Mohon tunggu...
Rizky Akbar
Rizky Akbar Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

Bismillahirrahmanirrahim

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Stagnansi dalam Praktik Pendidikan di Masa Pandemi Covid-19

27 Desember 2021   20:10 Diperbarui: 28 Desember 2021   12:01 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang kita ketahui, saat ini siswa dari mulai jenjang SD, SMP, SMA bahkan mahasiswa di perguruan tinggi pun melakukan pembelajaran jarak jauh dengan sistem daring Hal ini dilakukan seiring dengan pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia. Dan saat ini apa yang terjadi di sekolah sama sekali jauh dari nilai-nilai pendidikan. 

Apa yang terjadi di kelas-kelas seperti murid yang pasif saat pengajar memberikan materi, terlebih disaat pembelajaran daring seperti sekarang ini banyak sekali celah untuk mengabaikan kelas seperti join zoom ditinggal tidur dan lain sebagainya. 

Dan sekolah sebagai bagian dari pendidikan selalu menerapkan aspek kognitif sebagai penilaian dalam keberhasilan mendidik siswa padahal  pendidikan yang berfokus pada aspek kognitif saja akan menghasilkan sebuah output peserta didik yang penurut dan pragmatis.

Perkembangan kognitif adalah salah satu aspek perkembangan manusia yang berkaitan dengan pengertian (pengetahuan), yaitu semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirkan lingkungannya. 

Sementara menurut Chaplin, dijelaskan bahwa kognisi adalah konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenal, termasuk di dalamnya mengamati, melihat, memperhatikan, memberikan, menyangka, membayangkan, memperkirakan, menduga dan menilai. 

Banyak Sekolah yang menjadikan aspek kognitif ini sebagai aspek pengukur keberhasilan mendidik siswa. Tidak jarang sekolah hanya memikirkan nilai peserta didiknya dari aspek kognitif. Hal ini jelas bukan merupakan tujuan pendidikan. Aspek kognitif memang salah satu aspek dalam pendidikan namun bukan berarti menjadi satu-satunya aspek yang penting.

Hal ini menyebabkan siswa memiliki dorongan dari luar yang mengakibatkan siswa menganggap belajar hanya sebagai alat pencegah ketiaklulusan atau ketidaknaikan. Aspirasi yang dimilikinya pun bukan ingin menguasai materi secara mendalam, melainkan sekedar asal lulus atau naik kelas. 

Sebaliknya, jika keinginannya dari dalam diri sendiri, dalam artian siswa tersebut memang tertarik dan membutuhkan materi-materi pelajaran yang disajikan gurunya akan menjadikan siswa lebih memusatkan perhatiannya untuk benar-benar memahami dan juga memikirkan cara menerapkannya (Good & Brophy, 1990).

Tugas guru dalam hal ini ialah menggunakan pendekatan mengajar yang memungkinkan para siswa menggunakan strategi belajar yang berorientasi pada pemahaman yang mendalam terhadap isi materi pelajaran. Guru diharapkan mampu menjauhkan para siswa dari strategi dan preferensi akal yang hanya mengarah ke aspirasi asal naik, asal bagus dan asal lulus saja. 

Guru juga dituntut untuk mengembangkan kecakapan kognitif siswa dalam memecahkan masalah dengan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dan keyakinan-keyakinan terhadap pesan-pesan moral atau nilai yang terkandung dan menyatu dalam pengetahuannya.

Saat ini juga jika kita perhatikan, pendidikan di sekitar kita sedang mengalami pergeseran pola dalam proses pembelajaran yang seharusnya menjadikan murid sebagai pusat belajar (student oriented) tetapi nyatanya yang dijalankan malah konsep teacher oriended. Konsep mengajar tersebut merupakan bentuk gaya pengajaran lama yang menempatkan guru sebagai pusat belajar (teacher oriented). 

Konsep Teacher Oriented ini membuat guru sebagai penguasa/raja selama proses pengajaran berlangsung dikelas. Kewenangan mutlak milik guru dan guru bebas melakukan apa saja dengan tidak memperhatikan kemauan dari peserta didik. Kritikan yang datang dari peserta didik sama sekali tidak dipedulikan.

Paulo Freire, seorang pakar pendidikan ternama Brazil di dalam tulisannya "Pendidikan Kaum Tertindas" menamakan konsep teacher oriented ini dengan istilah pembelajaran gaya bank. 

Karena posisi guru yang mengajar layaknya seperti nasabah yang menabung uang ke bank dimana peserta didik menjadi pihak bank yang menerima tabungan ilmu dari sang guru. Uang dimasukkan ke bank dan menghasilkan bunga. Guru mengajar, murid belajar, guru menerangkan dan murid mendengarkan. Guru bertanya dan murid menjawab. Konsep tersebut tidak manusiawi (Paulo Freire:1972).

Konsep seperti ini jelas membuat belajar bukan sebagai proses belajar yang sebenarnya, tapi hanya proses pengajarannya saja, karena yang terjadi hannyalah proses transfer ilmu dari seorang guru, sedangkan murid cukup duduk saja, menyimak, menulis atau menghafal materi-materi yang dijelaskan oleh guru. 

Adapun dampak yang dihasilkan dari pembelajaran gaya bank terhadap murid adalah hilangnya potensi yang dimiliki oleh mereka karena kesempatan untuk mengembangkan potensi, berbicara atau mengeluarkan pendapat dibatasi oleh guru. Ini adalah masalah besar yang harus diperhatikan oleh seorang para pendidik.

Maka dari penjabaran diatas kita bisa melakukan suatu perubahan atau inovasi untuk pendidikan kita dengan cara menjadikan murid sebagai subjek pendidikan (student oriented), lalu menjadikan sekolah benar-benar tempat mendidik bukan hanya mengajar materi-materi guna mengejar nilai saja. Dan seperti yang dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara pendidikan harus bisa meningkatkan daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif) dan daya karsa (psikomotor). 

Ketiga daya tersebut harus tumbuh secara bersamaan tanpa ada yang dikesampingkan, karena menitikberatkan salah satu daya dapat menghambat perkembangan manusia. Dengan menumbuhkan ketiga aspek tersebut bersamaan maka proses humanisasi atau memanusiakan manusia dalam pendidikan dapat tercapai. Artinya mendidik manusia untuk mencapai kemanusiaan yang luhur tidak akan mudah goyah, haruslah bertumpu pada cipta, rasa dan karya.

Karena sejatinya Manusia adalah mahluk hidup yang dapat mengeluarkan pertanyaan, manusia mempunyai hasrat untuk untuk mengetahui segala sesuatu. Sebagaimana kita maklumi, bukankah anak kecil saja selalu bertanya tentang berbagai hal yang menarik perhatiannya, atas dasar hasrat ingin tahunya. Manusia tidak hanya bertanya tentang berbagai hal yang ada diluar dirinya, tetapi juga bertanya tentang dirinya sendiri.

Referensi

Suriani, Dian Rinantasari, Achmad Siswanto, & Ahmad  Tarmiji Alkhudri. (2018). BUKU AJAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN. PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA. Jakarta

Sztompka, Piotr. (2004). Sosiologi Perubahan Sosial. Penerbit, Jakarta: Penerbit Kencana Prenadamedia Group

Wirawan, I.B. (2012). Teori-Teori Sosiologi Dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial). Jakarta: Penerbit Kencana Prenadamedia Group.

Freire, Paulo. 2020. Pendidikan Kaum Tertindas. Yogyakarta: Narasi.

KHASANAH, Dian Ratu Ayu Uswatun; PRAMUDIBYANTO, Hascaryo; WIDUROYEKTI, Barokah. Pendidikan dalam masa pandemi covid-19. Jurnal Sinestesia, 2020, 10.1: 41-48.

ULWIYAH, Zumrotul. SISTEM PENDIDIKAN GAYA BANK. TASYRI': JURNAL TARBIYAH-SYARI'AH ISLAMIYAH, 2018, 25.1: 65-77.

SUSILO, Sigit Vebrianto. Refleksi nilai-nilai pendidikan ki hadjar dewantara dalam upaya upaya mengembalikan jati diri pendidikan indonesia. Jurnal Cakrawala Pendas, 2018, 4.1.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun