Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Fajar Utomo
Muhammad Rizky Fajar Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Personal Blogger

part-time dreamer, full-time achiever | demen cerita lewat tulisan | email: zawritethustra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Homo Religiosus Paleolitikum

8 Februari 2020   12:39 Diperbarui: 15 April 2020   17:35 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai Homo Religiousus, manusia telah lama sekali melakukan ritus-ritus sakral sejak ribuan tahun silam. Pada saat Zaman Paleolitikum, saat itu merupakan zaman agama kuno yang didasarkan pada apa yang dinamakan filsafat perenial karena ia hadir dalam berbagai bentuk dalam begitu banyak budaya pramodern.

Filsafat perenial adalah filsafat yang melihat setiap orang, objek, atau pengalaman sebagai replika dari sebuah realitas di dunia sakral yang lebih efektif dan tangguh dibanding dunia kita. Hal ini dapat dilihat dari terdapatnya goa yang telah 'didekorasi' oleh leluhur kita sedemikian rupa dalam bentuk ukiran yang menceritakan pengalaman berburu dan fenomena spiritual yang dialami maupun mitos masyarakat purba pada saat itu. 

Ukiran yang digambarkan dalam pengalaman berburu tersebut, diukir dalam bentuknya yang aneh seperti makhluk hibrida; pencampuran antara binatang dan manusia, dan terdapatnya tulang-belulang yang ditaruh sebagai bentuk pengenangan simbolis terhadap binatang buruan mereka, yang menggambarkan terdapat dunia di luar dunia mereka, yang melampaui realitas mereka dan bernilai sakral.

Pada zaman ini, shamanisme berkembang di Afrika dan Eropa dan menyebar ke Siberia dan kemudian ke Amerika serta Australia, di mana tempat shaman masih merupakan praktisi religius utama di kalangan masyarakat-pemburu pribumi. 

Pada umumnya, dalam periode ini, Shaman sendiri digambarkan melalui Crypt, salah satu goa Lascaux yang letaknya lebih jauh daripada goa-goa bawah tanah, dengan ilustrasi ukiran ada seekor bison besar yang isi perutnya telah terburai oleh tombak yang menikam melalui punggungnya. 

Tergeletak di hadapan binatang itu ada seorang lelaki yang digambarkan lebih  elementer daripada binatang itu, dengan tangan terbentang, lingga memegang dan memakai apa yang kelihatan seperti topeng burung; tongkatnya, yang terletak di atas tanah di dekatnya, juga dihiasi ujungnya dengan kepala burung. 

Ilustrasi adegan yang sama juga muncul pada ukiran di atas tanduk Villars yang tak jauh dari sana dan pada ukiran balok di tempat berlindung bawah tebing di Le Roc de Sers dekat Limoges, lima ribu tahun lebih tua daripada lukisan Lascaux. Ditemukan pula lima puluh lima gambar serupa dalam goa-goa lainnya, dan tiga lukisan batu Paleolitik telah ditemukan di Afrika. Dari ilustrasi tersebut nampaknya dapat kita lihat bahwa visi seorang shaman memberikan makna pada perburuan dan pembunuhan binatang yang menjadi topangan hidup masyarakat.

Para pemburu di masa ini merasa sangat tidak tenang dalam menyembelih binatang yang merupakan teman dan pelindung mereka, dan untuk meredakan kegelisahan mereka, mereka mengelilingi buruan mereka dengan berbagai tabu dan larangan. 

Mereka percaya bahwa dahulu kala binatang-binatang membuat sebuah perjanjian dengan manusia, dan dewa yang sekarang dikenal sebagai Penguasa Hewan secara rutin mengirimkan ternak dari dunia yang lebih rendah untuk dibunuh di dataran perburuan, karena para pemburu itu berjanji untuk melaksanakan upacara-upacara yang akan memberikan kehidupan setelah mati. 

Para pemburu pun sering menahan diri dari seks sebelum ekspedisi, memburu dalam keadaan suci secara ritual, dan merasakan empati yang sangat mendalam dengan mangsanya.

Para pemburu zaman Paleolitik mungkin memiliki pandangan dunia yang sama. sebagian dari mitos dan upacara yang mereka rancang tampaknya tetap bertahan dalam tradisi budaya terpelajar yang terkemudian. 

Pengorbanan hewan, dalam hal ini, merupakan ritual penting pada hampir setiap sistem keagamaan zaman pramodern ini; melestarikan upaya perburuan prasejarah, dan berlanjut menghormati binatang yang membeikan nyawanya demi kepentingan manusia, sehingga fungsi dari ritual ini pun untuk menimbulkan kegelisahan, dalam cara tertentu sehingga masyarakat terpaksa menghadapi dan mengendalikannya. 

Dari sini dapat kita lihat bahwa dari awal sekali, tampaknya, kehidupan agama berakar dalam pengakuan atas kenyataan tragis bahwa kehidupan bergantung pada penghancuran makhluk-makhluk lainnya.

Kita juga dapat melihat, dalam masyarakat tradisional yang mana tradisi-tradisinya berakar dari tradisi keagamaan kuno ini, bahwa di sisi lain ada ritual yang juga menjadikan seseorang menjadi mesin pembunuh yang efisien, dan ritual ini pun sangat penting mengingat bahwa ritus ini dilakukan melalui upacara inisiasi. 

Kita telah menyaksikan, entah mungkin dalam film-film yang memuat unsur ritus tradisional masyarakat pedalaman atau secara langsung, bahwa dalam tradisi keagamaan masyarakat pedalaman ada upacara insiasi di mana saat ada seorang anak lelaki remaja akan memasuki masa dewasa. Ketika mencapai pubertas, anak-anak lelaki diambil dari ibunya dan disertakan dalam serangkaian cobaan menakutkan yang mengubah mereka, mentransformasi mereka, menjadi lelaki dewasa. 

Dalam hal ini, suku tersebut tidak bisa hanya menunggu seorang remaja untuk 'menemukan diri sendiri', sebagaimana masyarakat di negara Barat; dia harus melepaskan kemanjaan masa kanak-kanaknya dan beralih memikul beban sebagai orang dewasa dalam semalam.

Ada banyak bentuk mengenai hal ini, seperti misalnya sang remaja akan diminta untuk membunuh seekor binatang buas seperti harimau, singa atau beruang sendirian, lalu melumuri diri mereka dengan darah buruannya, kemudian memakai mantel dari kulit binatang tersebut; ada pula yang disekap di dalam peti mati, dikubur di dalam tanah dan diberitahu bahwa mereka akan dimakan oleh raksasa, dicambuk, disunat dan ditato; dan tujuan dari ritual ini pada dasarnya adalah membuat -- atau memaksa, sang remaja menjangkau kekuatan batin yang selama ini dia tidak tahu dia punyai.  Namun, inisiasi ini tidak hanya untuk menjadikan seorang remaja menjadi seorang pembunuh yang efisien, melainkan melatihnya membunuh dalam cara yang suci. 

Seorang anak lelaki biasanya diperkenalkan pada mitologi yang lebih esoterik dari sukunya selama inisiasi ini. Dia akan mendengar mengenai Penguasa Hewan, perjanjian, kemurah-hatian para binatang, dan ritual yang akan akan memulihkan kehidupannya saat menjalani ritus traumatis ini, untuk pertama kali. 

Dalam keadaan yang luar biasa ini, ia akan terlepas dari segala yang diketahuinya dengan baik, dia didorong ke dalam keadaan, ke dalam kesadaran baru yang memungkinkannya untuk menghargai, menghormati, ikatan mendalam yang mengaitkan seorang pemburu dengan buruannya dalam perjuangan mereka bersama untuk kelangsungan hidup. Ini jelas bukan pengetahuan yang kita dapatkan melalui pemikiran logis murni, melainkan serupa dengan pemahaman yang berasal dari seni; pemahaman yang didapat melalui rasa, yang merupakan kesadaran baru.

Inisiasi juga dapat dilihat dari labirin bawah tanah Trois Frrese di Arige, Pyrenees yang dikunjungi oleh Dr. Herbert Kuhn pada 1926, dua belas tahun setelah penemuannya. Labirin ini menggambarkan pengalaman menakutkan merangkak melalui terowongan itu -- tingginya tak lebih dari satu kaki pada beberapa tempat -- yang mengantarkan langsung ke jantung tempat perlindungan Paleolitik yang 'megah'. 

Saat telah berada di jantung tempat perlindungan Paleolitik, mereka mendapati diri berada di depan dinding berlapiskan ukiran berukuran sangat besar; mamut (mamooth), banteng, kuda liar, serigala dan musk oxen; panah berterbangan dari mana-mana; darah memuncrat dari mulut beruang-beruang; dan manusia dalam pakaian kulit binatang memainkan seruling. 

Pemandangan yang mendominasi adalah lukisan besar sosok setengah manusia, setengah binatang, yang menatap pengunjungnya dengan mata besar bersorot tajam. Kemudian timbul pertanyaan; apakah makhluk hibrida ini melambangkan kesatuan antara binatang dan manusia, alam dan tuhan ataukah merupakan ilustrasi dari jelmaan Penguasa Hewan?

Kita dapat berasumsi bahwa dalam inisiasi ini, seorang anak lelaki tidak diharapkan untuk 'percaya' pada penguasa hewan sebelum memasuki goa itu. Tetapi, pada puncak ujiannya, imaji ini akan membebaskan kesan yang kuat; selama berjam-jam dia barangkali telah berjuang melalui jalan yang berputar-putar sepanjang hampir satu mil dengan iringan lagu, teriakan, suara-suara atau objek misterius yang dilemparkan entah dari mana tak ada yang tahu, dan efek-efek khusus tentu akan mudah untuk diatur di tempat seperti itu, sehingga pada akhirnya ia tiba dan berdiri di hadapan lukisan besar tersebut.

Tanggapan

Kita sudah membaca sedikit mengenai kesadaran beragama pada masa Paleolitikum yang saya tulis, saya -- tak mengapa para pembaca juga mendapatkan pandangan yang berbeda, mendapati bahwa agama dan seni pada masa ini sangat bertalian. Sebagaimana seni, agama di masa ini nampaknya kurang memadai jika dijelaskan secara logika, mata rasional, karena pada kenyataannya agama tersebut lebih emosional daripada rasional, namun agar tidak sekedar menjadi epifani yang dangkal, wawasan baru ini harus masuk lebih dalam daripada perasaan yang, secara tabiatnya, bersifat sementara saja. 

Mitos Penguasa Hewan kita bisa lihat sangat memengaruhi kehidupan masyarakat Paleolitikum, bahkan dapat dikatakan sangat vital. Penguasa Hewan menjadi arketip (archetype) masayarakat Paleolitikum.

Lalu apa itu arketip? Dalam psikoanalisa Carl Jung, ia memaparkan bahwa arketip merupakan kecenderungan alamiah atau tendensi bawaan yang membentuk dan mentransformasi kesadaran seseorang. Arketip adalah "primordial image" atau  "inborn behavior patterns" yang artinya kecenderungan bawaan manusia yang berguna dalam membentuk kecenderungan pola perilaku manusia. 

Jung juga mengatakan bahwa genealogi dari arketip berasal dari pengamatan repetitif atas mitos dan literatur universal yang berisikan cerita dengan berbagai macam tema besar yang dikenal di setiap tempat dan di sepanjang sejarah manusia. 

