Mata ku menatap langit-langit kamar, kosong dan hampa. Â Sudah satu bulan papa pergi meninggalkan kami, tapi rasa tidak percaya dan belum terbiasa tanpa sosok papa membuatku kadang seperti orang gila yang menunggu telfon dari papa seharian.Â
Sabtu, 19 Maret 2022 sore hari setelah ashar aku mengirim pesan kepada kakak ku lewat whatsApp untuk menanyakan kabar papa. Yah, seperti biasa jawabannya selalu " jangan khawatir, papa sudah sembuh". Tapi entahlah, perasaanku sore itu tidak seperti biasanya.Â
Setelah magrib aku mencoba menghubungi mama tapi nomornya tidak aktif, aku mencoba menghubungi kakak-kakak ku, hasilnya tetap sama. Perasaan ku semakin gak karuan, satu bulan terakhir sejak papa sakit, jarang sekali mama dan orang-orang rumah menelfonku, paling sesekali hanya untuk memberi kabar perkembangan kondisi papa. Kebetulan hanya aku yang tidak dirumah.Â
Aku di Solo, sedang menempuh Studi S1 di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Setelah isya, aku di ajak temanku keluar jalan-jalan dan kebetulan malam itu malam minggu, tapi ku tolak karna lagi gak mood.  pukul 20:oo aku membuka whastApp dan melihat kakak buat instastory di whatsApp  " Allah..." , hanya dengan kata itu, dan tumbennya aku gak replay, biasanya setiap kakak2ku buat instastory aku selalu replay atau tanya-tanya, soalnya mereka jarang juga buat isntastory, sekalinya buat pasti sedang ada sesuatu. Aku mencoba menenangkan diriku sendiri dan berusaha berfikir positif semoga tidak terjadi apa-apa.
Terakhir vidio call papa sekitar 2  minggu  lalu dan memang waktu itu papa sudah bisa duduk tapi masih muntah-muntah dan beberapa keluhan lain.Â
Pukul 21.45 ada telfon masuk dari kakak iparku. "kia..." panggilnya lirih dari ujung telfon tanpa mengawali dengan salam atau kalimat-kalimat lain. tidak terdengar suara apa-apa dari sana, hening dan sunyi sekali. "Dengar baik-baik" katanya. "Iyo kak" jawabku menggunakan bahasa daerah kami.Â
"Tut..tut..tutt.." belum mengatakan apa-apa telfon tiba -tiba putus. Dua menit kemudian beliau kembai menghubungi ku, kali ini dengan salam dan suaranya tenang. "kia dengar baik-baik" katanya, "iyo kak" jawabku. "Papa sudah dipanggil Allah...". Â
Hanya satu kalimat itu dan telfon kembali terputus. Kalian tahu rasanya  duniaku saat itu seperti apa? Yah, betul. Hancur. Hampir beberapa menit  aku terdiam sebelum akhirnya tangisku pecah. Teman-teman kos langsung masuk mencoba menenangkan ku yang mereka sendiri gak tahu apa penyebabnya.Â
Orang rumah kembali menghubungi ku dan yang angkat salah satu teman kos, mereka membantu ku memesan tiket pesawat malam itu dan mengurusi segala yang kuperlukan diperjalanan pulang.Â
Malam itu, aku ditemani sahabatku, begitu dengar kabar papa meninggal mereka langsung datang nenangin aku. Kami membaca yasin dan setelah itu mencoba beristirahat meskipun hati sedang kacau tapi  karna besok harus bangun pagi ke bandara,. Sungguh, ini sebuah mimpi buruk bagiku.
perjalanan 6 jam Solo-Labuan Bajo (transit bali).Alhamdulillah lancar, aku dijemput ponakan dibandara karna harus menempuh waktu 2 jam lagi menuju rumah. Perasaan sedih, hancur, kecewa bercampur aduk dalam hatiku. Bagaimana tidak, seenggaknya mereka mengabariku hari-hari sebelumnya biar aku pulang lebih awal.Â
Dari kejauhan aku melihat bendara kuning  terpasang depan rumahku, tampak kerumunan orang beridiri mungkin menungguku karna yang ditunggu hanya aku waktu itu sebelum papa di makamkan.Â
Motor berhenti tepat di depan gerbang rumah di antara kerumunan orang, tiba-tiba saja aku kesulitan turun dari motor, kaki ku lemas seketika dan sulit sekali berjalan. Aku tidak bisa mengontrol emosi kala itu, tidak begitu peduli orang disekelilingku. Dengan bantuan kakak, aku berjalan memasuki pintu rumah.Â
Kini tepat didepanku, terbaring sosok papa yang diselimuti kain kafan. Aku jatuh tersungkur disebelah papa, aku ingin memeluk papa tapi orang-orang melarangku. Aku sama sekali tidak bisa melihat papa untuk  kali terakhir. Sakit sekali rasanya. Terakhir, mama, adik, aku dan kakak2ku mencium kaki papa yang tertutup kain kafan. Dua  menit setelah itu, jenazah papa di angkat untuk disemayamkan.Â
Begitu singkat pertemuan terakhir kita pa. Â
Hari itu, aku menyaksikan sosok cinta pertama ku dibaringkan ditempat peristirahatan terakhirnya. Pengabdiannya sudah selesai. Â Selain papa yang hebat buat kami, menurut masyarakat dan tokoh-tokoh setempat, papa juga sangat berpengaruh dimasyarakat.
Sebagai salah satu tokoh perintis pendidikan di tempat kami dan juga aku baru tahu ternyata papa yang membawa  dan mengenalkan Muhammadiyah untuk pertama kalinya ditempat kami dulu.Â
Terima kasih pa, begitu banyak yang ingin ku kisahkan pada semesta tentang papa,Â
Kami sudah  ikhlas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H