Mohon tunggu...
Rizky Amalia Yulianti
Rizky Amalia Yulianti Mohon Tunggu... -

Saya adalah seperti apa diri Saya. Saya bukan Anda, Saya bukan Dia, dan Saya bukan Mereka. Saya adalah Saya dalam segala kelabihan dan kekurangan Saya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sudah Hilangkah Hati Nurani Kita?

26 Agustus 2011   08:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:27 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang ini, mungkin sekitar pukul 14.00 saya pergi membeli pulsa di salah satu toserba terkenal di Kota Lumajang, Jawa Timur. Suasana di Kota Lumajang siang ini begitu ramai dan padat. Begitu juga di toserba-toserba-nya, maklum beberapa hari menjelang lebaran masyarakat banyak yang membeli kebutuhan untuk persiapan lebaran. Selain kebutuhan untuk sandang dan pangan, tampaknya orang-orang di kota saya ini juga sibuk mempersiapkan kebutuhan tersier mereka seperti membeli handphone baru dan mempercantik hp lama mereka dengan aksesoris-aksesoris yang cantik. Saya sama sekali tidak mempermasalahkan atau ambil pusing apa yang mereka lakukan, karena toh itu urusan dan kebutuhan pribadi masing-masing orang. Apalagi, meskipun saya lahir dan besar di kota ini tetapi saya sudah beberapa tahun hidup di Surabaya yang notabene merupakan kota metropolitan terbesar kedua dan jarang sekali orang-orang disana memperhatikan kehidupan orang lain di sekitarya sehingga hal ini terasimilasi dalam hidup saya.

Kemudian saya melihat seorang pengemis tua -benar-benar tua renta- yang menurut pendapat saya memang sudah benar-benar tidak mampu untuk bekerja dan membutuhkan bantuan dari kita orang-orang yang memiliki rejeki berlebih. Saya kira orang tua tersebut akan mendapat cukup banyak santunan dari para pembeli di toserba tersebut. Namun pemandangan yang saya dapatkan sama sekali berbeda! Hanya ada dua orang dari sekian banyak orang disana yang memberi beliau santunan, yaa walaupun mungkin tidak seberapa besarnya. Perasaan saya campur aduk saat itu, antara ingin marah, kecewa, berteriak, menangis...

Ingin saya marah dan berteriak pada orang-orang yang ada di sana saat itu, mengapa tidak ingin menyisihkan sedikit uang mereka untuk beliau, walaupun itu hanya seribu rupiah atau bahkan hanya lima ratus rupiah! Seberapa berharga sih uang seribu atau lima ratus itu bagi kita orang-orang yang berlebih?? Tapi bagi  Ibu itu atau mereka yang mengemis karena memang benar-benar tidak mampu lagi bekerja, uang seribu, lima ratus, atau bahkan seratus rupiah itu akan mampu membuat mereka bertahan hidup dari kelaparan!! Saya heran, banyak Bapak-bapak yang berdompet tebal dan Ibu-ibu yang memakai perhiasan di leher, tangan, dan jari-jemarinya yang sedang memilih-milih hp ataupun aksesoris hp, menolak Ibu itu bahkan dengan tanpa MEMANDANG wajahnya! Ya Allah, apakah sudah hilang hati nurani kita dari melihat hal-hal yang sedemikian?? Padahal ini masih dalam bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah bagi kita yang ingin mencari rahmat-Nya.

Kemudian muncul dalam benak saya, pasal dalam UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara". Masya Allah, dalam realitanya hal ini benar-benar tidak terimplementasi!! Sempat saya ingin menulis gugatan dan hujatan saya pada para pejabat pemerintah dan wakil rakyat yang sekarang ini banyak ternoda oleh ulah-ulah korupsi, namun saya urungkan karena mungkin hal itu juga sama sekali tidak mengena ke telinga mereka dan bahkan akan menjadi bumerang bagi saya seperti kasus Prita. Memang, bahkan hukum di Negara kita ini seringkali cenderung tidak membela kaum yang benar-benar lemah dan tertindas, melainkan sebaliknya.

Tapi saya ingin mengatakan kepada Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang memiliki rejeki yang berlebih khusunya kepada mereka yang sekarang ini duduk di kursi kekuasaan, ketika Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian berusaha mencari harta hingga miliaran dan triliunan rupiah walaupun dengan berbagai cara, lihatlah ternyata di gang-gang sempit, di pertokoan-pertokoan, dan di tempat-tempat yang tidak terjangkau oleh penglihatan mewah kita, banyak orang-orang yang mengais mengumpulkan seratus demi seratus rupiah, lima ratus, ataupun seribu rupiah untuk mempertahankan hidup mereka dari kelaparan. Disaat kita tengah memilih-milih baju lebaran ataupun hp-hp baru, ingatlah bahwa mereka bahkan tidak sempat memikirkan hal itu ataupun memimpikan hal itu di dalam benak mereka. Apakah sudah benar-benar hilang hati nurani dari dalam diri dan tubuh kita hingga kita bisa berpikir bahwa rejeki yang jutaan, miliaran, ataupun triliunan rupiah itu adalah dari usaha kalian semata-mata? Apakah sudah benar-benar hilang hati nurani dari dalam diri dan tubuh kita hingga kita bisa berpikir bahwa sayang sekali memberikan seribu rupiah, lima ratus rupiah, ataupun seratus rupiah kepada orang lain yang membutuhkan hanya karena kita beranggapan bahwa satu juta tidak akan menjadi satu juta jika kurang seratus rupiah saja?? Dan apakah sudah benar-benar hilang hati nurani dari dalam diri dan tubuh kita hingga tidak terketuk hati kita terhadap keberadaan orang-orang itu yang lemah, tidak berdaya, dan butuh santunan kita untuk berdiri dan bertahan hidup hingga kita bisa menolaknya sambil lalu tanpa memandang mereka dengan segala kondisi kekurangan kita??? Kalau memang tahun depan itu datang kiamat pada kita, akankah uang-uang yang sekarang ini kita kumpulkan dan berat membagikannya dengan para fakir dan miskin di sekeliling kita mampu menyelamatkan kita dari kehancuran dan kematian? Jawabannya silahkan Kita tanyakan sendiri pada hati kita masing-masing, jika memang kita masih punya hati nurani.

Saya bukanlah seorang uztadzah atau yang sangat kuat dan mengerti agamanya, tetapi saya adalah seseorang yag tidak suka melihat ketidakadilan terjadi di sekitar saya. Dan seluruh tulisan saya ini adalah opini yang saya kemukakan, mohon maaf jika ada kata-kata yang tidak berkenan. Tetapi marilah kita lihat kembali dan berusaha mengembalikan hati nurani bangsa kita yang saling tenggang rasa dan gotong royong, bukankah itu budaya bangsa kita, Indonesia,  kawan??

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun