Seiring dengan perkembangan zaman, terdapat pergeseran dalam agama kuno Paleolitik ini. Pada 9000 SM, terdapat pergeseran tradisi yang dialami oleh masyarakat purba dari berburu menjadi bertani, yang kemudian juga memengaruhi ritus-ritus yang ada.Â
Jika sebelumnya pada tradisi berburu masyarakat purba tinggal di goa, melakukan inisiasi-inisiasi yang mampu merubah psikis dan memberikan pengalaman tertentu pada orang yang melakukan inisiasi, melakukan ritus-ritus 'pengembalian' ke dunia bawah pada Penguasa Hewan dengan empati dan partisipasi simbolis, maka pada tradisi yang berkembang selanjutnya yakni bertani terdapat pergeseran.Â
Orang-orang sudah tidak lagi mengunjungi goa, berburu kehilangan daya tariknya dan beternak serta membajak ladang menjadi ritual yang menggantikan berburu; bumi yang subur mengambil alih kedudukan Penguasa Hewan dan disertai dengan berkembangnya mitos-mitos serta ritual baru berdasarkan pada kesuburan tanah yang memenuhi perasaan kaum laki-laki dan perempuan Zaman Neolitikum ini dengan kekaguman religius.Â
Kesadaran mereka terhadap adanya sosok yang lebih tinggi di banding manusia-manusia merupakan kesadaran mereka akan adanya Wujud atau Being yang menyelimuti kehidupan mereka, yang menciptakan serta menyeimbangkan alam.
Sebagaimana seni, agama memerlukan upaya penumbuhan modus kesadaran yang berbeda. Manusia hidup dengan begitu banyak aturan sehingga secara berkala mereka mencari ekstasis, sebuah 'langkah keluar' dari norma; kita berusaha mencari pengalaman-pengalaman yang menyentuh secara mendalam dan di saat itu juga mengangkat kita untuk sementara 'keluar' dari dalam diri kita.Â
Pada tulisan sebelumnya, apa yang ditampilkan di Lascaux  dapat dikatakan mungkin berbeda terlalu jauh dari praktik agama modern, namun kita tidak dapat mengerti hakikat pencarian religius ataupun keadaan keberagamaan kita saat ini jika tidak mengaresiasi spiritualitas yang muncul cukup awal dalam sejarah Homo Religiosus -- bagaimanapun juga esensi spiritualitas yang sekarang terdapat dalam agama-agama telah dan sempat mendapatkan tempatnya pada kehidupan masa ini.
Pada masa ini pula, selain terdapat peralihan ritus dari perburuan ke pertanian, manusia telah mulai mengamati fase bulan untuk tujuan praktis.Â
Pada beberapa bagian dunia, bulan secara simbolis dihubungkan dengan sejumlah fenomena yang ternyata tidak terkait; perempuan, air, vegetasi, ular dan kesuburan.Â
Kendati demikian, bulan dihayati memiliki makna dan energi yang sama dengan itu semua, yaitu daya hidup regeneratif, yang dapat terus-menerus memperbarui diri sendiri -- Karen Armstrong mendeskripsikan pemaknaan energi tersebut seperti ini: "segala sesuatu dapat dengan mudahnya tergelincir ke dalam ketiadaan, namun setiap tahun setelah kematian musim dingin, pohon-pohon menumbuhkan tunas baru, bulan mengecil tapi kemudian selalu membesar kembali dengan cemerlang, dan ular, simbol inisiasi universal, lepas dari kulitnya yang lama dan keluar dengan kulit baru yang mengkilap dan segar".Â
Sama seperti halnya Era Paleolitikum, pada era ini perempuan menjelmakan daya hidup yang tak ada habisnya sebagaimana di era sebelumnya; digambarkan dengan  meski manusia dan hewan mati dalam perjuangannya mempertahankan kelangsungan hidup, perempuan tanpa hentinya menghasilkan kehidupan baru.
Tak banyak perubahan spiritualitas yang terjadi di era ini. Era Paleolitik maupun Neolitik sama-sama memaknai Ada yang menopang hidup mereka, namun nampaknya esensi dari yang Ada itu mengalami perubahan dalam pemaknaan; jika di Era Paleolitikum kegiatan berburu menjadi ritus yang menggantungkan dirinya pada Penguasa Hewan, maka di era ini kegiatan beternak dan berladang menjadi ritus yang menggantungkan dirinya pada The Great Mother yang menjaga keteraturan hidup -- atau dalam kata lain, menjaga keteraturan kosmos. Transformasi pemaknaan yang esensial ini mengubah Ada yang semula wujud menjadi Wujud.