Gerakan emansipasi perempuan di Indonesia muncul ketika era pergerakan nasional pada abad ke-19. Keadaan perempuan pada masa itu masih mendukung nilai-nilai tradisional dan terikat oleh adat. Pendidikan pada masa itu hanya diprioritaskan kepada anak laki-laki sedangkan anak perempuan biasanya hanya dibatasi dengan pendidikan rumah atau lingkungan keluarga saja.
      Pelopor pertama gerakan emansipasi perempuan di Indonesia ialah R.A. Kartini. Melalui bidang pendidikan, Beliau sangat mendorong dalam upaya meningkatkan kualitas perempuan pada saat itu. Lalu kemudian, Derajat perempuan pada masa itu mendekati kesetaraan dengan laki-laki. Hal ini disampaikan melalui tulisan R.A Kartini melalui bukunya yang berjudul "Habislah Gelap Terbitlah Terang".
      Seiring berkembangnya gerakan emansipasi perempuan melalui bidang pendidikan, dilanjutkan dengan munculnya organisasi-organisasi dalam bidang politik dan militer. Organisasi ini muncul dilatar belakangi oleh rasa ketidakadilan maupun kedudukan yang dimana perempuan dianggap warga negara kelas dua. Sehingga lahirlah keinginan perempuan apa yang mereka cita-citakan baik dalam bidang pendidikan, politik, sosial, dan sebagainya.
      Sejak masa purba, para kaum perempuan memiliki keterbatasan dalam kebebasannya seperti hak sebagai manusia yang memiliki naluri untuk keluar dari batasan lingkungan yang tidak seluas kaum laki-laki. R.A Kartini bersama para pejuang perempuan lainnya berupaya menyadarkan bahwa perempuan tidak hanya memiliki keterbatasan dalam hal-hal yang menyangkut kesetaraan dengan hak hidup laki-laki.
      Oleh karena itu, dibutuhkannya kesadaran para kaum perempuan akan hak dan kodratnya sebagai perempuan yang selalu dinggap lebih rendah dalam hal yang terikat dengan hak kebebasan hidup. Tidak hanya para kaum perempuan, namun para kaum laki-laki juga harus memiliki kesadaran terhadap hak hidup yang setara sebagaimana hak hidup manusia. Dengan ini gerakan emansipasi perempuan dapat berhasil apabila kesadaran dari perempuan dan laki-laki atas stereotipe yang tidak mengunggulkan kaum laki-laki. (Tubagus, 2021)
      Politik merupakan sarana antara masyarakat dengan pemerintah dalam mewujudkan kebijakan serta aturan yang mengatur individu ataupun kelompok masyarakat dalam negara. Setiap warga negara memiliki hak dalam pemerintahan, baik kaum perempuan dan laki-laki. Namun hingga kini, kaum perempuan masih dipandang sebelah mata khususnya dalam bidang pemerintahan maupun politik. Kaum perempuan kerap kali mendapatkan tindakan diskrimanasi karena dianggap tidak setara dengan kaum laki-laki, selain itu kesenjangan baik dalam sosial maupun politik masih menjadi persoalan yang belum mendapatkan keadilan bagi para kaum perempuan.
      Kaum perempuan hingga saat ini masih berusaha untuk memperjuangkan keberadaannya dalam bidang sosial dan politik, terlebih dengan hak-haknya dalam menyetarakan kemampuannya dengan kaum laki-laki. Dalam pemerintahan masih banyak didominasi oleh para kaum laki-laki, sehingga perempuan kerap kali tidak memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan ataupun kebijakan. Oleh karena itu, dengan adanya gerakan emansipasi perempuan inilah yang mampu mendorong kesetaraan antar perempuan dan laki-laki.  (Yandy & Mustajab, 2022)
      Dalam sejarahnya, posisi perempuan dalam berkebebasan tidaklah setara atau sepadan dengan posisi laki-laki. Diskriminasi dalam sektor politik hampir sering terjadi, karena perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. Selain diskriminasi, masih banyak ketimpangan lainnya yaitu seperti stereotipe, kekerasan, dan beban peran ganda terhadap perempuan. Pada sektor sosial dan politik peranan perempuan terkendala dengan budaya patriarki yang sudah tertanam di Indonesia.
      Kaum laki-laki cenderung tidak menerima gagasan bahwa perempuan memiliki sikap mandiri, memiliki kebebasan berpendapat, serta tindakan agresif. Sektor politik identik dengan kekuasaan yang dipegang oleh para kaum laki-laki, sehingga stigma bahwa perempuan tidak mampu untuk menjadi pemimpin karena kekuasaan untuk memimpin diidentikan dengan ciri yang maskulin. Namun pada kenyataannya, tentu perempuan memiliki peluang dalam berkegiatan politik.
      Adanya persaingan antara kaum perempuan dan laki-laki inilah yang sering membuat para perempuan tidak mampu untuk menunjukkan kebebasan atas hak politiknya. Faktor yang mempengaruhi perempuan dalam berpolitik ialah stigma yang menganggap perempuan hanya pantas menjadi ibu rumah tangga saja. Perempuan dalam sektor politik menjadi isu yang sensitif serta stigma yang masih terus berkembang, maka adanya gerakan emansipasi perempuan ini memberikan sinegritas bahwa perempuan harus berdaya, dan mampu bersaing serta mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. (Rahmah, 2021a)
      Banyaknya opini publik yang mengatakan bahwa urusan kaum perempuan dan laki-laki terbagi atas dua hal yaitu, perempuan menangani urusan domestik sedangkan laki-laki menangani urusan publik. Opini inilah yang semakin memberatkan para kaum perempuan, sehingga terjadi konsekuensi yang harus dihadapi oleh banyak kaum perempuan. Dengan konsekuensi yang diterima, perempuan sering tampil kurang percaya diri. (Winarto, 2002)
      Citra yang dibangun masyarakat untuk perempuan dalam isu sosial maupun politik, seringkali menempatkan kaum perempuan       dalam dua standar. Pertama, ketika kaum perempuan yang berkecimpung dalam dunia politik menyampaikan ide dan gagasannya kerap dianggap melenceng dari kodrat femininnya. Kedua, ketika perempuan menunjukkan sisi emosionalnya dalam bidang politik yang mana dianggap memanfaatkan sisi femininnya demi mendapatkan empati dari masyarakat.
      Dengan adanya gagasasan tersebut politik bagi perempuan masih dianggap kurang pantas dalam mengambil suatu keputusan. Padahal peran perempuan di dalam suatu keputusan politik bisa memberikan sudut pandang yang berbeda. Sejauh ini, partisipasi perempuan di dalam peran politik Indonesia dinilai belum menghasilkan hasil yang signifikan jika dibandingkan dari sisi keterlibatan kaum laki-laki. Oleh karena itu, terwujudnya gerakan emansipasi perempuan bisa berbuah hasil diiringin dengan upaya yang lebih dalam meningkatkan kualitas dari para kaum perempuan itu sendiri demi mendapatkan kesempatan yang sama besar di dalam peran politik Indonesia.(Latief, 2021)
      Perubahan zaman yang begitu cepat sangat berpengaruh besar terhadap ruang kesempatan bagi kaum perempuan untuk mewujudkan kesetaraan hak di dalam dunia politik. Dari yang awalnya perempuan dengan anggapan hanya mengurus lingkungan rumah tangga saja. Kemudian adanya gerakan emansipasi perempuan inilah yang melahirkan perubahan sehingga perempuan bisa berperan lebih dari lingkungan sebelumnya.
      Adanya gerakan emansipasi perempuan ini mendorong terwujudnya cita-cita kaum perempuan yang pada awalnya kerap kali dianggap tidak kompeten dengan kaum laki-laki hingga saat ini melahirkan perubahan positif yang terlihat mulai banyaknya politisi perempuan menduduki bangku partai politik, DPR, Kementrian, sampai di posisi kepala negara Indonesia kelima yaitu Ibu Megawati Soekarnoputri. Dari contoh tersebut membuktikan bahwa, posisi perempuan sama halnya dengan kaum laki-laki yang dapat berpeluang sama untuk memberikan aspirasi dan berperan di ruang politik Indonesia.(Sangari, n.d.)
      Perempuan yang berperan dalam ranah politik menjadi salah satu pembuktian bahwa perempuan memiliki kemampuan yang sama membukakan pintu bagi perempuan untuk menentukan suatu kebijakan.     Maka dengan ini pula, ketidakseimbangan hak kebebasan mengambil peran di dunia politik Indonesia semakin berkurang. Karena telah banyak lahir tokoh-tokoh publik politik perempuan yang mencerminkan gerakan emansipasi perempuan semakin terwujud.
      Prospek positif yang dihasilkan oleh perempuan di ranah politik tetap harus diimbangi dengan kesadaran dari pihak laki-laki akan hak dari kaum perempuan memiliki potensi yang sama bernilai juga. Sebagai hasil nyata untuk meningkatkan partipasi di bidang politik maka perempuan dituntut untuk bisa memberi pengaruh besar yang nyata dan baik demi terciptanya tujuan dari politik di Indonesia. Namun, untuk merealisasikan hal ini tidak mudah karena masih melekatnya budaya patriarki di kehidupan masyarakat kita.
      Sampai saat ini masih menjadi persoalan terkait kaum perempuan masih dituntut untuk bisa memenuhi kewajiban yang dianggap harus dilakukan sebagai perempuan segala hal yang berurusan dengan rumah tangga meskipun mereka sudah cukup baik dalam perjalanan karirnya. Hal ini yang menghasilkan perempuan memiliki peran ganda yang tidak sama dengan kaum laki-laki. Terlebih pada sektor hak-hak politik di ranah publik yang terus diupayakan agar terjamin keefektifitasannya.(Wahyudi, 2018.)
      Gerakan emansipasi perempuan dapat mengatur peran-peran yang dilaksanakannya dengan seimbang. Selain itu gerakan ini juga dapat mengembangkan potensi yang ada di dalam diri perempuan. Kreatifitas merupakan hal yang perlu diterapkan agar mampu mengatasi masalah-masalah yang kian berkembang di dunia politik. Sehingga peran perempuan di dunia politik tidak mengalami ketertinggalan dengan besar peran dari kaum laki-laki.(Nofianti, n.d.)
      Gerakan emansipasi perempuan dapat terwujud apabila kesadaran dari pihak laki-laki dan perempuan setara akan peran di bidang politik. Urusan domestik dan politik bahwasanya memiliki kesetaraan bagi perempuan maupun laki-laki sehingga tidak adanya ketimpangan yang menghalangi kaum perempuan untuk mencapai atas kebebasannya. Oleh karena itu pemahaman tentang kesetaraan gender bagi perempuan harus direalisasikan yang bisa menjadi solusi ketidakadilan bagi kaum perempuan di ranah pemerintah maupun masyarakat.
      Dalam ranah politik, pihak pemerintah bisa menciptakan hukum yang tegas bagi para pelaku ketidakadilan gender serta memberikan edukasi kepada masyarakat yang masih mengusung budaya patriarki yang sering merendahkan kaum perempuan dalam mencapai harapan dari mereka masing-masing. Dengan adanya gerakan emansipasi perempuan mengalami perkembangan bahwa hal ini merupakan bagian penting untuk memaksimalkan dan peluang atau kesempatan yang ada pada diri perempuan. Gerakan ini juga menjadi jawaban atas ketidakadilan perempuan seperti diskriminasi, penindasan dan stereotipe yang masih melekat pada budaya Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H