Sejak awal kuliah hingga saya lulus, belum pernah saya menggunakan alat transportasi umum selain bus untuk pulang dan pergi dari rumah menuju ke Surabaya untuk kuliah atau sebaliknya. Karena bus sangat mudah saya temui di jalan raya depan gang rumah saya.Â
Cukup dengan berjalan 100 meter ke arah jalan raya dan melambaikan tangan saja, bus akan berhenti untuk mengangkut saya menuju tempat tujuan.
Hampir semua PO bus yang mengarah ke Surabaya dengan keberangkatan dari Ponorogo atau pemberhentian di terminal Madiun pernah saya coba. Mulai dari Sumber Selamat, Sugeng Rahayu, Mira, Eka, Restu, Cendana, Aneka Jaya, Ponorogo Indah, Akas, hingga PO Jaya Kuning.
Dari sekian PO bus yang pernah saya tumpangi, PO Jaya Kuning adalah bus favorit saya. Bus Jaya juga yang pertama kali membuat saya terkesan dan jatuh cinta dengan alat transportasi ini.
Bus Jaya yang sering saya tumpangi merupakan bus kelas ekonomi dengan jurusan Ponorogo - Surabaya dengan rute Madiun, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, dan Sidoarjo dengan pemberhentian terakhir di Terminal Bungurasih.
Tarif untuk sekali perjalanan dari tempat saya di daerah Madiun hingga Surabaya seharga Rp 44.000, harga tersebut merupakan tarif baru.Â
Pada tahun 2017 hingga 2020 sebelum adanya covid 19, biasanya saya hanya membayar Rp 32.000 untuk sekali perjalanan.
Akan tetapi karena adanya dampak dari covid 19 dan kenaikan harga BBM akhir-akhir ini menyebabkan tarif untuk sekali perjalanan menjadi lebih mahal. Bukan hanya bus Jaya saja yang menaikan tarifnya, tapi semua bus juga menaikan harganya.
Sejak covid 19 melanda pada awal tahun 2020, untuk bepergian ke Surabaya atau pulang ke Madiun saya selalu menumpang bus patas yang melalui jalan tol, hal itu saya lakukan demi kenyamanan dan keamanan saya.
Dan baru kali ini di tahun 2022 , setelah dirasa pandemi covid 19 semakin mereda saya baru menumpang bus ekonomi lagi. Jika menumpang bus ekonomi waktu yang saya tempuh untuk perjalanan berkisar 5 hingga 6 jam, sedangkan jika menumpang bus patas hanya memakan waktu 2 jam saja.Â
Memang jika dibandingkan dengan bus ekonomi, bus patas lebih cepat sampai. Namun ada banyak hal yang saya rindukan ketika saya menumpang bus ekonomi.Â
Ada banyak hal yang hanya dapat jumpai jika kita menumpang bus ekonomi yang tidak dapat kita temui di bus patas ataupun di moda transportasi lain.
Bus ekonomi berbeda dengan bus patas. Bus ekonomi tidak melintasi jalan tol sehingga dapat menaik-turunkan penumpang di sembarang tempat sepanjang rute yang dilalui oleh bus.
Sedangkan, bus patas pada umumnya tidak menaik-turunkan penumpang di sembarang tempat dikarenakan bus patas pada umumnya hanya akan melintasi jalan tol saja dan berhenti akan berhenti di tempat pemberhentian terakhir saja.
Ketika bus ekonomi berhenti untuk menaikan penumpang biasanya tidak hanya penumpang saja yang akan naik, tetapi pengamen dan pedagang asongan juga ikut naik untuk mengais rezeki. Hal itu lah yang menurut saya menjadi ciri khas bus ekonomi dan ciri khas tersebut yang membuat saya rindu menumpang bus ekonomi.
Pengamen jalanan yang sering membawakan lagu-lagu hits terkini dengan cara mereka sendiri, dengan alat musik seadanya dan suara yang serak dan keras seperti kehidupan jalanan yang mereka alami.
Mereka berharap dengan lagu yang mereka nyanyikan dapat membuat para penumpang merasa terhibur dan mau memberikan mereka secuil uang yang kita punya untuk mereka gunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari hari.
Jika ada pengamen yang masuk ke dalam bus yang sedang saya tumpangi, sebisa mungkin saya akan memberi mereka uang receh Rp 1.000. Namun jika saya sedang tidak memiliki uang receh, saya akan menolak dengan tutur kata dan gesture yang sopan.
Pedagang asongan yang naik turun dan silih berganti dengan aneka barang yang mereka jual. Dari banyaknya pilihan camilan yang dijual di dalam bus, yang menjadi favorit saya adalah tahu goreng dan snack kacang-kacangan.
Harga yang ditawarkan cukup murah, untuk satu bungkus tahu goreng dihargai Rp 2.000 dan apabila kita membeli 3 bungkus kita akan memperoleh harga yang lebih murah yaitu Rp 5.000 untuk 3 bungkus, begitu pula dengan snack kacang-kacangan.
Walaupun murah dan sederhana, justru hal yang sederhana dan murah itulah yang terkadang membuat kita merasa kangen dan senang jika kita mendapatkannya kembali di waktu dan kesempatan yang berbeda.
Mungkin hal yang sedemikian rupa hanya dapat kita temui di bus ekonomi saja. Jika kalian terbiasa dengan moda transportasi seperti travel, bus patas, pesawat atau kereta cobalah sesekali menumpang bus ekonomi.
Rasakan sensasinya dan lihatlah walau hanya secuil dari kerasnya kehidupan di jalanan. Kerasnya kehidupan jalanan yang dapat kalian lihat dari orang-orangnya.
Melihat wajah-wajah para pekerja keras yang rela berpanas-panasan, berlari-larian dan berdesak-desakan.
Mendengar teriakan para awak bus yang lantang dan serak untuk mencari penumpang dan mengingatkan penumpang yang hendak turun ketika tujuan sudah dekat.
Mencium aroma keringat pejuang rupiah yang terkadang begitu menyengat namun terkadang kita memakluminya karena kita berpikir bahwa hanya itu yang dapat mereka lakukan untuk menyambung hidup.
Bertemu dengan orang baru yang mungkin tanpa kita sadari kita akan mendapatkan sesuatu dari orang yang pernah kita temui walaupun apa yang kita dapat bukan berupa benda, bukan berupa uang, namun berupa insight yang mampu menambah wawasan kita.
Sobat kompasianer juga memiliki kenangan atau pengalaman yang sama dengan saya tentang bus ekonomi? Tulis pengalaman dan tanggapan kalian di kolom komentar ya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI