Berkaca dengan atmosfir perpolitikan Indonesia belakangan ini membuat saya gusar dengan keadaan republik ini. Gaung “NKRI Harga Mati” awalnya saya kira akan menjadikan negara ini kembali mendapatkan orientasinya dalam bentuk negara; Republik, namun ternyata yang terjadi sebaliknya, “NKRI Harga Mati” hanya digunakan untuk meraih suara, tak lebih dari itu padahal jelas republikanisme adalah sesuatu yang lebih dari itu. Pandemik COVID-19 ini membuka jelas selubung “NKRI Harga Mati”-nya para orang yang menggaungkannya; kita dapat melihat ke mana orientasi para pejabat publik akan membawa kita di tengah situasi yang seperti ini dan kita dapat melihat bagaimana isi pikiran para pejabat publik di tengah situasi ini. Tulisan ini ke depannya saya harap dapat membuka diskursus dan diskusi lebih lanjut mengenai republikanisme, dan tentu saya rasa hal ini harus kita lakukan bersama agar paham betul bagaimana bernegara di bawah kata ‘republik’ bersama dengan paham republikanisme itu sendiri. Selain itu, tentu saja tulisan ini jauh dari kata sempurna dan saya sangat berkenan jika ada saran maupun kritikan yang hendak disampaikan. Terima kasih.
Sumber:
Eagleton, Terry, Fungsi Kritik (terj. Hardono Hadi). 2012. Yogyakarta: Kanisius
Robet, Robertus, dan Hendrik Boli Tobi, Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan: Dari Marx sampai Agamben. 2017. Jakarta: Marjin Kiri.
Suseno, Franz Magnis, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. 2002. Yogyakarta: Kanisius
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H