Ingatan manusia adalah sesuatu yang kompleks. Ada kalanya kita mengingat hal yang remeh temeh seperti apa yang kita makan untuk sarapan seminggu yang lalu, atau warna baju yang kita kenakan ke pusat perbelanjaan bulan kemarin. Namun kita juga dapat melupakan hal yang penting, seperti materi untuk ujian akhir, atau bahkan ulang tahun teman terdekat kita sendiri. Ingatan tidak hanya berperan sebagai mesin perekam pengalaman, namun juga menjadi dasar kita dalam memahami diri sendiri, orang lain, mimpi, tujuan, dan bahkan cara kita dalam mengubah dunia (Kalat, 2009).
Penyimpanan di alat elektronik seperti komputer atau memory card memungkinkan kita untuk membuka file yang telah dibuat 1, 5, bahkan 10 tahun yang lalu. Layaknya komputer, ingatan manusia pun bekerja dengan cara yang tak jauh beda. Ada tiga proses utama dalam pembentukan ingatan: encoding atau memasukkan informasi, storing atau penahanan informasi, dan retrieval atau pengaksesan informasi (Passer & Smith, 2007). Dalam kondisi tertentu, ingatan manusia juga dapat terganggu atau mengalami kerusakkan.
Kondisi ketika seseorang kehilangan kemampuan untuk mengakses sejumlah besar informasi dari ingatan jangka panjang yang disebabkan oleh penyakit, cedera otak, atau trauma psikologis disebut sebagai amnesia. Secara umum, amnesia terbagi menjadi dua: amnesia anterograde dan amnesia retrograde. Amnesia anterograde merupakan hilangnya kemampuan untuk membentuk memori baru setelah terjadi kecelakaan, meskipun mereka masih mampu mengingat informasi dari waktu lampau. Sementara amnesia retrograde adalah jenis amnesia yang paling sering digambarkan di film, novel, atau media populer lainnya—yaitu kehilangan ingatan yang terbentuk sebelum mengalami kecelakaan. (Gazzaniga, Heatherton, Halpern, & Heine, 2012). Tidak hanya ingatan masa lalu mereka yang terdampak, pasien amnesia juga memiliki kesulitan untuk membayangkan masa depan. Namun dari hasil studi pada pasien-pasien amnesia, ditemukan bahwa mereka tidak kehilangan seluruh aspek memori mereka, dan masih ada harapan bagi mereka untuk mempelajari kemampuan baru (Kalat, 2009).
Ada pun kondisi lain yang juga dapat mengurangi kemampuan manusia dalam mengingat adalah faktor usia. Orang dewasa dengan usia di atas 65 tahun adalah yang paling rentan terkena penyakit Alzheimer. Alzheimer adalah gangguan otak progresif yang menyebabkan gangguan ingatan dan kemampuan kognitif lain. Penyakit ini juga disertai dengan penurunan fungsi otak dan terganggunya rutinitas normal pada penderitanya. Beberapa keadaan yang sering ditemui pada pasien Alzheimer adalah kecemasan, mudah tersiggung, depresi, hingga kehilangan wawasan (Dillon, et al., 2013; Passer & Smith, 2007). Dilansir dari data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2016), angka penderita Alzheimer di Indonesia adalah satu juta orang. Sebagai perbandingan, angka penderita Alzheimer di dunia adalah empat puluh enam juta orang. Pada tahun 2050 yang akan datang, angka ini diproyeksikan akan meroket dua kali lipat.
Dari penjelasan sebelumnya, kita telah mengetahui bahwa hilangnya ingatan juga dapat mengurangi fungsi akal manusia. Lalu, bagaimana kewajiban ibadah dari orang-orang tersebut? Allah telah memberi kemudahan baik bagi mereka yang fungsi akalnya telah menurun atau bahkan, sudah tidak memiliki akal yang normal lagi. Orang-orang dengan kehilangan ingatan yang telah mengganggu fungsi hidup mereka sehari-hari diperbolehkan untuk tidak mengerjakan beberapa ibadah, seperti shalat dan berpuasa. Ini didasari dari Hadits Sunan Ibnu Majah No. 2032 yang menyatakan bahwa anak kecil, orang tidur, dan orang kurang akal catatan amalan dan dosanya akan diberhentikan. Mengapa orang yang kurang akal, termasuk di dalamnya yang kehilangan ingatan, menjadi bagian dari kelompok orang yang tidak diwajibkan untuk berpuasa dan shalat? Karena meskipun mereka telah dewasa, mereka tidak mampu lagi untuk membedakan hal yang baik dan buruk—hingga kewajiban ibadah tersebut akan lepas dari diri mereka.
Sementara untuk zakat, orang yang hilang ingatan masih diwajibkan untuk melakukannya. Pada surat At-Taubah ayat 103, disampaikan bahwa zakat diambil dari sebagian harta kita untuk membersihkan dan mensucikan diri kita. Penggunaan frasa dari sebagian harta mereka dibanding dengan dari mereka pada ayat tersebut menyiratkan bahwa harta adalah perkara yang terpisah dengan perkara badaniah seseorang. Sehingga ketika orang yang kehilangan ingatan masih memiliki harta, kewajiban mereka untuk berzakat masih akan tetap melekat.
Kehilangan ingatan bukan sebuah peristiwa yang dinanti-nanti karena kompleksnya dampak negatif yang akan terjadi. Kewajiban kita sebagai manusia adalah untuk melakukan yang terbaik dalam menghindari malapetaka, dan menyerahkan sisanya kepada Allah S.W.T.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H