Mungkin inilah yang mendasari seseorang mengalami kecemasan menjelang pernikahannya; seseorang merasa ia akan memasuki ruang hampa yang kosong. Tanpa cahaya sedikitpun, dan di sini lah ia mengalami percakapan eksistensial (Rede) dengan dirinya sendiri. Ia akan meluangkan waktu di tengah kesehariannya untuk mendapatkan ketenangan sehingga dapat berkontemplasi dengan Ada-nya. Memutuskan untuk hidup bersama dengan kekasihnya setelah pernikahan bukanlah keputusan sehari-hari, melainkan keputusan mendasar dengan sikap eksistensial, suatu pergumulan dengan Ada-nya.
Tren nikah muda yang belakangan ini menjadi topik pembicaraan di media sosial menjadikan pernikahan sebagai sebuah momen ontentisitas menjadi momen inotensitas. Banyak pasangan berlomba-lomba ingin menikah dan memiliki pernikahan seperti yang dimiliki orang lain, sehingga menjadikan diri mereka inotentik.Â
Mereka melupakan kecemasan mereka, pergumulan mereka dengan Ada-nya mereka sendiri, sehingga membiarkan diri mereka diseret oleh keseharian, yang mana oleh Heidegger hal ini digambarkan melalui gerak kejatuhan. Kejatuhan di sini jangan dibayangkan jatuhnya manusia dari atas ke bawah maupun dari keadaan asali yang lebih murni dan lebih  tinggi. Gerak kejatuhan ini pun dimulai dari godaan, kenyamanan, dan keterasingan, menuju keterjebakan, sehingga menyebabkan manusia menjadi inotentik.
Lantas apa yang membedakan inotentisitas dengan otentisitas? Menurut pembacaan saya atas pemikiran Heidegger, inotentisitas adalah sikap puas diri terhadap keseharian sedangkan otentisitas dapat kita lihat dari kesadaran akan keseharian, dalam hal ini inotentisitas dapat kita lihat dari  sikap puas untuk mengikuti tren yang ada hari ini tanpa menyadari apa yang dilakukannya, membiarkan dirinya diseret oleh tren pernikahan yang sedang berlangsung – dapat dikatakan bahwa seseorang yang inotentik sangat jauh dari penghayatan terhadap sesuatu yang sedang dihayatinya. Bagi Heidegger sendiri pun manusia, eksistensi, yang otentik bukanlah sesuatu yang melayang-layang di atas keseharian yang jatuh itu, melainkan secara eksistensial hanyalah suatu upaya menangkap dan menyingkap keseharian dengan termodifikasi (maksudnya termodifikasi melalui pergumulan dengan Ada-nya).
Kita mungkin akan berpikiran bahwa keseharian itu jahat, karena menyebabkan manusia terseret dan jauh dari otentisitias dirinya, namun yang harus dimengerti adalah bahwa keseharian itu netral dan juga menjadi tempat munculnya otentisitas itu sendiri. Kita juga mungkin akan bertanya, bagaimanakah manusia yang otentik itu? Apakah ia sama sekali tidak ada di dalam keseharian? Manusia otentik tidak berada di luar keseharian, ia berada di dalamnya tetapi tidak ikut arus. Manusia otentik dapat kita bayangkan sebagai seseorang yang mendayung kapal eksistensialnya dengan kesadaran penuh akan arus yang melawannya; arus itu adalah keseharian, dan perlawanannya adalah kecemasan eksistensial, pergumulan dengan Ada-nya, dan ketersingkapan dari keterlemparannya – kesadaran ini lah yang mencemaskannya, karena ia tahu bahwa ia tak tahu dari mana dan ke mana, tetapi ia harus tetap bergerak maju ke suatu arah.
Tren nikah muda tak dapat dipungkiri lagi menyeret seseorang untuk hanyut dalam keseharian (yang paling dominan melalui obrolan eksistensiil atau Gerede di media  sosial) dan menimbulkan inotentisitas terhadap diri seseorang maupun pernikahannya; daripada ia mendayung kapalnya ke arah yang dikehendaki, seseorang  itu malah membiarkan kapal eksitensialnya mengikuti arus dengan kapal manusia lain berjalan ke arah yang sama; memilih menjadi inotentik dan kehilangan 'apa-yang-khas-dalam-diriku' – kehilangan otentisitas yang akan diraihnya melalui pergumulan dengan Ada-nya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H