Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi dalam pemerintahannya. Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sehingga pada hakikatnya, rakyatlah yang berkuasa. Dengan demikian, sudah menjadi niscaya untuk melibatkan rakyat dalam proses berjalannya pemerintahan, termasuk dalam proses legislasi atau pembuatan Undang-Undang.
Masalah mendasar dalam proses legislasi Undang-Undang (UU) beberapa waktu belakangan adalah adanya kecenderungan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menganggap bahwa proses ini hanya urusan mereka. Kerja-kerja yang mereka lakukan diklaim telah sesuai peraturan, sehingga kritik dan masukan masyarakat dianggap sebagai gangguan belaka. Kalaupun ada, partisipasi masyarakat hanya diperlukan sebagai formalitas, sekadar didengarkan, tapi tidak untuk dipertimbangkan. Undang-Undang Cipta Kerja adalah contoh yang nyata di mana terjadi proses legislasi yang kurang demokratis, tergesa-gesa, lalu dinyatakan inskonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, kemudian Presiden mengambil jalan pintas mengeluarkan Perppu Cipta Kerja yang akhirnya disahkan DPR menjadi Undang-Undang.
Penyusunan Undang-Undang (UU) dengan metode omnibus law nampaknya sedang menjadi tren di negeri ini. Baru-baru ini yang menjadi sorotan publik adalah proses penyusunan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Kesehatan yang disinyalir mengulang pola ugal-ugalan seperti pada pembentukan Omnibus Law UU Cipta Kerja. RUU Omnibus Law Kesehatan akan menggabungkan 13 UU yang berkaitan dengan kesehatan. Menurut Ketua Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas, tujuan utama dari RUU Omnibus Law Kesehatan adalah meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan, meningkatkan kualitas kesehatan, dan menurunkan biaya kesehatan di Indonesia. Rancangan undang-undang ini juga akan membentuk kerangka regulasi baru untuk sektor kesehatan, termasuk pembentukan badan asuransi kesehatan nasional.
Alih-alih menuai dukungan, RUU Omnibus Law Kesehatan justru mendapat penolakan dari berbagai organisasi profesi kesehatan. Pada 24 November 2022, lima pimpinan organisasi profesi kesehatan mengirim surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo. Mereka adalah ketua umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) turut menandatangani surat itu. Tidak berhenti sampai disitu, pada hari Senin, 28 November 2022, lima organisasi profesi diatas juga menggelar demonstrasi 'Aksi Damai' di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Tuntutan dari massa aksi yaitu: (1) menolak RUU Kesehatan (Omnibus Law) dan mendesak pimpinan DPR RI agar RUU ini dikeluarkan dari prolegnas prioritas; (2) menolak liberalisasi dan kapitalisasi Kesehatan; dan (3) menolak pelemahan profesi kesehatan dan penghilangan peran-peran organisasi profesi.
Kendati mendapat berbagai penolakan, proses penyusunan RUU Omnibus Law Kesehatan tetap berjalan sebagaimana dapat dipantau melalui laman https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/319. RUU Omnibus Law Kesehatan disetujui menjadi RUU inisiatif DPR RI pada rapat paripurna 14 Februari 2023. Setelah itu Draft RUU Omnibus Law Kesehatan diserahkan ke Pemerintah yang menandai dimulainya proses partisipasi publik. Proses partisipasi publik melibatkan institusi pemerintah, lembaga, organisasi profesi, organisasi masyarakat, dan organisasi lainnya secara luring maupun daring. Pada hari Rabu, 5 April 2023, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin resmi menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Omnibus Law Kesehatan ke Komisi IX DPR RI. Sebelum menyerahkan DIM kepada DPR, Kemenkes mengklaim telah menggelar partisipasi publik masif atau public hearing pada 13-31 Maret 2023 dengan melibatkan 115 kegiatan partisipasi publik, 1.200 pemangku kebijakan yang diundang, dan 72 ribu peserta terkait RUU Kesehatan. Setelah DIM diserahkan, Komisi IX DPR RI menyatakan bahwa RUU Kesehatan tersebut akan dibahas dalam rapat kerja selanjutnya oleh Panitia Kerja (Panja) tentang RUU Kesehatan.
Terkini, penolakan kembali dilontarkan oleh organisasi profesi kesehatan. Lima organisasi profesi kesehatan yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Kesehatan Bangsa (Aset Bangsa) menggelar aksi damai menolak pembahasan RUU Omnibus Law Kesehatan pada Senin, 8 Mei 2023. Lima organisasi ini terdiri dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Aksi ini merupakan respons atas upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dan DPR untuk mempercepat pengesahan RUU Kesehatan. Mereka menilai pembahasan yang menyangkut kesehatan masyarakat tidak bisa dilakukan terburu-buru. Massa menuntut pembahasan RUU Omnibus Law Kesehatan tidak bisa dilanjutkan karena masih banyak substansi yang bermasalah di dalamnya.
RUU Omnibus Law Kesehatan dalam perjalanannya menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Menurut Pemerintah dan DPR RI, RUU ini akan menjadi reformasi kesehatan di Indonesia, sehingga layanan kesehatan dapat diakses masyarakat dengan lebih mudah, murah, dan akurat. RUU ini diklaim hadir dalam rangka menjamin hak warga negara untuk mewujudkan kehidupan yang baik dan sehat sejahtera lahir dan batin. Sayangnya, niat baik dari Pemerintah dan DPR RI ini dilakukan dengan proses yang kurang demokratis. Teknik omnibus law atau acapkali disebut sebagai teknik 'sapu jagad' dalam pembentukan Undang-Undang (UU) memang lebih menguntungkan Pemerintah dan DPR RI. Pertama, mempersingkat proses legislasi. Kedua, mencegah kebuntuan dalam pembahasan RUU di parlemen sebagai akibat banyak substansi yang dimuat dalam omnibus law, maka anggota parlemen punya kesempatan untuk berkompromi karena bisa saling bertukar kepentingan. Ketiga, efisiensi biaya proses legislasi. Keempat, harmonisasi pengaturan akan terjaga mengingat perubahan atas banyak ketentuan yang tersebar diberbagai UU dilakukan dalam satu waktu. Selain keuntungan tersebut, teknik omnibus law juga terdapat sejumlah kelemahan antara lain: (1) pragmatis dan kurang demokratis; (2) membatasi ruang partisipasi sehingga bertolak belakang dengan demokrasi deliberatif; (3) mengurangi ketelitian dan kehati-hatian dalam penyusunannya; dan (4) potensi melampaui ketentuan dalam konstitusi akibat keterbatasan partisipasi dan kurangnya kehati-hatian dalam membahas (Anggono, 2020).
Penolakan dan reaksi keras dari lima organisasi profesi kesehatan terhadap proses maupun substansi RUU Omnibus Law Kesehatan bukan tanpa alasan. Keputusan lima organisasi profesi kesehatan melakukan 'ekstra parlementer' untuk kedua kalinya ini menunjukkan ada gejala tersumbatnya saluran-saluran aspirasi mereka. Berbagai kontroversi turut mengiringi proses legislasi RUU Omnibus Law Kesehatan, antara lain: (1) kemunculan draft Naskah Akademik dan RUU yang tidak bertuan, DPR dan Kemenkes RI kompak tidak mengakui draft tersebut berasal dari mereka; (2) proses penyusunan yang relatif singkat, bahkan terkesan tergesa-gesa; (3) public hearing yang telah dilakukan dinilai tidak mengakomodir saran dan partisipasi dari lima organisasi profesi kesehatan; (4) kasus pemecatan seorang Guru Besar bidang Kedokteran diduga akibat tulisan opininya yang mengkritik RUU Omnibus Law Kesehatan; (5) viralnya edaran di lingkup Kemenkes RI tentang keharusan mendukung RUU Omnibus Law Kesehatan dan tidak berkomentar yang berseberangan; (6) bahkan, Drone Emprit (sistem yang mampu menganalisa media sosial berdasarkan big data) menemukan adanya dugaan kuat pengerahan buzzer untuk mempromosikan RUU Omnibus Law Kesehatan. Pengerahan buzzer tersebut terlihat dari penggunaan narasi yang seragam, kampanye terstruktur dan terencana, serta unggahan yang dikeluarkan pada periode yang cukup dekat (Fahmi, 2023). Gejala-gejala tersebut merupakan ekses dari sebuah proses legislasi yang kurang demokratis. Oleh karena itu, apabila Pemerintah dan DPR serius melakukan transformasi kesehatan melalui RUU Omnibus Law Kesehatan, seyogianya berusaha sebaik-baiknya memperhatikan prinsip demokrasi dalam proses legislasinya dengan cara:
- Menunda pembahasan RUU Omnibus Law Kesehatan di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023.
- Mengevaluasi proses legislasi RUU Omnibus Law Kesehatan dan memastikan terpenuhinya sejumlah syarat apabila teknik omnibus law diadopsi di Indonesia, yaitu: (1) adanya pemenuhan asas keterbukaan dan partisipasi masyarakat sejak tahap penyusunan; (2) saat pembahasan di DPR harus secara transparan, hati-hati dan tidak tergesa-gesa; (3) substansinya harus dipastikan tidak melampaui konstitusi; dan (4) tetap mengakomodir aspek filosofis dari berbagai UU yang diubah (Anggono, 2020).
- Memfasilitasi dialog dan konsultasi publik. Omnibus Law Kesehatan akan bermanfaat bagi masyarakat jika dapat menghadirkan layanan kesehatan yang profesional, aman, terjangkau, akurat, dan tidak diskriminatif. Hal itu hanya mungkin terjadi jika pemerintah dan DPR memahami betul urgensi dari masalah-masalah kesehatan yang ada. Jadi, sudah semestinya dibuka ruang seluas-luasnya untuk publik dan semua pemangku kepentingan menyalurkan aspirasi agar terjadi dinamika dan dialektika yang merupakan cara ampuh untuk memahami sebuah persoalan secara menyeluruh.
- Mengedepankan sinergi dan kolaborasi antara pemerintah dan organisasi profesi. Diantara berbagai polemik RUU Omnibus Law Kesehatan, ada hal pelik dan memilukan yaitu dugaan adanya upaya terstruktur memecah belah organisasi profesi kesehatan. Alih-alih menjadi mediator, Pemerintah dalam hal ini Kemenkes justru memanfaatkan kehadiran organisasi-organisasi yang pro terhadap RUU Omnibus Law Kesehatan untuk menunjukkan dukungan 'semu' dari masyarakat profesi medis dan kesehatan. Kemenkes seharusnya menjadi mediator dengan mengupayakan rekonsiliasi antara organisasi-organisasi yang ada di pihak pro dan pihak kontra, agar terbangun pemahaman yang sama dan tercapai solusi yang terbaik. Karena faktanya, pemerintah tidak bisa sendirian mengatasi masalah kesehatan. Pandemi Covid-19 adalah contoh paling aktual di mana kolaborasi antara pemerintah dan organisasi profesi menjadi garda terdepan membawa Indonesia terbebas dari pandemi. Apabila bobot kepentingan kesehatan publik jauh lebih besar dibanding kepentingan-kepentingan lainnya, bukankah sudah sepatutnya pemerintah menggandeng dan melibatkan secara bermakna organisasi profesi?
Jadi, legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menggunakan teknik omnibus law seharusnya dilaksanakan dengan tetap mematuhi konstitusi dan ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga dapat terwujud keadilan prosedural yang merupakan gerbang awal dari keadilan substantif. Memperhatikan asas transparansi dan partisipasi bermakna dalam prosesnya, sehingga jalan simplifikasi yang dipilih tidak berarti harus mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi. Mendorong sinergisme dan kolaborasi antara pemerintah dan organisasi profesi, sehingga dapat terwujud transformasi sistem kesehatan bangsa yang lebih baik.
Semoga saja antara pemerintah, DPR, organisasi profesi, dan stakeholder lainnya saling terbuka memberi-menerima kritik dan masukan, tanpa memaksakan kehendak maupun ancaman bagi pihak-pihak yang berbeda pendapat. Jangan sampai karena mengutamakan ego kelompok menyebabkan lahirnya regulasi yang membahayakan kesehatan, yang merupakan hak dasar semua warga negara Indonesia. Prinsip solus populi suprema lex (keselamatan rakyat hukum tertinggi) harus selalu dipegang, dan karena itulah, pemerintah (dan semua pemangku kepentingan) wajib mengutamakan amanat konstitusi untuk 'melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia'.