Arketip menghantarkan kesan mendalam, memengaruhi dan memesona ego kita, arketip dapat dikatakan bersifat numinous atau sesuatu yang mampu membangkitkan emosi-emosi mendalam.  Arketip tidak memiliki bentuk yang ajeg, dan segera setelah arketip tampil sebagai kesadaran dan dibina, maka ia berubah menjadi pengalaman kesadaran.

Dalam masyarakat Paleolitikum, mitos mengenai Penguasa Hewan diabadikan, dilestarikan, diulang-ulang, sehingga timbul perubahan emosional yang dapat kita lihat pula dalam ukiran maupun lukisan di goa-goa purba yang mengilustrasikan ada semacam entitas yang melampaui bayangan di dunia sekarang dan memiliki nilai kesakralan yang amat besar. 

Tak hanya dalam bentuk lukisan maupun ukiran, inisiasi yang dilakukan saat seorang remaja yang memasuki masa dewasa juga merupakan tindakan repetitif terhadap pelestarian mitos Penguasa Hewan; sang remaja dibina untuk merasakan secara emosional melalui serangkaian inisiasi menyeramkan, gelap, menakutkan, dan mengubah psikisnya di kemudian; menjadi pria dewasa yang berani menghadapi kematian untuk dirinya sendiri maupun untuk sukunya.

Berkaitan dengan pembinaan selama upacara inisiasi ini, Karen Armstrong berpendapat bahwa agama adalah kerja keras. Wawasannya tidak tumbuh dengan sendirinya dan harus dibina dalam cara yang sama seperti halnya apresiasi seni, musik, atau puisi ditumbuhkan. 

Meskipun kita beranggapan bahwa mitos itu merupakan sesuatu yang irasional, sesuatu yang tidak empiris, dan secara logika tidak dapat diterima, pada kenyataannya di Masa Paleolitikum mitos menjadi hal yang vital karena menceritakan kepada kita sesuatu yang berharga mengenai kesulitan manusia dan mitos mengenai Penguasa Hewan ini adalah mitos yang bagus karena mengatakan hal tersebut kepada masyarakat Paleolitikum. 

Mengenai mitos, Karen Armstrong juga berpendapat bahwa sebagaimana karya seni, sebuah mitos tidak akan ada artinya kecuali jika kita membuka diri kepadanya dengan sepenuh hati dan membiarkannya mengubah kita. Jika kita terus mengabaikannya, ia akan tetap gelap, tak tertembus, tak terpahami, bahkan tak masuk akal.

Sebagai penutup, saya ingin mengatakan bahwa dalam kehidupan Masyarakat Paleolitikum memiliki mitos dengan unsur arketipal; mereka menghadirkan wujud Penguasa Hewan sekaligus melaksanakan upacara inisiasi untuk membina para masyarakat lainnya menuju kesadaran baru, yakni kesadaran bahwa adanya entitas sakral yang maha baik, yang memberikan mereka binatang untuk diburu sehingga pasca-perburuan mereka akan mengadakan ritual untuk menghormati entitas tersebut sekaligus berkah buruan pada saat itu. 

Dalam hal ini, ada pula Shaman yang kemudian memberikan saya persepsi baru bahwa pada masa ini, yang adialami (yang Ilahi) tidak terpisahkan dengan manusia oleh jurang apapun; bahwa saat seorang pandita, atau Shaman, mengenakan jubah kehormatan dari bulu binatang untuk memersonifikasi Sang Penguasa Hewan, dia menjadi perwujudan sementara dari kekuatan Ilahi. Dalam masyarakat ini pula lah ritual bukan merupakan produk agama, melainkan agama adalah produk dari ritual, yang dijalankan secara repetitif.

Sumber

Armstrong, Karen. 2011. Masa Depan Tuhan. Bandung: PT. Mizan Pustaka

Febriani, Rika. 2017. Sigmund Freud vs Karl Jung (Sebuah Pertikaian Intelektual antarmazhab Psikoanalisis). Yogyakarta: Sociality

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun