Mohon tunggu...
Rizky Hidayat
Rizky Hidayat Mohon Tunggu... Ilustrator - Perluas Sudut Pandang, Persempit Memandang Sudut.

Ghostwriter

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Jejak Petasan di Antara Stigma dan Tradisi

16 April 2021   23:32 Diperbarui: 16 April 2021   23:36 1197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi saat awal-awal petasan ditemukan | Ilustrasi: cqcb.com

Ramadan selalu memberi arti yang lebih bagi umat muslim di seluruh penjuru dunia tak terkecuali di Indonesia. Uniknya tradisi yang muncul selalu menjadi pernak-pernik tersendiri baik saat menyambut datangnya bulan suci, saat memasuki bulan suci ataupun menjelang datangnya lebaran.

Satu dari banyaknya ragam tradisi yang selalu muncul disaat Ramadan ialah tradisi bermain petasan. Baik di Indonesia ataupun pelosok negri lainnya, sudah pasti petasan menjadi barang yang tidak pernah lepas di saat Ramadan.

Selain sebagai tradisi, permainan petasan nyatanya juga memicu stigma pada beberapa kalangan tertentu sehingga banyak pula yang pada akhirnya melarang permainan petasan. Disini, kita coba melacak jejak petasan di antara stigma dan tradisi. 

Ilustrasi saat awal-awal petasan ditemukan | Ilustrasi: cqcb.com
Ilustrasi saat awal-awal petasan ditemukan | Ilustrasi: cqcb.com

Sejarah Permulaan Petasan

Jika ditarik dari garis permulaannya, pada dasarnya petasan ditemukan secara tidak sengaja. Dari sebuah tragedi menjadi sebuah penemuan yang cukup menakjubkan.

Bermula di Tiongkok pada sekitar abad ke-9, salah seorang juru masak mencoba bereksperimen dengan mencampurkan beberapa bahan bubuk hitam (black powder) yakni garam peter atau kalium nitrat, lalu sulfur atau belerang dan arang kayu atau charcoal. Ternyata campuran dari ketiga bahan tersebut mudah memicu ledakan.

Apabila ketiga bahan tersebut dicampurkan kemudian dimasukkan ke dalam sebuah bilah bambu yang sudah diberi sumbu (saat itu sumbu dibuat dari tisu) di salah satu ujungnya, lalu dibakar. Maka bambu tersebut dapat menimbulkan ledakan dan suara dentuman yang cukup keras.

Hal ini pada permulaannya dipercaya dapat mengusir roh jahat oleh orang-orang Tiongkok sehingga petasan (kala itu) sering dimunculkan pada saat-saat upacara dan ritual sakral seperti pernikahan, kemenangan perang dan upacara-upacara keagamaan.

Seiring perkembangan zaman, tradisi memainkan petasan ini lambat laun akhirnya menyebar ke segala penjuru hingga akhirnya masuk ke Timur-Tengah dan tanah Melayu.

Potret permainan petasan saat Ramadan | Gambar: pikiran-rakyat.com
Potret permainan petasan saat Ramadan | Gambar: pikiran-rakyat.com

Petasan Sebagai Tradisi Menyambut Datangnya Ramadan

Karena persebarannya yang cukup luas, tradisi petasan ini dapat diterima dengan baik oleh kalangan umat Islam, bahkan proses kulturisasi tradisinya pun berjalan dengan cepat.

Pada permulaannya, jika ditelusuri dari sudut pandang jalur perdagangan, orang-orang Tiongkok sendirilah yang mengenalkan tradisi petasan ini ke para penduduk di Timur-Tengah kala itu (termasuk saat orang Tiongkok datang ke Melayu dan Jakarta).

Karena terlihat nampak begitu menyenangkan, tradisi ini akhirnya terserap begitu cepat hingga menjadi identitas tersendiri kala itu. Penduduk lokal di Timur-Tengah dan Melayu yang notabene mayoritas pemeluk agama Islam, pada akhirnya sering memainkan tradisi petasan ini (bahkan sampai sekarang).

Dalam literatur sejarahnya juga, di abad ke-19 saat Sultan Mahmud II berkuasa di Ottoman (1808-1839) terdapat tradisi unik yang dinamakan meriam Ramadan sebagai penanda masuknya bulan suci Ramadan. 

Melansir dari Republika, diceritakan juga bahwa di Kairo saat era gubernur Khedive Ismail Pasha, beberapa tentara pernah sedang membersihkan meriam dan tanpa sengaja sebuah peluru ditembakkan ke langit Kairo.

Kebetulan saat itu bersamaan dengan waktu memasuki adzan Mahgrib pada hari Ramadan. Penduduk Kairo berpikir bahwa itu adalah tradisi baru untuk mengumumkan waktu berbuka puasa selain adzan. Orang-orang mulai membicarakan insiden ini, dan Haja Fatima, putri gubernur, terkesan dengan hal itu dan mengeluarkan dekrit bahwa meriam akan ditembakkan pada waktu iftar (berbuka), sahur dan pada perayaan hari raya (Turkey's Here, 2018).

Dari situlah akhirnya tradisi petasan selalu identik dengan umat Islam saat memasuki bulan suci Ramadan.

Potret buruk dalam bermain petasan | Gambar: merdeka.com
Potret buruk dalam bermain petasan | Gambar: merdeka.com

Stigma Buruk Petasan

Nah, lanjut pada pembahasan terkait tradisi bermain petasan. Kenapa pada akhirnya menjadi salah satu hal yang sedikit tabu dan dilarang oleh beberapa kalangan termasuk pemerintah Indonesia sampai saat ini, ialah disebabkan karena cara bermainnya yang kurang safety.

Proses bermainnya yang tidak terorganisir inilah yang menjadi penyebab akhirnya petasan banyak dilarang untuk dimainkan. Masyarakat di Indonesia biasa memainkan petasan ditempat-tempat umum, contoh yang paling umum adalah di jalan-jalan.

Hal inilah yang akhirnya memunculkan stigma buruk tentang permainan petasan itu sendiri. Selain berbahaya dan meresahkan, kurang hati-hati dalam memainkan juga dapat menimbulkan masalah yang cukup serius bahkan dapat memakan korban.

Itulah serangkaian jejak petasan yang menjadi khazanah di antara stigma dan tradisi khas ramadan yang dirindukan. Berminat untuk mencoba bermain petasan?

Ditulis oleh: Rizky Hidayat - Aktivis Muhammadiyah Konservatif

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun