Perkara zakat, sebetulnya memang bukan perkara biasa.
Zakat merupakan salah satu bagian dari rukun Islam, kedudukan zakat juga memiliki kedudukan yang sangat penting di dalam Islam.
Selain itu pula, zakat merupakan bagian yang wajib dikeluarkan oleh setiap Muslim yang sudah mampu (menyesuaikan dengan syarat-syaratnya juga). Dan orang-orang yang dibebankan membayar zakat ini kualifikasinya berbeda-beda tergantung zakat apa yang hendak dibayarkan.
Zakat sendiri macamnya beragam, ada Zakat Fitrah, Maal (harta), Profesi dan masih banyak lagi.
Nah, zakat yang biasanya umum dan sering diperbincangkan adalah zakat yang hendak dibayar ketika menjelang hari raya atau menjelang selesainya Ramadan.
Zakat yang dibahas tersebut adalah termasuk jenis Zakat Fitrah. Sebab zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap Muslim yang berkemampuan sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan. Lebih khusus lagi dikeluarkan sebelum 1 Syawal (sebelum sholat hari raya Idul Fitri).
Problematika Zakat
Problematika yang biasanya sering muncul pada permasalahan zakat secara klasik ialah terkait apa yang hendak dikeluarkan untuk zakat.
Jika menyesuaikan Sunnah, Rasulullah dulu mengeluarkan zakat dalam bentuk bahan makanan. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim pula ditetapkan takarannya sesuai dengan jumlah satu sha'.
Nah, permasalahan yang biasanya sering menjadi iktilaf (perdebatan) di kalangan ulama adalah terkait takaran satu sha' ini. Namun sebagian ulama kontemporer menyepakati takaran satu sha' ini sama dengan 2,5 kg.
Problem Zakat Harus Dibayar Dalam Bentuk Barang Atau Uang
Ketika mayoritas ulama menyepakati problematika takaran zakat, lanjut kemudian muncul kembali problem-problem turunannya.
Salah satu permasalahan yang biasanya muncul di akar rumput ialah tentang apakah harus membayar zakat dengan berupa barang atau bahan makanan? Atau bagaimana jika dibayar dalam bentuk berupa uang?
Masalah seperti ini sampai saat ini masih sering dibahas.
Jika mengacu pendapat Mahzab, dalam pandangan Mahzab Syafi'iyah tidak dianjurkan sedangkan dalam pandangan Mahzab Hanafiyah diperbolehkan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri memperbolehkan membayar zakat dengan uang.
Problem Membayar Zakat Online dan Offline
Lanjut pembahasan seputar masalah-masalah zakat selanjutnya.
Saat ini, telah banyak fenomena membayar zakat yang dapat disalurkan melalui platform digital.
Bagi pandangan konservatif, sudah pasti dinilai hal yang seperti ini tidak masuk akal. Salah satu faktor masalah yang biasanya sering dimunculkan adalah penyalurannya yang terlalu ribet.
Lantas apakah berarti harus membayar secara offline?
Sebetulnya jika ditinjau baik dari segi Ushul Fiqh dan Ijtihad Ulama sendiri, hal yang seperti ini dinilai wajar. Sebab Islam sendiri sifatnya fleksibel dan universal. Menyesuaikan dengan tantangan zaman.
Maka, apabila tantangan zaman saat ini memungkinkan untuk membayar zakat bisa dilakukan secara digital, maka hukumnya juga sudah pasti diperbolehkan. Dalam catatan sesuai dengan kadar syari'at-syari'at yang telah ditentukan.
Kalau saya sendiri, merekomendasikan membayar zakat bisa disalurkan ke lingkungan terdekat terlebih dahulu. Dapat disalurkan ke Masjid atau Badan Amil terdekat, barulah jika kurang memungkinkan membayar secara langsung baru bisa dibayarkan lewat digital atau online.
Ditulis oleh: Rizky Hidayat
Alumni Lembaga Amil Zakat Infaq Shodaqoh Muhammadiyah (Lazismu) Sidoarjo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H