Mohon tunggu...
Rizky Iman
Rizky Iman Mohon Tunggu... -

Lulusan Fakultas Sastra Universitas Islam Sumatera Utara, saat ini bekerja di salah satu instansi pemerintah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Just Another Night to Run

14 November 2011   05:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:42 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Timo masih terduduk di ruangan itu. Lobi hotel itu lumayan luas dan dekorasinya cukup mewah. Sofa kulit berwarna merah marun yang didudukinya seakan melengkapi langit-langit dan karpet berwarna senada. Dengan taburan lampu-lampu kecil dan chandelier keemasan menggantung sempurna. Dindingnya ditutupi wallpaper bergambar sulur-sulur art nouveau yang tak terlalu mencolok. Ia berusaha membuat dirinya senyaman mungkin di sana, dihadapannya duduk seorang lelaki bule berumur sekitar 43-45-an yang sedang membaca sebuah majalah terbitan luar dengan secangkir espresso di meja di hadapannya. Masih di kursi yang sama, tak jauh dari si bule, seorang anak muda dengan t-shirt bertuliskan ‘sex machine’ dengan gambar kartun dalam sebuah posisi sex yang provokatif. Di sebelah Timo ada Ferdi yang sibuk dengan blackberrynya. Dunianya seakan terfokus pada benda kecil di tangannya itu, sesekali ia tertawa namun tetap tak melepaskan pandangannya pada gadget kecil itu. Ia sendiri merasa heran mengapa ia dan Ferdi bisa berada di satu tempat kini. Ferdi memang datang lebih dahulu darinya. Namun yang pasti alasan keduanya adalah pekerjaan. Timo sendiri merasa tak perlu untuk menggugahnya, ia juga sibuk dengan pikirannya sendiri. Apakah Alika sudah tidur sekarang? Ataukah ia maasih bermain dan menonton televisi di rumah. Ia mengambil teleponnya dan menekan sebuah nama dari layarnya. Nada tunggu terdengar dari seberang sana, namun tak ada yang mengangkat.

‘Mungkin mereka sudah tidur, baguslah.’ Katanya pada dirinya sendiri, namun sebenarnya ia masih terus memikirkannya. Dua hari ini badan Alika terasa panas, dirinya dan mbak Ris memang sudah membawanya ke dokter tadi. Timo tidak mau apa-apa terjadi pada anak semata wayangnya itu. ia sangat sayang padanya. Sejak Alika lahir tiga setengah tahun yang lalu, ialah yang lalu merawatnya, sementara ibu Alika menghilang entah kemana sebulan setelah ia melahirkan Alika, meninggalkan Alika dan dirinya dan pergi entah kemana. Entah apa yang ada dalam pikirannya tak bisa Timo terka. Seakan-akan perempuan itu hanya melaksanakan tugas mengandung-melahirkannya saja. Seperti penyu yang meninggalkan telur-telurnya begitu saja di pasir pantai. Dokter hanya menyarankan memberi Alika obat penurun panas saja, sementara Alika sendiri sepertinya baik-baik saja, ia tetap bermain bersama mbak Ris, pengasuhnya, atau anak tetangga, atau menonton televisi menemani mbak Ris dengan sinetronnya. Mungkin ia tidak tahu bahwa ia sebenarnya sakit, anak-anak, mereka memang begitu.

Ferdi mengeluarkan sebuah telepon genggam dari sakunya, sebuah pesan masuk.

‘Aku duluan ya Mo, udah ditunggu di atas.’ Lalu ia pergi meninggalkan Timo. Seperti halnya Ferdi, Ardi, Roland, dan temannya yang lain, Timo juga memiliki tidak hanya satu telepon genggam dan kartu SIM. Ada pemisahan antara mana kartu untuk urusan pribadi dan mana untuk urusan kerja dan ia membutuhkan keduanya. Dan kedua teleponnya berada dalam genggamannya kini. Sepertinya akan turun hujan, pikirnya. Benaknya kembali kepada rumah dan Alika.

Ia masih menunggu di lobby, hingga kemudian telepon genggamnya bergetar karena sebuah panggilan masuk.

‘Hallo…’ jawabnya,

‘Maaf, rapatnya baru kelar, mmm… kamu bisa naik langsung ke 812? Saya tunggu.’

‘Ok,…’ lalu telepon di tutup.

Timo mengangkat pantatnya dan pergi menuju lift. Kamar 812, ok, another job to do. Kini ia berdiri di depan kamar 812. Tangannya mengetuk pintu dengan pasti. Tak lama seseorang muncul di hadapannya, seorang lelaki berumur 45-50-an yang hanya mengenakan handuk saja di bawah perutnya yang sedikit membuncit. Matanya memperhatikan lekuk tubuh Timo dengan seksama. Senyumnya mengembang dengan nakalnya.

‘Timo ya? Maaf, saya baru mandi, silahkan masuk.’ katanya, masih dengan senyum yang sama. Timo masuk ke dalam kamar itu diikuti pandangan yang siap menerkam dari sosok dibelakangnya.

It just another job to do, just another night to run. Kata Timo pada dirinya sendiri, sementara sepotong pikiran yang lain masih memikirkan Alika.

Lelaki itu lalu melongokan kepalanya ke lorong, melihat ke kiri dan kanan lalu menutup pintu dengan pandangan, tarikan alis dan senyum yang hanya ia sendiri yang tahu maknanya. Sepertinya, malam ini akan terlewati sempurna baginya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun