Pagi itu, kelana berembun pagi menghujani Kota Jasa. Sejuk di lapangan merdeka membuat mata lebih segar, udara pagi dikawasan ini memang tak karuan sedapnya. Namun, tak sedap di pandang hanyalah sampah.
Untung sigapnya pasukan Orange sedang sapu-menyapu, mengutipi sampah-sampah yang berserakan diatas keramik yang nan luasnya.
Tiang putih menjulang tinggi tak elok ketika bendera Merah Putih tak berkibar, tapi berkibarnya bendera itu hanya ada di 17 Agustus saja.
Sepulangnya dan sesampainya diatas teras rumah, aku mendapat kabar bahwa Syaridin akan berkeliling Kota Langsa membesuk sejumlah warganya.
Padahal, Syaridin pernah berjanji akan membesuk warganya jauh-jauh hari denganku. Padahal, rasanya aku ingin sesekali memboncengnya keliling Kota Langsa dengan motor Scoopy-ku menunjukkan mana saja yang perlu Ia benahi dan perlu ia perbaiki.
"Tapi aku inikan cuma warga biasa, tak ada urusan pula sosok nomor satu berbonceng denganku," ujarku dalam hati.
Tapi demikian, senangnya aku mendengar kabar bahwa ternyata Syaridin merupakan pelita bagi warga Kota Jasa.
"Bang..ikut ya..kita ke Langsa Timur," ujar narasumber itu kepadaku via telepon.
Telepon itu memang sebuah panggilan, tapi rasaku tidak perlu ada aku disana. Penolakan itu kujawab "Salam ya dengan Bapak, sampaikan sehat-sehat selalu," ucapku dengan lembut.
Usai itu, aku bergegas mandi dan mulai melirik gawai hanya untuk mencari bahan-bahan materi untuk seminggu kedepannya.