Ramadan selalu memberi arti yang lebih bagi umat muslim di seluruh penjuru dunia tak terkecuali di Indonesia. Uniknya tradisi yang muncul selalu menjadi pernak-pernik tersendiri baik saat menyambut datangnya bulan suci, saat memasuki bulan suci ataupun menjelang datangnya lebaran.
Satu dari banyaknya ragam tradisi yang selalu muncul disaat Ramadan ialah tradisi bermain petasan. Baik di Indonesia ataupun pelosok negri lainnya, sudah pasti petasan menjadi barang yang tidak pernah lepas di saat Ramadan.
Selain sebagai tradisi, permainan petasan nyatanya juga memicu stigma pada beberapa kalangan tertentu sehingga banyak pula yang pada akhirnya melarang permainan petasan. Disini, kita coba melacak jejak petasan di antara stigma dan tradisi.Â
Sejarah Permulaan Petasan
Jika ditarik dari garis permulaannya, pada dasarnya petasan ditemukan secara tidak sengaja. Dari sebuah tragedi menjadi sebuah penemuan yang cukup menakjubkan.
Bermula di Tiongkok pada sekitar abad ke-9, salah seorang juru masak mencoba bereksperimen dengan mencampurkan beberapa bahan bubuk hitam (black powder) yakni garam peter atau kalium nitrat, lalu sulfur atau belerang dan arang kayu atau charcoal. Ternyata campuran dari ketiga bahan tersebut mudah memicu ledakan.
Apabila ketiga bahan tersebut dicampurkan kemudian dimasukkan ke dalam sebuah bilah bambu yang sudah diberi sumbu (saat itu sumbu dibuat dari tisu) di salah satu ujungnya, lalu dibakar. Maka bambu tersebut dapat menimbulkan ledakan dan suara dentuman yang cukup keras.
Hal ini pada permulaannya dipercaya dapat mengusir roh jahat oleh orang-orang Tiongkok sehingga petasan (kala itu) sering dimunculkan pada saat-saat upacara dan ritual sakral seperti pernikahan, kemenangan perang dan upacara-upacara keagamaan.
Seiring perkembangan zaman, tradisi memainkan petasan ini lambat laun akhirnya menyebar ke segala penjuru hingga akhirnya masuk ke Timur-Tengah dan tanah Melayu.