Unjuk rasa adalah metode penyampaian pendapat yang melekat pada negara dengan bentuk sistem pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah pelaksanaannya. Ibarat bunga yang sedang mekar menghiasi sebuah tumbuhan di setiap musim-musim tertentu sepanjang kehidupannya.
Tak terkecuali Indonesia, unjuk rasa menjadi dinamika yang menghiasi penerapan demokrasi sepanjang berdirinya negara ini. Kendati menjadi hal yang lumrah dalam negara demokrasi, tak jarang bunga yang indah tersebut tergores oleh noda-noda hitam dalam sejarah perjalanannya menuju mekar.
Salah satu contoh dalam 5 tahun terakhir, merujuk pada data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komnas HAM mencatat setidaknya 52 orang meninggal dalam unjuk rasa yang diadakan sepanjang tahun 2019. Hal ini diduga disebabkan tindakan dari aparat penegak hukum yang mengedepankan pendekatan represif dalam penanganan unjuk rasa. (1)
Contoh lain berdasarkan data yang dihimpun Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menerima setidaknya 51 pengaduan terkait praktik kekerasan aparat polisi dalam menangani aksi demonstrasi penolakan pengesahan RUU Pilkada di depan Gedung DPR pada Kamis (22/08). Polda Metro Jaya mengeklaim telah menangkap lebih dari 300 peserta aksi unjuk rasa.(2)
Data-data tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai demokrasi di Indonesia telah rusak oleh aktivitas unjuk rasa yang berakhir pada konflik yang menimbulkan korban luka dan korban jiwa.
Aparat penegak hukum menjadi pihak yang paling sering dilimpahkan kesalahan. Bukan tanpa sebab, aparat penegak hukum memiliki sarana dan prasarana yang lebih lengkap dibandingkan pengunjuk rasa sehingga posisinya cenderung berpotensi lebih besar untuk memulai konflik melalui penyalahgunaan wewenang.
Terlepas dari siapa yang lebih dulu memulai, baik itu pengunjuk rasa ataupun aparat penegak hukum. Konflik dalam pelaksanaan unjuk rasa sebetulnya dapat dicegah jauh sebelum pelaksanaannya, yaitu dengan memahami hakikat dari demokrasi itu sendiri.
Dialog adalah kunci kesuksesan berjalannya sebuah negara penganut demokrasi. Sebab, demokrasi lahir melalui kesepakatan antara rakyat dan penguasa. Sebuah kesepakatan hanya dapat dihasilkan melalui komunikasi interaktif dua arah antara rakyat dan penguasa.
Seringkali dalam pelaksanaan unjuk rasa, yang terjadi adalah komunikasi satu arah yang dilontarkan oleh pengunjuk rasa tanpa kehadiran penguasa sebagai pengambil keputusan. Hal ini menyebabkan pengunjuk rasa merasa tidak didengar pendapatnya. Pengunjuk rasa menjadi merasa adanya jarak pembatas antara mereka dengan penguasa. Padahal, penguasa adalah representasi dari rakyat sebagaimana konsep demokrasi yang dikenalkan oleh Abraham Lincoln.
Ketidakhadiran pihak penguasa mengakibatkan tidak tercapainya sebuah kesepakatan, sedangkan aparat penegak hukum dituntut untuk menjaga stabilitas keamanan jalannya unjuk rasa. Pada akhirnya pengunjuk rasa melakukan aksi yang mendorong terjadinya konflik serta benturan dengan aparat penegak hukum.