RUU Cipta Kerja telah disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 dan diundangkan pada 2 November 2020 dan menjadi UU Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Dalam pasal 3 UU Cipta Kerja, disebutkan bahwa UU ini bertujuan untuk membuat lapangan pekerjaan bagi seluruh rakyat Indonesia secara luas dan merata dengan cara UMKM dan perkoperasian memperoleh kemudahan pemberdayaan dan perlindungan, ekosistem investasi ditingkatkan, mempermudah pembukaan usaha, kesejahteraan pekerja ditingkatkan, pemerintah menjadi pusat investasi, dan proyek strategis nasional dipercepat. Selain itu, beberapa manfaat di dalam UU Cipta Kerja diantaranya adalah sebagai berikut (Catur dkk, 2020).
- Dukungan UMKM, pengusaha mikro, kecil, dan menengah akan dimudahkan dalam mendaftarkan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), dan mendirikan Perseroan Terbuka (PT) perseorangan serta memberikan kemudahan dengan prasyaratan dan biaya yang terjangkau, sehinggat terdapat kepastian legislasi.
- Lapangan pekerjaan yang berkualitas akan tercipta dan pekerja terjamin kesejahteraannya secara berkesinambungan. Berdasarkan beberapa sumber berita yang penulis baca, Menteri Tenaga Kerja menyatakan bahwa untuk pesangon, cuti hamil, melahirkan, menjalankan ibadah sesuai keyakinan, dan hal-hal yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan tidak dihilangkan dan tetap ada, namun memang tida tertera dalam UU Cipta Kerja, melainkan akan diatur dan disertakan kembali pada peraturan pemerintah selanjutnya.
- Banyaknya investasi dan lapangan pekerjaan.
- Perlindungan pekerja, menjamin adanya kepastian dalam pemberian pesangon, di mana dalam pemberian pesangon Pemerintah menerapkan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dengan tidak mengurangi manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP), serta tidak menambah beban iuran dari pekerja atau pengusaha.
- Usaha mikro mengalami peningkatan produktivitas, yang akan memberikan keuntungan bagi pengusaha, sedangkan bagi pelaku usaha akan memberi manfaat yang mencakup kemudahan dan kepastian dalam mendapatkan perizinan berusaha dengan penerapan perizinan berbasis risiko (risk based approach) dan penerapan standar. \Jaminan perlindungan hukum yang cukup kuat juga kini dimiliki pelaku usaha, dengan penerapan ultimum remedium yang berkaitan dengan sanksi, dimana pelanggaran administrasi hanya dikenakan sanksi administrasi, sedangkan pelanggaran yang menimbulkan akibat K3L (Keselamatan, Keselamatan, Keamanan, dan Lingkungan) dikenakan sanksi pidana.
Belajar dari RUU Cipta Kerja, bahwa pembentukan undang-undang dengan konsep Omnibus Law tidak diatur jelas dalam UU Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Undang-Undang. Meskipun termasuk hal yang baru, seharusnya dalam regulasi pembentukan UU sudah diatur, agar pesan yang ada dalam konsep tersebut dapat tersampaikan dengan baik dan tidak menimbulkan konflik.Â
Dengan waktu pembentukan yang cukup singkat, RUU ini mampu mengganti UU lain menjadi regulasi yang sejalan dan bisa menjadi solusi baru, jika diimbangi dengan substansi regulasi yang diciptakan. Seperti masalah pada pesangon serta cuti haid, melahirkan, dan menjalankan kewajiban agama. Ketidakjelasan hal tersebut dalam RUU menimbulkan konflik pada pekerja, karena sampai saat ini masih banyak terjadi kasus pelanggaran pemberian pesangon kepada para buruh oleh perusahaan. RUU Cipta Kerja terkesan mempersempit ruang gerak para buruh untuk memperjuangkan haknya dan memberikan dominasi pada pengusaha untuk melakukan eksploitasi pada para buruh.
RUU Cipta Kerja juga terkesan diskriminatif pada para buruh, terutama perempuan akibat hal-hal yang berkaitan dengan cuti haid, melahirkan, dan menyusui karena akan dianggap tidak bekerja dan tidak akan mendapat upah sepeserpun. Untungnya, hal-hal yang berkaitan dengan pesangon, cuti, dan PHK pada buruh tidak dihilangkan dalam UU Cipta Kerja.Â
Hal ini disampaikan langsung oleh menteri Tenaga Kerja dalam wawancara dengan media, dan hal-hal tersebut akan diatur kemudian pada peraturan pemerintah. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah dan DPR tidak melupakan, bahwa negara kita merupakan negara demokrasi yang berarti partisipasi rakyat juga diperlukan dalam pembentukan undang-undang. Pemerintah dan DPR jangan sampai melupakan kepentingan dari rakyat. Di sisi lain, juga harus ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menarik minat investor untuk menanamkan saham tanpa harus mengorbankan kepentingan rakyat.
Undang--undang Omnibus Law Cipta Kerja memiliki kecenderungan meningkatkan perekonomian secara makro, namun kurang memperhatikan tentang peningkatan pelaku usaha terutama kaum pekerja. Harsono (2021), berpendapat bahwa hanya sistematika kerancuan pemahaman di masyarakatlah yang membuat RUU yang menggunakan mekanisme Omnibus Law terhambat dan terkesan sangat mengerikan.Â
Menurut beliau, ada 3 standar yang harus diubah ebelum merencanakan Omnibus Law di Republik ini, yang pertama adalah kurangnya kesadaran pemerintah untuk memahami segi pemahaman aturan yang akan/sudah dijalankan, kadang masyarakat belum memahami bahwa aturan itu sudah ganti/sudah bertumpuk oleh aturan yang lebih spesialis namun kedua aturan tersebut sama- sama berjalan, yang kedua adalah anggapan bahwa semua warga negara memahami hukum atau aturan yang dibuat pemerintah dan harus serta wajib menjalankan aturan tersebut, dan yang ketiga adalah kurang melibatkan masyarakat dalam teknis penyusunan hukum atau peraturan dan hanya percaya pada protokol naskah akademik penyusunan undang-undang semata (Harsono, 2020).
Harsono (2020) juga berpendapat bahwa dalam masa pandemi Covid-19 ini, akan mengancam perekonomian masyarakat dengan skill rendah dan menengah (SRM). Pada saat seperti inilah muncul konflik kepentingan banyak penunggang gelap yang memberikan opini sepotong demi sepotong untuk memprovokasi buruh seolah-olah azas keadilan bagi buruh di kaum SRM ini menjadi isu utama penolakan dan pengesahan undang-undang ini serasa tidak adil dan melanggar Azas Keadilan Sosial bagi Buruh, apalagi disahkan di masa pandemi covid-19.Â
Untuk Memberikan rasa tentram pemerintah harusnya menyediakan anggaran khusus di APBN untuk proses peningkatan skill melalui pelatihan yang terstuktur , intens, dan bersertifikasi paten sebagai pendukung cita-cita Undang-Undang Omnibus Law Cipta kerja untuk kaum buruh yang memiliki pendidikan Rendah sehingga bisa bersaing dan tidak tersisihkan begitu saja (Harsono, 2020).
Penulis berharap semoga undang-undang ini akan bermanfaat bagi semua pihak, baik untuk pemilik lapangan kerja dan pekerjanya. Semoga, banyak lapangan kerja produktif yang tercipta. Dengan adanya UU ini, juga diharapkan skill dan kualitas pekerja di Indonesia dapat meningkat menyesuaikan dengan revolusi industri 4.0.
DAFTAR PUSTAKA
- Kurniawan F. 2020. Problematika pembentukan RUU Cipta Kerja dengan konsep Omnibus Law pada klaster ketenagakerjaan Pasal 89 Angka 45 Tentang Pemberian Pesangon kepada Pekerja yang di PHK. Jurnal Panorama Hukum 5(1): 63-76.
- Ida Hanifah. 2021. Peluang tenaga kerja asing untuk bekerja di Indonesia berdasarkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. De Lega Lata: Jurnal Ilmu Hukum 6(1): 158-173.
- Karo RPPK, Amanda FY. Konsepsi Omnibus Law terhadap perlindungan tenaga kerja wanita di Indonesia. Majalah Ilmiah Warta Dharmawangsa 14(4): 723-729.
- Taun T. 2020. Asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian kerja tenaga kerja asing dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Jurnal De Jure 12(2): 1-19.
- Catur JS, Djonggo Dm Heriyandi H, dkk. 2020. Perlindungan hukum terhadap kesejahteraan pekerjaan melalui Undang-Undangn Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Jurnal Lex Specialis 1(2): 178-188.
- Harsono. 2020. Problematika Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di masa pandemic Covid-19. Al Qodiri: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Keagamaan 18(3): 594-603.