Belakangan ini, media sosial di Indonesia ramai membicarakan pernikahan yang dilaksanakan oleh para muda-mudi. Banyak faktor yang membuat muda-mudi menikah di usia muda, mulai dari faktor eksternal berupa takut mendapat stigma dari orang sekitar hingga mengalami tekanan dari keluarga – khususnya perempuan, mereka terkungkung dalam konstruksi usia ideal masyarakat kita untuk menikah di usia 20 sampai 23 tahun dan diadopsi oleh masyarakat sekitar maupun anggota keluarga sendiri. Â
Fenomena nikah muda yang ditampilkan sepasang kekasih di media sosial ini memancing pembicaraan para netizen mulai dari gaya pernikahan mereka hingga cara mereka memadu kasih yang diunggah di media sosial. Sebenarnya, apabila diamati lewat ramainya media sosial, nikah muda dan pembicaraan seperti ini telah menjadi tren kurang lebih sejak lima atau empat tahun lalu dan nampaknya menjadi lebih intens sejak dua tahun belakangan hingga sekarang – bahkan bukan hal yang tidak mungkin bahwa ke depannya intensitasnya akan terus semakin meningkat.
Tren Nikah Muda: Eksistensi Inotentik?
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa dengan berkembangnya teknologi, masyarakat semakin terhubung dan dapat dengan mudah berbagi atau melihat cerita maupun dokumentasi dalam bentuk video atau foto melalui media sosial.Â
Tentu saja hal ini memungkinkan suatu peristiwa menjadi topik pembicaraan antar netizen, salah satunya mengenai pernikahan; berawal dari unggahan populer mengenai gaya suatu pasanngan dalam pernikahan dan memadu kasih, pembicaraan pun terjadi dan bermuara, disadari atau tidak, pada terciptanya 'relationship goal'. Jika dulu kita sering mendengar bahwa pernikahan orang tua atau kakek-nenek kita mendebarkan serta memerlukan pertimbangan yang luar biasa berkenaan dengan kehidupan pernikahan mereka sehingga  mereka mengalami kecemasan ontologis, nampaknya belakangan ini kita disuguhkan orang (atau bahkan pasangan kita sendiri?) yang dalam percakapannya membayangkan bagaimana kelak menikah apakah seremonialnya berlangsung seperti pasangan selebriti yang saat itu sedang populer saat itu, dan/atau ingin menikah karena melihat maupun mendengar hal-hal yang berkaitan dengan si tetangga atau teman sebaya yang sudah menikah di usia muda saat itu dan menjadi buah bibir karena nampak bahagia; hanyut dalam obrolan keseharian, lupa akan kemungkinan dalam pernikahan.Â
Pembicaraan atau obrolan ini lah yang kemudian menyebabkan manusia menjadi terasing dari dirinya. Mengenai hal ini, Heidegger membedakan ada dua macam pembicaraan atau obrolan, yakni Gerede yang sifatnya ontis, eksistensiil (dengan sesama manusia, sesama Mengada) dan Rede yang sifatnya ontologis, eksistensial (dengan Ada Mengada-mengada).
Menurut Heidegger, saat Gerede, pengobrol berbicara tanpa sadar tentang apa saja, tentang sesuatu yang hanya merupakan unsur anonim dalam gerak naik turunnya suasana hati percelotehan anonim yang tak terkendali, dan inilah bagaimana manusia mengaburkan diri sebagai kemungkinan dan melupakan keterlemparannya.Â
Singkatnya, menurut Heidegger, orang yang hanyut dan diseret dalam obrolan tersebut hanya mencari yang baru untuk merasakan kebaruan itu tanpa tahu mengenai kebaruan itu -- tidak mencari kesenggangan dari ketentraman kontemplatif, melainkan kehebohan dan keresahan melalui hal-hal baru dan berganti-ganti dalam hal yang dijumpai. Keingintahuan dan obrolan semacam ini membuat manusia lupa akan kecemasan eksistensialnya dan menjadi tidak otentik dengan dirinya sendiri.
Mereka yang membicarakan pernikahan (atau bahkan hingga kelak benar melaksanakannya) bahwa mereka ingin menikah karena mereka melihat kehidupan rumah tangga teman sebayanya atau tetangganya maupun ingin pernikahan mereka semeriah selebriti yang sedang populer yang keduanya menjadi buah bibir, mereka bukan sedang mengalami kecemasan eksistensial melainkan ketakutan.Â
Ketakutan berbeda dengan kecemasan. Seseorang yang mengalami ketakutan pernikahannya tidak akan semeriah atau sekeren pernikahan yang didambanya (atau yang biasa mereka sebut sebagai 'relationship goals') dari hasil melihat pernikahan orang lain dan kemudian mengadakan pernikahan yang tidak kalah meriah atau keren dengan pernikahannya, rasa takutnya ini pun kemudian akan larut dalam kesibukan kesehariannya dan/atau pernikahannya. Dari sini dapat dilihat bahwa rasa takut memiliki objek yang jelas, yaitu suatu entitas, misalnya dalam hal ini cibiran keluarga, orang sekitar maupun netizen yang melihat unggahan sosial medianya.
Berbeda dengan ketakutan, bagi Heidegger kecemasan memiliki objek yang tak tentu dan tak memiliki isi persoalan. Karena kecemasan ini tak tentu dan tak memiliki isi persoalan, maka kecemasan ini menyingkapkan keterlemparan manusia. Keterlemparaan di sini adalah faktisitas, bahwa manusia ada di dalam dunia begitu saja tanpa tahu mau  dari mana dan mau ke mana. Mungkin kita akan mengatakan bahwa agama telah menjelaskan asal-usul kita, destinasi akhir kita setelah kematian, namun tetap dalam beberapa momen di kehidupan manusia, seseorang merasakan bahwa hal itu tidak sepenuhnya mengakomodir dirinya untuk menyingkap Ada-nya, menyingkap realitas sebagai suatu keseluruhan, menyingkap bagaimana sesuatu dihayati oleh aktor dalam dunia-kehidupannya.
Kecemasan adalah tanda momen otentik karena seseorang terlempar ke dalam kekosongan, ketidaktahuan, tanpa petunjuk sama sekali. Jangan diartikan kecemasan ini sebagai suatu nihilisme, raibnya suatu nilai-nilai, melainkan justru kontak dengan Ada yang menjadi sumber nilai-nilai, karena dari keterlemparan itu manusia bergerak melalui pemahaman dalam rancangan untuk meraih kemungkinan-kemungkinannya. Dalam pernikahan, banyak kemungkinan hal akan terjadi di luar kita dan kita sama sekali tidak bisa menduganya, namun kita dapat merancang untuk meraih hal tersebut.Â