Mohon tunggu...
Moch Rizky Ali Khafidh
Moch Rizky Ali Khafidh Mohon Tunggu... Guru - Pelajar

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Falsafah Khodimin (Peniti Keberkahan Ilmu)

2 Juni 2024   19:00 Diperbarui: 2 Juni 2024   19:02 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Khodam yang selanjutnya akan kita sebut khodimin merupakan istilah yang sangat populer di kalangan para santri. Khodam diambil dari kata bahasa Arab yang bermakna membantu atau mengabdi. Dalam lingkungan pesantren, kata ‘khodam atau khodim’ ini disematkan pada santri yang mengabdi atau membantu di Pondok Pesantren baik itu mengabdi pada kyai, guru, atau pada Pondok. Khodimin identik dengan mereka yang merelakan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk mengabdi sehingga tidak sedikit khodimin yang jarang mengikuti kegiatan mengaji secara utuh karena tanggung jawab yang harus ditunaikannya. Mengapa mereka mau merelakan hal-hal tersebut untuk membantu atau mengabdi di Pondok Pesantren?

Salah seorang ulama’ besar Makkah Al Mukarramah yaitu Abuya As-Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani, yang semoga kita semua mendapatkan keberkahan dari beliau pernah berkata: “ثَبَاتُ الْعِلِمِ بِالْمُذَاكَرَةِ وَبَرَكَتُهُ بِالْخِدْمَةِ وَنَفْعُهُ بِرِضَا الشَّيْخ” yang artinya: “melekatnya ilmu itu diperoleh dengan cara Muthola’ah (mengulang/mempelajari kembali pelajaran), keberkahan ilmu didapatkan dengan berkhidmah (mengabdi), dan kemanfaatan ilmu diperoleh dengan mendapatkan ridlo guru”, kalam beliau tersebut menjadi salah satu motivasi hebat yang melekat erat di hati khodimin. Bagi santri apalah arti ilmu yang banyak akan tetapi tidak bermanfaat, apalah arti ilmu yang banyak tanpa adanya keberkahana didalamnya.

Kalam Abuya As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani ini juga dikuatkan dengan kalam Kh. Masbuhin Faqih, pengasuh Pondok Pesantren Mambaus Sholihin Suci, Gresik -semoga beliau beserta seluruh keluarganya diberikan kesehatan, Aamiin-. Kh. Masbuhin Faqih sering mendengungkan kalimat ”بِالْحُرْمَةِ إنْتَفَعُوْا, بِالْخِذْمَةِ إرْتَفَعُوْا” yang artinya: “ dengan rasa hormat (terhadap guru, ilmu, dan ahlul ilmi) ilmu kita akan bermanfaat, dan dengan berkhidmah (mengabdi), derajat kita akan diangkat oleh Allah SWT. InshaAllah”. Kiranya bagi seorang santri, dua kalam orang shalih tersebut sudah cukup menjawab keraguan tentang pengabdian.

Kegiatan mengabdi ini bukan merupakan hal baru dalam dunia pesantren. Dalam beberapa literatur disebutkan model pembelajaran berupa Pondok Pesantren di Indonesia pertama kali dikenalkan oleh Raden Mohammad Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel. Raden rahmat mempunyai murid yang dikenal dengan nama mbah Sholeh yang saat ini makamnya berada di samping masjid Ampel. Terlepas dari keunikan kisah mbah sholeh yang sampai memiliki 9 makam di samping masjid Ampel tersebut, beliau merupakan murid yang menimba ilmu kepada Sunan Ampel sekaligus memiliki keistiqomahan yang mulia yaitu menyapu masjid Ampel sehingga masjid tersebut selalu dalam kondisi bersih dan nyaman digunakan untuk kegiatan keagamaan. Mbah sholeh melaksanakan kegiatan tersebut dengan ikhlas sehingga diceritakan dalam beberapa kisah ketika beliau menyapu seakan-akan tidak ada satupun debu yang tersisa. Kegiatan mbah Sholeh ini menunjukkan bahwa Khidmah (mengabdi) ini sudah ada sejak lama.

Khidmah (mengabdi) ini sangat beragam seperti ikut membantu di ndalem kyai, momong putra-putri atau cucu kyai, menjadi pengurus Pondok Pesantren, membersihkan area Pondok Pesantren, mengajar para santri, menata sandal kyai atau guru, bahkan sampai menata sandal para santri juga termasuk khidmah (mengabdi), dan masih sangat banyak lagi. Apapun bentuk pengabdiannya asalkan dijalani dengan ikhlas dan tidak pamrih, inshaAllah akan Allah SWT. Datangkan keberkahan ilmu baginya. Tidak sedikit dari para santri yang memberikan pernyataan bahwa semasa ia nyantri jarang belajar bahkan ada sebagian yang menyatakan bahwa ia kurang pandai dalam penguasaan materi, akan tetapi semasa nyantri ia sangat sungguh-sungguh berkhidmah di Pondok Pesantren dan hal yang menakjubkan terjadi ketika ia sudah lulus dari Pondok Pesantren dan hidup di tengah-tengah masyarakat ia seakan-akan dibukakan keberkahan ilmunya oleh Allah SWT. Pada saat itu sehingga tidak sedikit yang mengaku bahwa pelajaran yang dulunya tidak bisa dimengerti menjadi lebih mudah untuk dipahami. Itu merupakan sedikit contoh keberkahan yang diberikan oleh Allah SWT. Dan tentunya masih sangat banyak lagi bentuk-bentuk keberkahan yang tidak kita ketahui.

Akan tetapi, perlu diingat tulisan ini bukan bertujuan untuk mengajak malas belajar dan hanya fokus pada khidmah (mengabdi) saja, tentu saja tidak karena antara belajar dan khidmah (mengabdi) merupakan 2 hal yang berhubungan dan harus dilaksanakan secara seimbang antara keduanya. Khidmah (mengabdi) digunakan untuk membuka keberkahan ilmu sehingga kita tetap diharuskan menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh sebagaiman banyak hadits Nabi Muhammad SAW. Tentang perintah menuntut ilmu. Alangkah indahnya santri yang dapat menjalankan keduanya dengan seimbang, ikhlas, dan sungguh-sungguh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun