Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Fajar Utomo
Muhammad Rizky Fajar Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Personal Blogger

part-time dreamer, full-time achiever | demen cerita lewat tulisan | email: zawritethustra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Latah Sosial 4.0: Artis-artis dan Cryptocurrency

23 Februari 2022   11:27 Diperbarui: 23 Februari 2022   11:31 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: vecteezy.com

Kita ambil contoh Bitcoin sebagai koin kripto yang beroperasi di jaringan blockchain Bitcoin. Koin kripto ini memiliki jaringan blockchain sendiri dalam menjembatani transaksi pembayaran dan lain-lain. Terus, bagaimana dengan token kripto? Perbedaan utama antara koin kripto dan token kripto adalah jika koin kripto ada dalam sistem blockchain sendiri, maka token kripto gak memiliki jaringan blockchain sendiri.

Latah Sosial 4.0: Artis-artis di Dunia Cryptocurrency

Semakin berkembangnya teknologi 4.0 mendorong banyak pihak untuk lebih kreatif lagi dalam mengembangkan kultur dan peradaban digital manusia; mulai dari layanan publik, layanan pasar, layanan pendidikan, alat transaksi, hingga mata uang yang dipergunakan pun kini mengalami digitalisasi dan cryptocurrency, sebagaimana telah kita singgung barusan, adalah salah satu bentuk digitalisasi peradaban manusia dalam hal mata uang.

Dengan munculnya cryptocurrency, bertambahlah pula tuntutan bagi para pekerja industri digital kreatif -- tak terkecuali artis atau public figure yang selama ini kita kenal, untuk semakin kreatif untuk menciptakan sesuatu sehingga apa yang kemudian akan disebut sebagai latah sosial pun terjadi. Latah sosial, sebagaimana kita tahu, merupakan sebuah sikap di mana seseorang ikut-ikutan terhadap suatu fenomena yang sedang terjadi, yang sedang viral. Hal ini sejalan dengan tingginya kebutuhan yang besar sejalan dengan potensi pasar yang masif dan menyebabkan aktivitas penciptaan untuk industri ini sangatlah tinggi. Sehingga faktor inilah yang kemudian memaksa para kreator dituntut untuk selalu mencipta, dan pada  akhirnya terjadi penduplikatan ciptaan akan sesuatu yang viral untuk meraup keuntungan.

Fenomena ini memiliki implikasi yang cukup mengkawatirkan jika dilihat dari perspektif kreatifitas yang berbasis pada inovasi; fenomena latah sosial cenderung akan menghasilkan sebuah karya repetitif karena hanya akan menduplikasi fenomena yang viral, sehingga gak menutup kemungkinan bisa membatasi ide-ide spektakuler yang muncul. Kreatifitas semacam ini membawa kita kepada makna kreatif yang lain; yakni kreatifitas sebagai sebuah modifikasi pada wujud penciptaan sebelmunya, dan bukan lagi pada makna kreatifitas secara harfiah yang selama ini kita tahu yaitu sebagai sebuah penciptaan sesuatu yang baru (kebaruan) dan sempurna.

Selain kedua hal tersebut, ada satu hal lagi yang menjadikan mengapa latah sosial ini bisa terjadi di kalangan para artis. Pada dasarnya, sebagai seorang artis atau public figure, seseorang pasti membutuhkan pengakuan atas eksistensinya dan pengakuan dari publik ini menjadikan citra dirinya semakin mantap karena pengakuan ini akan mengukuhkan citra diri artis tersebut, dan latah sosial tren penciptaan token kripto bukan hanya sekedar usaha para artis memenuhi kebutuhan pasar yang masif di tengah berkembangnya cryptocurrency yang juga sangat masif demi meraup keuntungan semata, namun ada hal lain yang melatarbelakanginya, yang bersifat dasariah. Mengenai hal ini, penulis memakai analisa Georg Simmel mengenai manusia adalah makhluk pembeda.

Kebutuhan manusia berubah menurut kebudayaan dan zamannya, namun bagi Simmel ada sesuatu yang merupakan kebutuhan sosial dasariah manusia; yaitu kebutuhannya untuk diterima dalam sebuah kalangan sekaligus kebutuhannya untuk diakui sebagai seseorang. Latahnya para artis dalam tren penciptaan token kripto merupakan sebuah manifestasi akan kebutuhan dasariah ini. Bagi kalian, mungkin kebutuhan untuk "sama namun berbeda" ini terdengar sangat bertentangan bukan? Namun begitulah yang dikatakan Simmel. Agar seorang artis harus mengimitasi tindakan-tindakan yang lainnya agar ia bisa diterima di kalangan artis lainnya; yakni dengan cara ikut terjun dalam cryptocurrency, karena dengan cara inilah ia menjadi sama dengan kebanyakan artis-artis lainnya. Namun, kebutuhan untuk diterima ini bertentangan dengan kebutuhannya untuk diakui sebagai seseorang, karena untuk diakui sebagai seseorang ia harus memiliki sesuatu yang berbeda dari orang lain, dan dengan cara inilah seseorang bisa menjadi umum sekaligus khusus.

Mengenai latah sosial ini kemudian dapat kita simpulkan bahwa ada tiga hal yang menjadi penyebab mengapa latah sosial semacam ini bisa dengan mudah sekali terjadi. Tiga hal itu adalah viral, profit, serta eksistensi (eksistensi di sini bukan merujuk pada filsafat eksistensialisme Kierkegaard, Sartre, Camus, dan lain sebagainya, melainkan dipahami sebagai bentuk pemenuhan sekaligus pengukuhan atas kebutuhan identitas diri, yang mana pada gagasan Simmel mengenai manusia adalah makhluk pembeda, kebutuhan ini berada di antara ketegangan individualitas dan sosialitas).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun