Ada beragam hal yang mendasari mengapa banyak artis kita menjadi latah bahkan banyak orang biasa yang kemudian menjadi populer melalui jalur latah ini. Apa saja itu?
Sekilas Mengenai Cryptocurrency dan Token Kripto
Cryptocurrency belakangan ini merupakan buah bibir di berbagai kalangan, khususnya generasi muda yang memang banyak dan semakin banyak yang menggeluti dunia mata uang digital ini. Hal ini bis akita lihat dari antusiasme yang nampak pada banyaknya seminar-seminar mengenai cryptocurrency serta postingan-postingan di linimasa yang membagikan ilmu mengenai cryptocurrency. Terus, apa sih yang dimaksud dengan cryptocurrency?
Sebelum kita melihat lebih jauh tentang apa yang sedang terjadi di kalangan artis atau public figure kita dalam menyikapi digitalisasi yang secara masif sedang terjadi, sepertinya akan lebih enak kalau kita sedikit membahas mengenai apa itu cryptocurrency. Perlu diingat juga, bahwa pada bagian ini, tulisan ini mungkin gak akan memuat serta membahas cryptocurrency secara mendetail dan komprehensif karena memang bukan itu tujuan tulisan ini dibuat. Namun, penulis terbuka untuk segala macam bentuk masukan yang ada jika memang terdapat kekeliruan atau misinformasi mengenai hal ini. Pada bagian ini, penulis bertujuan untuk memberikan gambaran ringan dan sesingkat mungkin mengenai cryptocurrency. Harapannya, semoga meski ditulis dalam kondisi masih mempelajari tulisan ini gak menghilangkan esensi dari apa itu cryptocurrency, sekalipun penulis masih mencoba untuk mempelajari lebih lanjut mengenai fenomena ini.
Dari namanya, cryptocurrency berasal dari dua kata yakni cryptography yang berarti kode rahasia dan currency yang artinya mata uang. Dengan kata lain, uang kripto adalah mata uang virtual yang dilindungi kode rahasia. Kode rahasia ini menjadikan penggunaan mata uang kripto gak bisa dimanipulasi alias dipalsukan karena pencatatan dari cryptocurrency atau mata uang kripto terpusat dalam sebuah sistem yang disebut dengan teknologi blockchain.
Gak seperti mata uang konvensional, yakni Dollar AS atau Euro, atau bahkan Rupiah, mata uang digital ini gak dikontrol oleh otoritas sentral dari sisi pembuat uang tersebut. Sehingga, tugas dalam mengontrol dan mengelola mata uang ini sepenuhnya dipegang oleh pengguna mata uang kripto (cryptocurrency) melalui internet. Prinsip mata uang kripto sendiri secara telah dijelaskan oleh Satoshi Nakamoto dalam sebuah tulisan yang berjudul 'Bitcoin: Sistem Uang Elektronik Peer to Peer' yang bisa diakses di laman bitcoin.org.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Nakamoto pun mendeskripsikan proyek aset uang kripto itu sebagai sistem pembayaran elektronik yang berlandaskan bukti kriptografi, bukan sekadar kepercayaan. Bukti kriptografi tersebut ada dalam bentuk transaksi yang diverifikasi dan dicatat dalam program yang disebut dengan blockchain. Majalah Forbes, yang sempat memuat tulisan mengenai cryptocurrency, merangkum bahwa ada tiga kata kunci yang melekat pada cara kerja mata uang kripto; yakni digital, terenkripsi, dan desentralisasi.
Singkatnya mengenai hal ini, cryptocurrency (mata uang kripto) adalah mata uang standar di dalam sistem blockchain untuk melakukan atau menerima pembayaran, dan blockchain sendiri merupakan sistem yang menjadi tempat transaksi mata uang kripto tanpa melalui pihak ketiga seperti perbankan. Jadi, masing-masing mata uang kripto ini atau disebut juga sebagai koin kripto beroperasi di jaringan blockchain mereka masing-masing.
Kita ambil contoh Bitcoin sebagai koin kripto yang beroperasi di jaringan blockchain Bitcoin. Koin kripto ini memiliki jaringan blockchain sendiri dalam menjembatani transaksi pembayaran dan lain-lain. Terus, bagaimana dengan token kripto? Perbedaan utama antara koin kripto dan token kripto adalah jika koin kripto ada dalam sistem blockchain sendiri, maka token kripto gak memiliki jaringan blockchain sendiri.
Latah Sosial 4.0: Artis-artis di Dunia Cryptocurrency
Semakin berkembangnya teknologi 4.0 mendorong banyak pihak untuk lebih kreatif lagi dalam mengembangkan kultur dan peradaban digital manusia; mulai dari layanan publik, layanan pasar, layanan pendidikan, alat transaksi, hingga mata uang yang dipergunakan pun kini mengalami digitalisasi dan cryptocurrency, sebagaimana telah kita singgung barusan, adalah salah satu bentuk digitalisasi peradaban manusia dalam hal mata uang.
Dengan munculnya cryptocurrency, bertambahlah pula tuntutan bagi para pekerja industri digital kreatif -- tak terkecuali artis atau public figure yang selama ini kita kenal, untuk semakin kreatif untuk menciptakan sesuatu sehingga apa yang kemudian akan disebut sebagai latah sosial pun terjadi. Latah sosial, sebagaimana kita tahu, merupakan sebuah sikap di mana seseorang ikut-ikutan terhadap suatu fenomena yang sedang terjadi, yang sedang viral. Hal ini sejalan dengan tingginya kebutuhan yang besar sejalan dengan potensi pasar yang masif dan menyebabkan aktivitas penciptaan untuk industri ini sangatlah tinggi. Sehingga faktor inilah yang kemudian memaksa para kreator dituntut untuk selalu mencipta, dan pada  akhirnya terjadi penduplikatan ciptaan akan sesuatu yang viral untuk meraup keuntungan.
Fenomena ini memiliki implikasi yang cukup mengkawatirkan jika dilihat dari perspektif kreatifitas yang berbasis pada inovasi; fenomena latah sosial cenderung akan menghasilkan sebuah karya repetitif karena hanya akan menduplikasi fenomena yang viral, sehingga gak menutup kemungkinan bisa membatasi ide-ide spektakuler yang muncul. Kreatifitas semacam ini membawa kita kepada makna kreatif yang lain; yakni kreatifitas sebagai sebuah modifikasi pada wujud penciptaan sebelmunya, dan bukan lagi pada makna kreatifitas secara harfiah yang selama ini kita tahu yaitu sebagai sebuah penciptaan sesuatu yang baru (kebaruan) dan sempurna.
Selain kedua hal tersebut, ada satu hal lagi yang menjadikan mengapa latah sosial ini bisa terjadi di kalangan para artis. Pada dasarnya, sebagai seorang artis atau public figure, seseorang pasti membutuhkan pengakuan atas eksistensinya dan pengakuan dari publik ini menjadikan citra dirinya semakin mantap karena pengakuan ini akan mengukuhkan citra diri artis tersebut, dan latah sosial tren penciptaan token kripto bukan hanya sekedar usaha para artis memenuhi kebutuhan pasar yang masif di tengah berkembangnya cryptocurrency yang juga sangat masif demi meraup keuntungan semata, namun ada hal lain yang melatarbelakanginya, yang bersifat dasariah. Mengenai hal ini, penulis memakai analisa Georg Simmel mengenai manusia adalah makhluk pembeda.
Kebutuhan manusia berubah menurut kebudayaan dan zamannya, namun bagi Simmel ada sesuatu yang merupakan kebutuhan sosial dasariah manusia; yaitu kebutuhannya untuk diterima dalam sebuah kalangan sekaligus kebutuhannya untuk diakui sebagai seseorang. Latahnya para artis dalam tren penciptaan token kripto merupakan sebuah manifestasi akan kebutuhan dasariah ini. Bagi kalian, mungkin kebutuhan untuk "sama namun berbeda" ini terdengar sangat bertentangan bukan? Namun begitulah yang dikatakan Simmel. Agar seorang artis harus mengimitasi tindakan-tindakan yang lainnya agar ia bisa diterima di kalangan artis lainnya; yakni dengan cara ikut terjun dalam cryptocurrency, karena dengan cara inilah ia menjadi sama dengan kebanyakan artis-artis lainnya. Namun, kebutuhan untuk diterima ini bertentangan dengan kebutuhannya untuk diakui sebagai seseorang, karena untuk diakui sebagai seseorang ia harus memiliki sesuatu yang berbeda dari orang lain, dan dengan cara inilah seseorang bisa menjadi umum sekaligus khusus.
Mengenai latah sosial ini kemudian dapat kita simpulkan bahwa ada tiga hal yang menjadi penyebab mengapa latah sosial semacam ini bisa dengan mudah sekali terjadi. Tiga hal itu adalah viral, profit, serta eksistensi (eksistensi di sini bukan merujuk pada filsafat eksistensialisme Kierkegaard, Sartre, Camus, dan lain sebagainya, melainkan dipahami sebagai bentuk pemenuhan sekaligus pengukuhan atas kebutuhan identitas diri, yang mana pada gagasan Simmel mengenai manusia adalah makhluk pembeda, kebutuhan ini berada di antara ketegangan individualitas dan sosialitas).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H