Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Fajar Utomo
Muhammad Rizky Fajar Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Personal Blogger

part-time dreamer, full-time achiever | demen cerita lewat tulisan | email: zawritethustra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Nietzsche, Mati yang Hidup

29 Januari 2020   09:27 Diperbarui: 30 Januari 2020   13:06 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenneth Rougeau - http://kennethrougeau.com

"... mengenai Tuhan -- Tuhan sebagai Tuhan mereka yang sakit, Tuhan sebagai laba-laba, Tuhan sebagai ruh -- adalah konsep mengenai Tuhan yang paling korup yang ada di dunia: barangkali bahkan menggambarkan titik surut terendah dalam proses kemerosotan tipe Tuhan. Tuhan merosot menjadi kontradiksi kehidupan, bukanya menjadi transfigurasi kehidupan itu dan Ya yang abadi! Dalam Tuhan itulah terdapat deklarasi permusuhan terhadap kehidupan, alam, kehendak hidup! Tuhan itulah resep untuk setiap fitnah terhadap 'dunia kini', untuk setiap dusta mengenai 'dunia nanti'! Dalam Tuhan itulah ketiadaan dituhankan, kehendak kepada ketiadaan disucikan!"

Nietzsche secara gamblang mengatakan bahwa seharusnya Tuhan dapat menunjang kehidupan -- tentunya bukan dengan penghambaan buta, apalagi menjadi martir. Tuhan dapat menunjang kehidupan manusia selama (apa yang kita sebut dengan) Tuhan tersebut tidak menghalangi kemanusiaan kita, tidak membuang apa-apa yang sekiranya nampak (dunia kini) untuk hal yang tidak nampak (dunia nanti). 

Orang beragama kelak membuang dunia kini untuk dunia nanti, sehingga kemanusiaannya di dunia kini terpaksa dikesampingkan demi tujuan individualistik akan pencapaian dunia nanti dan Tuhan dimanfaatkan untuk tujuan ini. Tuhan menjadi suatu alat penentang, suatu kontradiksi dalam menjalani kehidupan di dunia kini. 

Tuhan yang seharusnya menjadi penunjang kehidupan, bisa langsung menjadi kontradiksi dalam kehendak manusia bahkan membuat manusia meninggalkan realitasnya, menyangkal kehidupannya. Tentu saja hal ini tidak terbatas pada agama saja, dalam kasus fasisme, ateisme radikal, sains, dan lain sebagainya memiliki mekanisme yang sama.

 Lalu bagaimanakah Tuhan di mata Nietzsche? Tentu saja sudah mati! Tuhan sebagai cahaya hidup manusia telah mati dan Ini tentu menggoncang para manusia. Namun kematian Tuhan jangan dianggap menyebabkan nihilisme, kematian Tuhan justru mempertegas, membuka tabir bahwa Tuhan tidak lebih daripada suatu hal yang kosong -- dan sekali lagi manusia dihadapkan pada ketiadaan pegangan, suatu kondisi nihil. 

Mengenai kematian Tuhan ini, Nietzsche melukiskannya dalam narasi Si Orang Sinting (der Tolle Mensch) yang lumayan panjang, adapun narasi tersebut dikutip dari buku Menalar Tuhan yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno dan berisikan sebagai berikut:

"Pada siang bolong, manusia gila itu menyalakan obor, lari ke pasar dan tak henti-hentinya berteriak 'aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan! .... ke manakah Tuhan?' ia berteriak. 'Aku akan mengatakannya padamu! Kita membunuh-Nya! Kita semua adalah pembunuhnya! Tetapi bagaimana kita melakukannya? Bagaimana kita dapat meneguk habis samudera? Siapa yang memberikan spons untuk menghapus habis seluruh cakrawala? Apa yang kita lakukan waktu kita melepaskan bumi ini dari matahari? Ke manakah dia sekarang? Ke manakah kita sekarang? Menjauhi semua matahari? Bukankah kita terus-menerus jatuh? Dan ke belakang, ke pinggir, ke depan, ke semua sudut! Masih adakah atas dan bawah? Bukankah kita berkelana bagaikan dalam ketiadaan tak terhingga? Bukankah ruang angkasa kosong menghembusi kita? Bukankah semuanya terasa lebih dingin? Bukankah malam datang dan lebih banyak malam terus-menerus? Bukankah di pagi hari perlu dinyalakan lentera? Tidakkah kita mendengar, ribut-ribut para penggali kuburan mengubur Tuhan? Tidakkah kita mencium bau pembusukan Illahi? Dewa-dewa pun membusuk! Tuhan mati! Tuhan tetap mati! Dan kitalah yang membunuh-Nya! Bagaimana kita dapat melipur diri, para pembunuh semua pembunuh? Bukankah keagungan tindakan ini terlalu agung bagi kita?'...."

Kematian Tuhan, sebagaimana telah dibicarakan di atas, tentu mengguncang manusia. Peristiwa ini mengguncang manusia karena tidak ada lagi yang menaggung perbuatan manusia, manusia sendirian dalam menentukan segalanya, tanpa pegangan, terombang-ambing di samudera ketakterbatasan, nihilisme berkuasa. Namun sebagaimana dalam Zarathustra, bahwa manusia adalah sesuatu yang harus diatasi, maka Nietzsche berkata:

".... yang dapat mengatasi nihilisme harus manusia yang mengatasi manusia, Sang Ubermensch! .... Tuhan mati: sekarang kami menghendaki agar Ubermensch hidup. Dia lah yang akan berani menentukan sendiri apa yang bernilai baginya dan dengan demikian menjadi 'Pengalah Tuhan dan Nihilisme'...."

Dalam menghadapi nihilisme pasca kematian Tuhan, manusia haruslah mengatasi nihilisme secara aktif; Ya kepada dunia seadanya, tanpa dipotong, tanpa kekecualian dan dipilih-pilih, Ya terhadap apa saja yang membuat kuat, menyimpan tenaga, yang membenarkan perasaan kekuatan dan bukannya mengatasi nihilisme secara pasif: Tidak kepada segala sesuatu yang melemahkan -- yang membuat diri semakin capai, letih.

Dalam paragraf mengenai kematian Tuhan, nampak bahwa Nietzsche tidak membunuh Tuhan sendirian karena kita turut berpartisipasi dalam pembunuhan Tuhan. Kaum agamawan yang lebih percaya pada tafsir serta ajaran yang dibuatnya sendiri merupakan suatu fenomena pembunuhan Tuhan, demikian pun dengan kaum saintifik yang secara gamblang menolak segala metafisika, menolak Tuhan, begitu pun dengan kaum penyembah lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun