In front of the fourth door, August sits calmly, looking through the long-brown-brick-tunnel. His leather suit is half-opened, half dust, some drippin' sweats of his neck run down through his muscular chest. He keeps the fourth door open wide. And inside of it, the scenery of the late afternoon can be perfectly seen.
The strong wind dances trees, the v-shaped cranes fly back home, and the blue-red-orange clouds reflect the sunset.
The fourth day, almost fifth. August drops his ears to the sounds of nature. Calmly, he hears many: Adzan, chime, roar, anger, cry, joy, raindrop, grass-whisper, even humming of bees.
This time he's blessed more. This time, he's in full of concentration.
Sturdily steps on his bare feet, he raises his bow and shoots,
One for wish of blessing;
One for wish of wisdom;
One for wish of health;
One for wish of joy;
One for wish of save;
One for wish of care;
One for wish of peace;
One for wish of strength.
All the arrows fly through the air, reach their own path.
He gets one match and scratches on his left boot, soon, it sparkles then down to a bone-made cigarette pipe. Twin Gemini gave him that long time ago as present.
"Aaaahhh...." the tobacco and the afternoon wind breeze on his shoulder should make this perfect for him.
He smiles a bit, just a little pull up on his lips. August looks to the end of the tunnel,
There will be 27 seven more doors to go.
He opens one door, the one which designed to be the his next destination. He enters calmly as the bright shine rushing out abruptly from the opened door.
***
August membuka matanya. Seperti sebuah mimpi yang berat menimpa kepalanya. Dinding masif yang keras. Ia bangun dari tidurnya, duduk di tepi ranjangnya yang hanya setinggi 20 sentimeter dari lantai. August mengusap-usap mukanya dan rambutnya yang acak-acakan, menarik nafas dalam beberapa kali dan memandang kosong ke ruangan. Pada sprei putihnya yang acak-acakan, hiasan kain batik Jawa Barat bercorak putih dan hijau yang menjadi hiasan di dinding tepat di atas tempat tidurnya. Lukisan abstrak yang dilukisnya di salah satu sisi dinding, ubin merah tua khas kolonialis, langit-langit dan jendela besar di belakangnya. Aircon masih hidup namun mimpi itu membuat punggungnya berkeringat. August bangkit, memutar pada ke belakang pada jendela yang masih tertutup gordin. Kiriman sinar mentari langsung menyebar ke seluruh ruangan lewat kaca. Ia menggeser kaca besar itu dan membiarkan udara dan sinar masuk sebebas-bebas yang mereka mau lalu memandang keluar sambil menggaruk-garuk perut dan pantatnya, menggeliat beberapa kali, menguap beberapa kali, mengusap rambut ikalnya lalu keluar dari sana. It’s a bloody Monday.
August menuang air panas dalam sebuah wadah lalu mencampurnya dengan air keran, memastikan hangatnya lalu mencuci muka. Matanya melihat ke luar, pada taman kecil yang dikelilingi tembok setinggi dua meter (sebenarnya, itu tidak terlalu kecil kalau kau melihatnya langsung) yang diisi dengan dua pohon kamboja yangtumbuh besar dengan liukan batang mereka (menurutnya mereka meliuk dengan indah dan sempurna), segerombolan semak teh-tehan (ia tidak tahu apa nama mereka), rombongan bakung kecil berwarna ungu dan beberapa batu kali tempat ia biasa bermeditasi. Ia membuat kopi dan menarik apa saja yang bisa dimakan dari dalam kulkas.
Hari terus berjalan, entah mengapa kali ini terasa begitu, begitu lambat dan malas. Kemarau perlahan mulai bergeser, mendung mulai sering menggantung. Telepon berbunyi di belakang telinganya. August memalingkan kepalanya, sesaat ia mempertahankan posisi itu, beberapa detik. Lalu menuju arah suara dengan malasnya.
“Hallo, ya…”
“Hallo…” suara perempuan, berat.
“Ya, ini August, ada apa?”
