Negara di dunia banyak yang memberlakukan kebijakan agresif terhadap penyebaran virus Covid-19. Berbeda dengan Indonesia yang mempercepat pengesahan RUU Cipta Kerja yang disiapkan oleh pemerintah dengan menggunakan konsep Omnibus Law yang dianggap sebagai usaha reformasi perekonomian,. Konsep ini dijadikan skema dalam membangun perekonomian agar menarik investor dalam menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah mengambil kesempatan ditengah kondisi krisis seolah pandemi sudah usai (Kurniawan, 2020).
RUU Cipta Kerja memiliki 11 klaster, dimana satu diantaranya mengatur tentang ketenagakerjaan. Pada klaster ketenagakerjaan, melingkupi 3 undang-undang yang dilebur menjadi satu, yaitu UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial, dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Pemerintah berusahan untuk mengharmonisasikan ketiga UU tersebut agar searah dan mampu memberikan ruang bagi para investor tanpa khawatir tentang adanya peraturan yang tumpang tindih (Hanifah, 2021).
Opini tidak setuju dari masyarakat sangat banyak dalam proses perancangan RUU ini. Opini tersebut muncul karena pengerjaan RUU tersebut, hanya memiliki tenggang waktu 100 hari oleh presiden dan tidak melibatkan banyak pihak dalam proses pembuatannya. Salah satu hal yang disorot dalam klaster ketenagakerjaan pada RUU Cipta Kerja adalah adanya pemotongan pesangon buruh yang diputus hubungan kerjanya oleh perusahaan dan terdapat penghapusan cuti melahirkan.Â
Hal ini bertentangan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Secara yuridis, pekerja memiliki kebebasan karena negara kita tidak menghendaki adanya perbudakan. Sehingga, perusahaan harus tetap memberikan tunjangan sebagai bentuk kesejahteraan pekerja. Cuti melahirkan adalah hak bagi para wanita dan pesangon merupakan pembayaran pada pekerja akibat adanya PHK (Karo dan Yana, 2020).
Cuti melahirkan dan pesangon seharusnya tertera dalam kontrak kerja yang tertuang jelas dalam KUHPPerdata Pasal 1320 yang menerangkan syarat sahnya perjanjian. Hal ini harus dilakukan karena mengubah beberapa peraturan seperti UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial, dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Taun, 2020). Namun, dalam kenyataanya otoritas perusahaan juga tidak dipungkiri akan melakukan hal itu, contohnya adalah PHK yang dilakukan oleh PT. Pelindo II yang dilakukan secara sepihak.
Pembahasan mengenai klaster ketenagakerjaan menyoroti permasalahan pada pasal 89 RUU Cipta Kerja mengenai pemberian pesangon dan uang pernghargaan bagi pekerja yang di PHK. Pasal 89 ayat 1 mengubah ketentuan pasal 156 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi "Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membaya uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima", yang kemudian redaksi ini diganti menjadi "Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja" (Kurniawan, 2020).
Kurniawan (2020) berpendapat bahwa ketentuan yang berubah ini merupakan penurunan kesejahteraan buruh, karena menghilangkan ketentuan uang penggantian yang harus diterima pekerja. Ketentuan uang penggantaian yang harusnya diterima diantaranya adalah cuti tahunan yang belum gugur, biaya ongkos pulang pekerja dan keluarganya ke tempat pekerja diterima, penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat, dan hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja serta peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.Â
Namun, pemerintah memberikan garansi lain untuk kesejahteraan pekerja yang di PHK oleh perusahaan dengan adanya jaminan kehilangan pekerjaan pada pasal 90 RUU Cipta Kerja yang merubah ketentuan pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan ketentuan pasal 6 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Jaminan Sosial.Â
Hal ini merupakan upaya tanggung jawab dengan menghilangkan hak-hak pekerja, sehingga jelas harusnya dengan adanya RUU Cipta Kerja pada Klaster Ketenagakerjaan mampu memberikan dampak positif pada negara dengan tidak menghilangkan nilai keadilan, karena hukum diperuntukkan bagi masyarakat (Kurniawan, 2020).
Pemangkasan hak-hak pekerja cukup menonjol pada perubahan pasal 93 ayat 1 yang mengatur hak upah pekerja jika tidak masuk/melakukan kerja. Perubahan ini dapat berdampak pada perlindungan pekerja wanita di masa haid, kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi pekerja, maupun kebebasan berorganisasi. Perubahan pasal yang demikian akan berpotensi menghapuskan hak pekerja/buruh wanita, karena masa sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya yang dapat membuat mereka belum bisa bekerja. Dapat dikatakan RUU Cipta Kerja menggerus posisi pekerja sebab aturan didalamnya menghilangkan hak upah pekerja perempuan yang terpaksa absen haid, pekerja yang menikah, melahirkan, menjalankan ibadah dan kewajiban agama, dan menjalankan tugas serikat (Karo dan Yana, 2020).
Ketentuan cuti haid dalam pasal 81 sebenarnya tidak sama sekali dihapus dan diubah dalam RUU Cipta Kerja, namun ketentuan yang ada menegaskan bahwa perempuan tidak akan mendapatkan upah jika tidak bekerja karena sakit di hari-hari pertama masa haidnya. PHK juga akan marak terjadi akibat turunnya jumlah pesangon yang diberikan oleh perusahaan, sehingga terjadinya PHK massal sangat mungkin dilakukan perusahaan, karena memecat dinilai lebih murah ketimbang menggaji pekerja yang dimana hal ini tidak memiliki kepastian dalam kerja. Meskipun, UU Ketenagakerjaan dinilai masih jauh dari kata baik untuk buruh, substansi dalam RUU Cipta Kerja dapat jauh lebih buruk. Dalam UU Ketenagakerjaan, diatur bahwa perusahaan dilarang melakukan PHK, apabila pekerja perempuan hamil, melahirkan, ataupun menyusui. Sedangkan dalam RUU Cipta Kerja tidak diatur laranga yang disebutkan (Karo dan Yana, 2020).