Di Balik Kecepatan ChatGPT, Mengapa Manusia Masih Penting?
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam komunikasi krisis. Salah satu terobosan terkini adalah penggunaan chatbot seperti ChatGPT dalam komunikasi krisis, yang sebelumnya didominasi oleh manusia. Artikel ilmiah berjudul "Can ChatGPT replace humans in crisis communication? The effects of AI-mediated crisis communication on stakeholder satisfaction and responsibility attribution" yang ditulis oleh Yi Xiao dari Tianjin University dan Shubin Yu dari BI Norwegian Business School, mengkaji peran AI dalam komunikasi krisis, khususnya dampaknya terhadap kepuasan pemangku kepentingan dan atribusi tanggung jawab.
Dalam dunia di mana setiap detik sangat berharga selama krisis, efisiensi komunikasi menjadi sangat penting. Chatbot yang didukung oleh Generative Artificial Intelligence (GenAI) seperti ChatGPT menawarkan kemampuan untuk merespons secara cepat dan akurat, sehingga dapat menggantikan peran manusia dalam menyampaikan informasi krisis. Namun, apakah chatbot benar-benar dapat menggantikan manusia sepenuhnya dalam situasi yang penuh tekanan dan emosional seperti krisis?
Studi ini melibatkan serangkaian eksperimen dengan partisipasi 399, 189, dan 121 individu untuk menilai bagaimana reaksi publik terhadap komunikasi yang dimediasi AI. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam situasi di mana permintaan pemangku kepentingan tidak dapat dipenuhi, chatbot lebih disukai karena dianggap lebih kompeten dalam memberikan informasi instruktif. Namun, ketika kebutuhan emosional atau penyesuaian dibutuhkan, manusia masih lebih unggul.
Dari penelitian ini, jelas bahwa peran chatbot dalam komunikasi krisis tidak dapat diabaikan, tetapi keterbatasannya juga perlu dipertimbangkan. Artikel ini membuka diskusi mengenai bagaimana AI dan manusia dapat bekerja sama secara strategis untuk memastikan komunikasi krisis yang efektif dan efisien. Sebagai pengamat sistem informasi, saya akan menjabarkan pandangan saya lebih jauh tentang apakah ChatGPT benar-benar dapat menggantikan manusia dalam skenario krisis dan apa implikasinya bagi masa depan komunikasi krisis.
Dalam kajian mereka, Yi Xiao dan Shubin Yu mengungkapkan bahwa ChatGPT dan chatbot serupa memiliki keunggulan dalam situasi krisis, terutama dalam memberikan informasi instruktif secara cepat dan akurat. Misalnya, ketika organisasi gagal memenuhi permintaan pemangku kepentingan, penelitian menunjukkan bahwa chatbot yang menyediakan informasi instruktif cenderung meningkatkan kepuasan pemangku kepentingan dan menurunkan atribusi tanggung jawab. Eksperimen pertama dengan 399 peserta menunjukkan bahwa chatbot dianggap lebih kompeten dalam situasi ini, dengan tingkat kepuasan lebih tinggi dibandingkan dengan agen manusia.
Namun, hasil yang berbeda ditemukan ketika kebutuhan emosional dan penyesuaian informasi muncul. Dalam eksperimen kedua yang melibatkan 189 peserta, ketika organisasi berhasil memenuhi permintaan pemangku kepentingan, chatbot yang memberikan informasi penyesuaian justru meningkatkan kepuasan. Artinya, ketika chatbot mampu menunjukkan respons yang lebih personal dan empatik, mereka dapat diterima dengan baik, bahkan mengungguli manusia dalam situasi tertentu.
Tetapi, satu pertanyaan penting muncul: apakah kita siap mempercayakan komunikasi krisis sepenuhnya kepada mesin? Dalam eksperimen ketiga yang melibatkan 121 peserta, penelitian kualitatif mengungkapkan bahwa meskipun chatbot dapat menyampaikan informasi dengan cepat, keterbatasan mereka dalam menangani nuansa emosional membuatnya kurang efektif dalam situasi krisis yang kompleks. Stakeholder cenderung mencari kenyamanan dari respons manusia yang nyata dan penuh empati, yang masih sulit dicapai oleh AI pada tahap ini.
Selain itu, penting untuk mencatat bahwa chatbot juga memiliki keterbatasan dalam hal fleksibilitas. Mereka cenderung mengikuti skrip yang telah diprogram sebelumnya, yang mungkin tidak selalu sesuai dengan dinamika situasi krisis yang cepat berubah. Ini membuat chatbot kurang adaptif dibandingkan dengan manusia yang dapat berpikir secara kritis dan kreatif saat menghadapi masalah tak terduga.
Namun, hal ini bukan berarti chatbot tidak memiliki peran penting dalam komunikasi krisis. Justru sebaliknya, temuan ini menunjukkan bahwa AI dapat menjadi pelengkap yang kuat bagi manusia. Misalnya, chatbot dapat digunakan untuk memberikan informasi awal atau instruksi yang jelas, sementara manusia dapat menangani aspek emosional dan penyesuaian yang lebih kompleks. Dengan kombinasi yang tepat, organisasi dapat mencapai komunikasi krisis yang lebih efisien dan efektif, mengoptimalkan kekuatan masing-masing entitas.
Secara keseluruhan, data dari penelitian ini menggambarkan bahwa chatbot seperti ChatGPT memiliki potensi besar, tetapi penggunaannya harus disesuaikan dengan konteks krisis. Tidak semua krisis dapat diatasi hanya dengan AI, dan penting bagi organisasi untuk mengenali kapan harus menggunakan teknologi ini dan kapan harus melibatkan manusia. Sebagai pakar sistem informasi, saya percaya bahwa masa depan komunikasi krisis adalah kolaborasi antara manusia dan AI, bukan penggantian total.