“Kau sendiri?” tanyanya.
“Ya, sendiri. Ini siapa?” perempuan di seberang menarik nafas.
“Aku membutuhkanmu.” katanya
“Eeeeng… maksudnya?”
“August, aku membutuhkanmu.” Katanya sekali lagi.
“Ya, kau, dan begitu juga beberapa orang di luar sana atau seluruh orang di dunia. Aku memang dibutuhkan Nona.”
“Masih suka bermain-main ternyata.”
“Okey, kurasa kau salah orang.”
“Kurasa tidak.”
“Wow, Nona, ini terlalu pagi bagiku, dan bukan aku yang bermain teka-teki tapi kau. Dan aku tidak mengingat siapa kau dan bukan waktuku saat ini untuk harus mengingat seluruh sekuens yang aku merasa belum pernah ikut bermain di dalamnya. Suaramu saja terasa asing bagiku.” Otaknya memutar seluruh ingatan mengenai suara di seberang, apakah ia memang mengenal perempuan itu, apakah ia melewatkan sesuatu di masa lalu, ataukah perempuan aneh itu hanya mengarang saja.
“Ini sudah jam 9:11. Ini bukan pagi buta kau tahu.”
“Yah, apapun itu, ini masih pagi bagiku.”
“Kau masih tidur dengan boxer dan telanjang dada?”
Hah!! Siapa sih ini?
“Hey, ini siapa? Serius, apa aku mengenalmu?”
“Kurasa kau akan ingat.”
“Aaaaa… ok, ini memang masih pagi, aku saja masih mengantuk dan aku ada kerjaan yang harus diselesaikan.”
“Kerjaan apa?”
“Sarapan!”
“Ow, mmm… butuh berapa lama kau menyelesaikannya? Lima belas menit? Atau setengah jam cukup kurasa” Gila! August ingin berteriak saja rasanya.
“Selamat pagi!” katanya lalu menutup telepon. Ia termenung di depan telepon. Mereka-reka apakah ada yang salah dengan yang dilakukannya selama ini? Apakah ia melangkah tidur tadi dengan kaki yang benar? Apakah ada doa yang lupa terbaca? Apakah ia semalam mabuk sampai tak tahu apa yang ia lewatkan? Apakah ia memang mengenal perempuan gila yang menelepon pagi-pagi itu?
Oh my goodness!! Lalu mencoba menenggelamkan diri pada sarapannya. Ia membuka pintu belakang lebar-lebar hingga angin bebas masuk. Di ujung matanya, beberapa bunga kamboja jatuh terserak dan bakung-bakung ungu menari dalam tiupan angin.
Pada gigitan keempat rotinya, selularnya bergetar. Ia memang tak suka dengan ringtone dan musik pengiring panggilan lainnya. Vibrasi adalah pilihan paling tepat. Walau terkadang kerepotan bila telepon selularnya itu bersembunyi entah di mana.
Sebuah nomor muncul di layar, nomor yang tidak dikenalnya.
Apakah perempuan gila itu lagi? apakah aku pernah membagi nomor sellar juga padanya?
“Halo.”
“August…” suara lelaki, syukurlah
“Ya.”
“Oooh… ini ternyata memang kau.”
“Ya, siapa anda?”
“Kau tahu, aku mencari-cari nomormu kemana-mana, ke siapapun yang aku kenal.”
“…” Aku tak tahu harus berkata apa.
“Where have you been darling?”
Hah!!
“Pagi harinya aku bangun saat itu kau tidak lagi ada di tempat tidur.
“….” Aku benar-benar tak bisa bicara.
“Kau kemana saja? August, halo…”
“Ugh… Maaf kamu siapa?” fakta bahwa dia mengenal namaku sedari awal pembicaraan membuatku harus menyebut kata ‘maaf’ mau tak mau.
“It’s a nonsense that you don’t recognize me. Or maybe they are many of them accompany you in bed? Like they told me”
“They? Who?”
“August!”
“Kurasa kamu salah orang.”
“Kurasa aku tak salah.”
“Oh ya?!”
Lelaki di seberang diam.
“Look… huuuuh… pagi ini adalah pagi yang gila bagiku,” okey, aku akan mencoba ramah padanya. “tadi perempuan gila, sekarang anda yang meneleponku. Tapi maaf, aku benar-benar…”
“Perempuan? You do female too?”
“And I don’t do male.”
“Hah…”
“Dan anda salah orang menelepon saya di pagi ini.”
“Dan aku masih mengingat tahi lalat di rusuk kiri dekat ketiakmu sejak malam itu sampai sekarang.”
Blast!!! Seperti belati yang menancap di jantung. Aku memang punya tahi lalat di rusuk kiri seperti yang dia katakan. August berlari ke arah cermin mana saja yang dapat ia temukan. Masa ia bisa tahu tentang itu?
“Aku masih merekam aroma dan hangat tubuhmu saat itu” Whoa! Aku rasa aku sudah cukup banyak mendengar.
“Siapa nama kamu tadi?”
“Aku belum menyebut namaku sedari tadi August. Tapi, ya, kalau kau benar lupa Tim, namaku.”
“Ok Tim, kau salah orang.” Telepon ditutup.
Aaaaaarrrgh…. Apa yang terjadi padaku? Ada apa dengan pagi ini?!
Pertama perempuan gila, barusan seorang lelaki yang bernama Tim yang mengaku aku pernah tidur dengannya. Kapan itu? Aku tak tahu. Aku bahkan tak ingat aku pernah mendengar nada mereka berdua. Ini penipuan? Tapi tahi lalat di rusuk kiri itu, aku memang memilikinya. Darimana ia mengetahuinya? Dan itu bukan informasi yang tersebar dengan luas dengan mudahnya. Aku tidak telanjang dengan mudahnya di depan orang-orang. Bahkan kalau aku telanjang dada tahi lalat itu juga tidak dengan mudahnya terlihat. Apa aku memang tidur dengannya? Oh My….!!! What’s wrong with me?! Apa aku mengenal mereka berdua?
Roti dan kopi yang ada sudah hambar rasanya. August tak punya selera. Ia kini hanya duduk diam di mematung di hadapan meja dapur. Sisa angin kemarau di bulan Agustus menyapu kamboja-kamboja yang jatuh terserak itu.
Ia meraih selularnya, mencari sebuah nama lalu menekan nomornya. Nada tunggu berbunyi di seberang sana.
“August!”
“April! Apa yang kau lakukan?”
“…, maksudnya?”
“Well. Ini pasti kerjaanmu kan? Telepon-telepon itu di pagi hari ini. Di pagi hari yang seharusnya indah untukku bermalas-malasan sambil menikmati kopi dan roti dan aku bebas bertelanjang di dapurku sendiri tetapi tidak!”
“August, aku masih tidak mengerti apa maksudmu.”
“Waktumu sudah lewat April, tidak ada lagi mop-mopan seharusnya.”
April masih tidak mengerti apa yang dibicarakan August. Ia mengusap pelipisnya.
“Dear August, I’m in the middle of Cairo right now, and I surely have no idea what are you talking about. Apa maksudmu dengan telepon-telepon itu? Bukankah kau seharusnya ada di suatu tempat sekarang, bekerja seperti seharusnya? Bukan di rumah.”
Sial! Ya benar, April ada di Kairo sekarang. Ia menarik nafasnya.
“Aaah… maaf, hanya saja. Pagi ini sudah ada dua orang gila yang menggangguku dengan telepon-telepon aneh.”
“Lalu?! Tutup saja kalau mereka menelepon. Selesai kan!”
“Mereka mengenalku, katanya.”
“Oh, mereka mengenalmu? Jadi itu sesuatu yang baru.” April tertawa di seberang sana.
“Aku serius.”
“Yah, kalau kau tak mau terganggu dengan mereka. Tutup saja teleponnya ketika mereka menelepon atau blokir. Mereka tak akan mengganggu lagi.”
“Aku ragu.”
“Apa kau pernah berpikir kalau mereka itu adalah bagian dari sindikat yang mencoba menipumu?”
“Penipuan?” Kenapa tak terpikirkan olehku?
“Ya, bisa saja kan. Jaman sekarang semua hak dapat dilakukan untuk mencari uang kan.”
“Tapi kita tidak memiliki banyak uang, walau kita bisa mendapatkannya dengan mudah?”
“Mereka tidak peduli dengan hal itu.”
“Entahlah.”
“Well, kalau tidak ganti nomormu. Lalu mereka benar-benar tidak akan mengganggumu lagi. Sudahlah, aku ada pekerjaan yang harus di urus, dan kurasa kau jugakan.”
Aku lagi tak mau memikirkan pekerjaan apapun.
“August, sudah ya. See you.”
“Ok, thanks anyway.”
Sial! Lalu siapa mereka, apakah ini kerjaan teman-teman yang lain? January? June? Sepertinya tak mungkin. August ingin menghubungi nomor-nomor temannya yang lain tapi dirasanya percuma, mereka tak akan berkelakar seperti itu.
Kriiiing… telepon!
August melirik ke arah telepon itu. Benda itu lalu berbunyi untuk yang kedua kali, ketiga, dan keempat.
“Halo.”
“August.”Perempuan gila itu lagi.
“Setengah jam-mu sudah lewat, kau sudah siap sarapan kan?”
“Apa sih maumu? Uang?” august mencoba memancing perkataan April tentang modus penipuan itu tadi.
“Hah! Kau tahu aku tak butuh uang, August. Bahkan aku tak butuh bekerja. Orang-orang yang akan bekerja dan mengumpulkan duit-duit untukku. Dan aku tak terlalu peduli akan hal itukan.”
“Lalu apa?”
“Aku membutuhkanmu,”
“Dalam hal?”
“Aku kesepian sekarang.”
“Dan aku bertanggungjawab untuk itu?”
“Saat ini ya.”
“Bagaimana bisa?”
“Temani aku.”
“Aku tak tahu kau siapa.”
“Aku sedang ingin sekarang.”
“Ingin?”
“Ya, I think I’m on my ovulating period. Dapatkah kau kemari?”
August diam saja.
“August, aku tahu kau tak lupa tempatku.”
Augist masih diam.
“Mengapa kau diam, August? Oh well, bagaimana kalau kita lakukan di telepon saja, kurasa itu juga cukup, untuk saat ini.”
“Kurasa kau perlu bangkit dari tempat tidur, mandi air hangat dan keluar rumah. Hey! Aku percaya kau handal dalam berbelanja, berbelanjalah!”
“Ahahaha… Aku sedang tak ingin berbelanja.”
“Aku tak tahu siapa kau.”
“Ayolah August, kau tahu bagaimana kalau aku sedang ingin, aku… ingin… segera.”
“Ingatkan aku lagi, bagaimana dulu saat kita bersama? Aku benar-benar lupa.” August memutuskan ingin ikut bermain. Setidaknya ia ingin perempuan itu menjawab pertanyaan tanpa harus mengeluarkan desahan.
“Well, you like vanilla sex. I do like it too. No other things, just us.” Vanilla sex?? Apa lagi itu?
“Terakhir kita bersama?”
“Mmmm… sekitar sebulan yang lalu, my room, my apartment. Setelah kita melewatkan malam bersama sehabis Achievement Night ceremony di Marriot. Kau mendatangiku dan aku menyambutmu, tentu saja, siapa yang tidak kalau melihat kau, August. So, with my car, we’re headed to my apartment. Kiss here and there in elevator. Then you ‘locked’ me up at my door. You really ‘locked’ me up with your hands, your lips. I couldn’t move, all my hands, my mouth, my neck, all away around, and we’re still on our dress.” Oh my! August menutup matanya. Perempuan itu masih bercerita. August benar-benar tak tertarik. Ia dapat membayangkan perempuan itu sekarang menggeliat-geliat sendiri di tempat tidurnya.
“Kau masih dengan boxermu?”
“Ya,”
“Aku juga masih dengan gaun tidurku. And I’m touching myself, I’m…” perempuan itu mendeskripsikan posisinya dengan suara mendesah. It’s kinda tempting actually.
“Look, apakah terakhir kita… bertemu… kita… mabuk.”
“Oh yes! But not that too.” Okey, mabuk, setengah mabuk, apalah itu, tetap saja itu mabuk, dan mungkin itu alasan aku tak ingat apapun. Atau ia hanya membuat alasan saja, karena aku sudah lama tidak menyentuh alkohol, paling tidak dua bulan belakang ini.
“Aku tahu kau suka kalau aku mengangkat kakiku, lalu kau menjambak rambutku sebelum...”
Ok, that’s it! August mematikan teleponnya lalu duduk termenung di sofanya. Ia meraih remote televisi dan terus mengganti-ganti channel yang ada, tak satu siaranpun yang melekat di pikirannya.
Gila! Siapa sih perempuan itu? Darimana dia tahu nomorku?
Channel televisi masih berganti-ganti.
Dan vanilla sex? Apa itu? Aku lebih suka coklat, durian, atau tutty fruity dengan cherry atau crepe di atasnya, tentu saja dengan lelehan coklat setelahnya.
Aaaargh… Cukup sudah! Ia merasa gerah, kebanyakan karena telepon-telepon liar itu, bukan karena hawa panas kemarau yang mulai merasuk ke dalam rumah lewat celah-celah udara mana saja yang mereka bisa. August memutuskan pergi ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya dengan air dingin dan menjernihkan pikirannya. Beberapa kali ia hanya diam saja di pancuran membiarkan air mengalir. Curahan air yang terus-menerus membuatnya megap dan harus mengatur nafas berkali-kali lewat mulutnya namun ia membiarkannya saja. Ia membayangkan di dalam otaknya ada tim pembersih yang siap dengan wiper dan sabun mereka untuk membersihkan hal-hal yang membuatnya jengkel sebelum ini, ya telepon-telepon itu. Ia juga ingin ada tim yang mengganti wallpaper atau suasana hatinya yang seperti laut dengan badai dan gelombang-gelombang tinggi dengan wallpaper berisikan suasana setelah badai reda yang lengkap dengan air laut biru kehijauan yang jernih dan tenang diam tak terusik layaknya danau yang memantulkan sinar jingga matahari sore yang akan tenggelam seperti cermin, ya persis seperti itu. August menyudahi mandinya sepuluh menit kemudian, mengeringkan badan lalu berpakaian sesantai mungkin dengan kaus oblong dan jins, mematikan televisi lalu keluar rumah lewat pintu belakang.
Taman kecil ini, sudah entah berapa lama tak ada hujan. August memasang selang pada keran taman dan menyiram tanaman-tanaman di sana. Bakung-bakung dan rerumputan jelasbutuh bantuan persediaan air. Tanah juga akan senang dengan air. Mereka akan kembali hidup dan mendinginkan hara yang siap untuk dicerna akar-akar di dalamnya. Semut, cacing, dan semua binatang-binatang kecil itu akan bergeliat karena basah dan semangat untuk menggali ruang-ruang baru di dalamnya. Lalu, semua sudah, semua basah. August keluar dari halaman rumahnya setelah memastikan tak ada lagi tanaman yang kekurangan air. Berjalan-jalan di sekitaran perumahannya adalah ide yang bagus walaupun matahari sudah tinggi. Entah harus berapa lama lagi kemarau berdiam diri. Sepertinya sudah mendekati akhirnya namun ia tidak pasti kapan. Deretan flamboyant di pinggir jalan menjadi payung alami ultraviolet. Jatuhan bunga-bunga merah yang belum dibersihkan terserak di jalan dan pedestrian. August sadar kalau ia jarang sekali berjalan-jalan seperti ini mengitari lingkungan rumahnya. Toh ia juga bukan orang yang banyak bergaul dengan tetangga-tetangganya. August yakin kalau dirinya cukup ramah dan mengenal tetangga-tetangganya walaupunntidak semuanya, setidaknya yang dekat-dekat saja. Dan ia yakin tetangga-tetangganya juga seperti dirinya, bukan orang-orang yang banyak bergaul dengan tetangga satu sama lain, tipikal orang-orang jaman sekarang.
Seorang ibu baru selesai menjemput anak-anaknya dari sekolah, lelaki yang mencuci mobil, anjing-anjing yang menyalak dari rumah yang lain, anak-anak yang berkerumun pada sesuatu. Berkerumun? Itu gerobak es krim. Hari yang panas dan es krim? Sempurna! August merogoh saku celananya, ada sisa duit di sana yang rasanya cukup untuk membeli secorong es krim. Anak-anak gembira sekali. Mereka berlarian ke sana-kemari, berputar-putar, bermain-main sambil menjilat es krim di tangan mereka. Masa yang indah. Masa di mana masalah terberat yang ada hanyalah seputar tugas matematika atau kena marah tetangga karena ketahuan mencuri buah dari pohon di halaman mereka. Gerobak es krim masih diam di tempatnya, beberapa orang membeli dengan menggunakan wadah mereka sendiri.
“Mas, rasa apa saja?”
“Yang tinggal hanya vanilla mas, yang lainnya habis.”
Vanilla! Vanilla sex! Vanilla lagi! rasanya ia sudah cukup mendengar kata itu. Tim penganti suasana dalam otaknya gagal menyelesaikan misinya, sepertinya mereka harus mengganti walpapaer dan tema dengan yang hal yang lain lagi, hal yang lebih keras. August tersenyum lalu mundur dan batal membeli.
Rasanya cukup sudah jalan-jalan ini. Tidak memberikan ketenangan juga padanya. August pulang dan membanting dirinya di sofa. Ia hanya ingin tidur kembali dalam pelukan hawa musim kemarau yang menyusup di celah yang diusir sejuknya aircon. Dan ia tertidur lagi.
Hup! Sesuatu membangunkannya, sebuah jentikan kecil, lebih tepatnya adalah rasa lapar di perut. August sadar sarapan tadi pagi sangatlah tidak cukup untuk mengganjal perutnya, ditambah ia tidak makan siang.
August melihat jam di dinding, 15:42. Hah! There goes my lunch, beberapa jam lagi malah makan malam. Sebagian dirinya ingin beranjak untuk makan, sebagian yang lain masih mau terikat dengan sofa dan memejamkan matanya. Keinginan untuk makan akhirnya mengalahkan semuanya.
August berjalan menuju kulkas dan menyadari kalau ia memang hampir tak memiliki apa-apa lagi yang bisa dimakan di dalamnya. Lalu…
Kriiiing…
Telepon kembali berbunyi. August hanya memandanginya saja.
Tak mungkin perempuan itu lagi, ini sudah sore, sudah lewat harinya merengek-rengek padaku utuk menemaninya. Tapi bagaimana kalau iya? Kau bisa menjamin dia tidak akan meneleponmu August? Pikiran-pikirannya berganti berulang kali. Dan ia memutuskan untuk mengangkatnya.
“Halo…”
“August.”
Perempuan itu lagi. August langsung mematikan sambungannya.
Mukanya merah, ia geram sekali. Tangannya menumpu pada kursi di meja makan. Lalu sesuatu bergetar, meja di depannya. Ia baru menyadari telepon selukarnya masih di sana. Dan telepon itu bergetar karena panggilan masuk dari nomor yang sama yang menghubunginya pagi tadi. Lelaki yang mengaku tidur dengannya.
Telepon-telepon liar masih berbunyi dan terus menghubunginya kini. August tak bergerak, ia hanya diam di antara dering dan lapar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H